DAFTAR ISI

PANGAPORA

PANDHAPA

Meru(mera)wat Mobil Tua :. Akhmad Nurhadi

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

ARTIKEL TAMU

Pendidikan Berbasis Nilai: Sebuah Refleksi Menghadapi Pergeseran Nilai Sosial Masa Kini: Ach. Wazir Wicaksono

ARTIKEL UTAMA

1- Pendidikan Spritual Dalam Mengasuh Anak: Menuju Penguatan Fungsi Keluarga Dan Orang Tua : Umar Bukhory

2- Internalisasi Nilai Dalam Pendidikan : Abd. Kadir

3- Membangun Moralitas Anak : Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Budi Pekerti: Syaiful Rijal Alinata, S.Pd

4- Pendidikan Berbasis Moral: Urgensi Pendidikan Agama Dan Peranan Guru Dalam Membangun Moral Siswa: Syaiful Rizal Alinata

5- Pendidikan Moralitas: Membeber Beberapa Kerancuan: Mohammad Hasan Basri

WAWANCARA

KH. Abd. Basith AS. B.A.: Harus Ada Revolusi Moral

ARTIKEL LEPAS

Revitalisasi Pemberdayaan Madrasah : Fathol Haliq, M.Si

Guru Diantara Tuntutan Profesionalisme dan Realitas Dunia Pendidikan Yang Beragam: Hidayat Raharja

3- Pertentangan Diametral: Pengalaman Pembelajaran Vs Realitas SYAIFUL RAHMAN DASUKI, S.Pd

4- Orkestra Prinsip Internal Siswa: Upaya Revitalisasi dan Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Halida Nurmayanti, S.Pd

5- Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam: Menuju Pesantren Masa Depan: Mohammad Suhaidi RB

KOLOM

Bahasa Pekerti :M. Faizi

Pendidikan Budi Pekerti Vs Televisi: Mohammad Sholeh Shobary

RESENSI

Menggagas Pendidikan Berbasis Spritual: Muhamamd al-Awvâ

 

 

PANGAPORA

Pembaca yang budiman,

Di antara berbagai tanggapan pembaca, yang paling sering kami terima adalah permintaan agar EDUKASI segera diprofitkan, yakni dijual bebas agar lebih mudah diakses oleh masyarakat umum dan tidak saja terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang ada di Kabupaten Sumenep saja seperti yang selama ini berlaku. Semua masukan dari pembaca kami tampung dan kami pertimbangakan untuk perbaikan di masa mendatang.

Sayang sekali, hingga terbitan ke-7 kali ini, permintaan tersebut belum dapat kami atasi. Akan tetapi, oplah jurnal ditambah. Jika pada lima edisi sebelumnya adalah 1000 eksemplar, maka pada edisi ke-6 dan ke-7 dinaikkan dua kali lipat, yakni 2000 eksemplar. Penambahan jumlah ini terkait langsung dengan suntikan dana yang diterima. Besarnya minat dan antusisme pembaca juga menjadi bagian dari alasannya.

Alhamdulillah. Pada edisi kali ini, EDUKASI juga dapat menambah jumlah halaman (dan penambahan halaman berwarna). Awalnya, EDUKASI terbit dengan 52 halaman pada edisi pertama, lalu menjadi 62 halaman pada edisi ke -6, dan kini bertambah menjadi 80 halaman pada edisi ke-7. Langkah seperti ini barangkali menjadi cara EDUKASI untuk semakin “berisi”, tidak saja secara fisik, melainkan lebih-lebih dari segi materi dan sajiananya.

Persoalan distribusi yang selama ini dikeluhkan, karena pada beberapa edisi sebelumnya EDUKASI selalu tiba terlambat di tangan si alamat, alhamdulillah, kini sudah mulai dapat diatasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumbangan tulisan (yang sesuai dengan tema) dari guru, mahasiswa, praktisi dan tenaga kependidikan, serta masyarakat umum yang masuk ke meja redaksi, meskipun tidak semua sumbangan tulisan tersebut harus dipublikasikan semuanya.

Jurnal EDUKASI senantiasa menunggu kritik, tanggapan, dan sumbangan tulisan dari Anda, para pembaca budiman, demi perbaikan mutu dalam rangka menciptakan masyarakat yang cerdas, yang gemar menulis, juga rajin membaca.

Redaksi

 

 

Back To Daftar Isi

PANDHAPA

MERU(MERA)WAT MOBIL TUA

Oleh. Akhmad Nurhadi

Pendidikan di Indonesia (include : Sumenep [?], pen.) sekarang ini dapat diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan (Paul Suparno, 2002)

Pernahkah Anda menyaksikan adegan seorang guru berjalan kaki – karena memang hanya punya kaki – kemudian puluhan muridnya baik yang berkendaraan bahkan kendaraan bermotor, maupun yang tidak berkendaraan, berjalan menuju atau berjalan sambil menuntun kendaraan agak jauh di belakang sang guru. Mereka tidak mendahului sang guru, karena merasa segan, karena merasa ingin menghormati, karena ingin menghargai, karena ingat petuah ustadz ngajinya, ingat petuah orang tuanya : bappa’, ebu, guru, rato. – Betapa tinggi martabat guru. Guru diposisikan di atas derajat raja -.

Mereka menawari akan membonceng guru juga tidak berani, kuatir sang guru tersinggung, tersentuh harga dirinya. Betapa murid punya sensivitas, betapa guru punya harga diri yang tinggi. Inilah kearifan lokal. Inilah akhlakul karimah. Inilah pekerti luhur.

Kalau Anda tidak pernah melihat adegan di atas, guru-guru senior sekarang pasti pernah mengalaminya. Demikian pula tiga puluh tahun silam saat seorang Pak Nur, beliau memerankan tugas sebagai seorang guru, pernah mengalaminya. Memang adegan di atas sungguh-sungguh pernah terjadi di bumi Songeneb.

Kita tidak bermaksud kembali ke masa silam, karena memang mustahil memutar balik jarum sejarah. Tentu saja dunia fiksi menjadi perkecualiaan (pernah mengikuti mesin waktunya Joko Lelono atau menonton Lorong di televisi ?)

Kemudian bandingkan dengan adegan murid minta rokok kepada gurunya atawa guru minta rokok kepada muridnya, murid menempeleng gurunya atawa guru menempeleng muridnya, juga guru mengata-ngatai muridnya gila atawa murid mengatai-ngatai gurunya gila. ( Dari ungkapan ini bisa ditarik banyak konklusi, apalagi kalau kita baca dengan semiotics approach). Semoga adegan yang kedua tidak pernah Anda jumpai walau dalam mimpi sekalipun atau kalau terpaksa Anda jumpai anggap saja mimpi buruk (nightmare).

Hidup dikembangkan dan dimatangkan melalui pendidikan. Kawah Candrodimuka nya hidup adalah pendidikan. Ini mengacu pada kisah Tetuko atau Gatot Koco masa kecil. Kalau justeru kawah Condordimuko nya rentan terhadap pengaruh pendinginan (atau pemanasan?) global, budaya Dajjal, atau isme-isme Yakjud dan Makjud dapat dibayangkan macam apa manusia produk pendidikan kita.

Selama ini politik ekonomi dijadikan sebagai kiblat pendidikan – malu-malu atau jelas-jelasan- maka pada saat yang sama dengan sukacita telah merelakan diri kita diterkam predator yang bernama kapitalisme. Perangkap kapitalisme semacam ini celakanya bahkan telah mendarah daging dan menulang sungsum. Jadi kapitalisme sudah tidak terasa sebagai perangkap atau predator lagi. Buktinya, ketika sekolah-sekolah formal, tidak terkecuali Perguruan Tingginya, dituding sebagai industri atau pabrik banyak orang marah (tahu, siapa yang marah?!), sementara biaya pendidikan tetap tinggi.

Walaupun demikian, tentu tidak bijak kalau lantas kita menafikan upaya-upaya pemerintah (dan juga swasta) untuk mengembalikan pendidikan kepada khithtahah nya, yaitu, pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Perihal khiththoh ini seyogyanya dipahami sebagai pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan gratis, sementara orang tua dan masyarakat partisipasinya cukup melalui pajak yang diberlakukan saja. Upaya pemerintah yang dimaksud melalui dana Bantuan Operasional Sekolah, Dana Bantuan Pendidikan, program penyaluran beasiswa pendidikan, Block Grant, dan lain sebagainya.

Tentu saja, upaya-upaya tersebut di atas hendaknya menggugah pihak penyelenggara sekolah untuk sejenak mengesampingkan syahwat kapitalistiknya untuk kembali kepada naluri (basic instinct, ini bukan judul film yang dibintangi Kim Besenger, lho!) tenaga kependidikan pada umumnya, khususnya guru, yaitu keikhlasan. Kalau malah sebaliknya, maka upaya menggratiskan biaya pendidikan akan berhadapan dengan semakin digelembungkannya program sekolah, baik dengan muslihat duplikasi maupun peningkatan (pemahalan!) anggaran pengeluaran sekolah. Kalau fenomena ini yang terjadi, maka sampai kiamatpun upaya menggratiskan pendidikan biaya pendidikan tidak akan kunjung berhasil.

Tenaga pendidikan yang ikhlas akan menghasilkan lulusan yang ikhlas. Lulusan yang ikhlas akan membentuk bangunan masyarakat yang ikhlas. Kalau warna keikhlasan menjadi kultur dan iklim sekolah tak pelak lagi, walau tanpa mengiklankan keunggulannya secara latah dengan sendirinya akan menjadi unggul baik di dunia maupun di akhirat. Dari sinilah sebenarnya implimentasi pendidikan budi pekerti di sekolah dapat kita mulai.

 

 Back To Daftar Isi

PAMATOR

Surat Dari Pembaca

PAK, Jangan Sekedar Wacana !

Tema Pendidikan Anti Korupsi (PAK) yang diambil oleh EDUKASI pada edisi ke-6 kemarin sangat menarik dan luar biasa. Betapa tidak? Persoalan korupsi yang tengah mendera kehidupan kita dalam berbagai aspek, lebih-lebih dalam aspek kehidupan dunia pendidikan. Mungkin sudah bukan rahasia umum lagi, ketika perilaku korup cenderung terjadi di lembaga pendidikan. Berbagai penyelewengan yang dilakukan terhadap bantuan yang diberikan pada lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lain kadangkala tidak sesuai dengan maksud awal bantuan tersebut diberikan, karena bisa jadi keburu DIKORUP.

Perilaku korup “oknum” tertentu telah semakin membenarkan bahwa hampir tidak ada lagi sisi kehidupan yang tidak dikorup. Nyaris, semuanya telah rata : mengidap penyakit korupsi yang keterlaluan. Tidak heran, kalau predikat “nalar korup” telah menjadi bagian dari mental kita yang sangat terkutuk. Maka, Pendidikan Anti Korupsi, sejatinya harus diberikan sejak awal pada generasi-generasi muda kita, karena salah satu cara adalah memutus mata rantai tradisi korup ini dengan cara menyiapkan generasi-generasi baru yang benar-benar dibesarkan melalui Pendidikan Anti Korupsi yang mapan dan mendalam.

Pendidikan Anti Korupsi harus ditanamkan sejak dini pada anak didik kita, karena pada saat itu jiwa anak-anak notabene masih suci dan bebas dari polusi korupsi. PAK, jangan sampai hanya sekedar wacana yang tidak pernah teramalkan, karena hal itu merupakan bentuk pengingkaran pada komitmen kita bersama sebagai manusia yang pada hakikatnya bernurani. Para pengelola pendidikan harus menyadari bahwa perilaku korupsi yang telah menggurita juga menjadi tanggung jawab utuh mereka. Pendidikan harus bisa dijadikan sebagai jembatan suci untuk melahirkan generasi-generasi baru yang siap dan memiliki komitmen untuk melawan kebejatan korupsi di masa-masa yang akan datang.

 

Abu Sufyan

Sekretaris I PC PMII Sumenep

Pendidikan Jadi alat Naikkan Pangkat

Tuduhan adanya pergeseran moral di kalangan “remaja” saat ini, sebenarnya tidak lepas dari peran serta dunia pendidikan. Apa yang saya sampaikan ini, bisa jadi hanyalah tuduhan sepihak bagi dunia pendidikan, mengingat dunia pendidikan memiliki peran sangat urgen dalam menciptakan stabilitas sosial. Selama ini, pencitraan dan peleburan stratifikasi sosial adalah hasil dari upaya dunia pendidikan.

Tetapi di sisi lain, dunia pendidikan juga berperan besar terhadap terciptanya instabilitas sosial. Ketika formalitas pendidikan menjadi ukuran ke-profesional-an seseorang “seperti saat ini” banyak orang yang terjebak dengan status pendidikan seseorang. Sebagi contoh kecil saja, di kalangan pejabat ketika sudah menyandang pendidikan formal setara S2 secara otomatis kepangkatannya akan naik. Padahal tidak semua pejabat meraih gelar S2 dengan bersusah payah dalam melakukan proses pendidikan. Akibat dari perilaku ini setidaknya dunia pendidikan telah mengajarkan kepada kita untuk membohongi publik. Hingga tidak heran jika pada tataran kebijakan dan pelaksanaannya juga cenderung membohongi publik.

Dan perilaku ini ternyata juga telah meracuni para pelajar, jujur saja ketika penulis bersekolah jika tidak ingin masuk sekolah untuk bolos cukup dengan berkirim surat bahwa sakit. Ketika tidak mengerjakan PR cukup bilang lupa “meski” disengaja. Dan itu ternyata menjadi budaya dalam dunia pendidikan kita.

Aisyaturrafiqoh

Mahasiswi STIK Annuqayah

 

 

ARTIKEL TAMU

PENDIDIKAN BERBASIS NILAI :

Sebuah Refleksi Menghadapi Pergeseran Nilai Sosial Masa Kini *

Oleh: Ach. Wazir Wicaksono 1 )

 

1. PEMIKIRAN UMUM DAN LATAR BELAKANG IDE

Berbincang mengenai pendidikan berbasis nilai biasanya secara otomatis di benak kita akan muncul suatu gambaran bahwa output pendidikan itu adalah sikap dan perilaku orang-orang dengan standar nilai tertentu sesuai dengan yang diperoleh dalam proses pendidikan yang telah ditempuh. Contoh tampilan output pendidikan dengan dasar nilainya masing-masing adalah lulusan pendidikan militer dan kepolisian dengan lulusan pendidikan umum, serta lulusan sebuah pesantren atau pendidikan keagamaan lainnya. Kita coba amati sikap dan perilaku berjalan di tempat umum; bagi lulusan pendidikan militer dan kepolisian tampak keseragaman sikap dan perilaku berjalannya, yaitu tegap, memandang lurus ke depan dan mengangkat sedikit dagu. Sedang lulusan pendidikan umum tidak ada keseragaman apapun. Dan lulusan pesantren biasanya agak menjaga sikap dan perilaku agar tidak menimbulkan fitnah atau kesalah pahaman orang lain. Dalam hal berpikir; lulusan pendidikan militer dan kepolisian sangat kuat kecenderungan berpikir secara linier, hitam-putih, salah-benar, iya-tidak. Beda dengan lulusan pendidikan umum dan pesantren yang lebih memiliki keberanian untuk bereksplorasi dan melanglangkan pemikiran lebih bebas ke berbagai kancah kehidupan, dan lebih sering menunjukkan sifat yang dialogis terhadap realitas kehidupan.

Jadi dari contoh sederhana di atas bisa disimpulkan bahwa nilai-nilai yang diterima seseorang (murid, siswa, santri) dalam proses pendidikan akan memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap corak sikap dan lakunya. Termasuk bagaimana menghadapi dan menyikapi realitas kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat Madura, nilai kehidupan yang diserap dan diterapkan adalah yang berasal dari ajaran agama (Islam), yang selanjutnya berhasil diinternalisasikan sedemikian rupa dalam pribadi-pribadi hampir setiap orang Madura sehingga nilai tersebut tampil dan menjadi bagian tak terpisah dari budaya pikir, sikap dan perilaku masyarakat Madura yang kita kenal hingga kini. Bahwa dalam realitas kehidupan masa akhir-akhir ini banyak dijumpai pergeseran-pergeseran pandangan, sikap dan perilaku masyarakat, termasuk masyarakat Madura, adalah fakta kehidupan yang tidak terbantahkan yang mungkin merupakan dampak langsung maupun tak langsung dari revolusi industri dan teknologi yang juga melanda kehidupan masyarakat kita.

Pada pertengahan tahun 2003, pesantren Putri Ummul Quro di Pamekasan dan pesantren Nasya-atul Muta’allimin di Sumenep bekerjasama dengan Konsorsium Keadilan dan Kedamaian 2 ) atas fasilitasi dari Common Ground Indonesia 3 ) menjalankan program Pendidikan Kedamaian Melalui Pesantren yang berlangsung dalam kurun waktu satu tahun. Program ini merupakan manifestasi dari kepedulian dan keprihatinan terhadap konflik sosial yang terjadi di Kalimantan, antara warga dari etnis Madura dengan warga dari etnis Dayak pada masa-masa itu. Perancangan dan perencanaan program berangkat dengan membawa asumsi: 1) Penilaian masyarakat non Madura terhadap orang Madura yang digambarkan sebagai berikut; bahwa (secara umum) orang Madura adalah sosok yang memiliki watak, pola sikap dan perilaku temperamental, cenderung enaknya sendiri, mudah marah, pendendam, dan suka melakukan kekerasan. 2) Masyarakat Madura dikenal demikian ketat sikap keberagamaannya, sehingga dapat dikatakan demikian “menggantungkan” kehidupannya secara spiritual kepada tokoh-tokoh agama yang menjadi Guru sekaligus panutan. 3) Pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah wahana utama bagi para Guru (baca: Kiyai) dalam menyampaikan ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang ternyata dalam perkembangannya pesantren berfungsi menjadi perpangkalan budaya bagi masyarakat Madura.

Pelaksanaan program Pendidikan Kedamaian Melalui Pesantren diawali dengan kegiatan penelusuran untuk mengetahui sejauhmana obyektivitas asumsi tersebut diatas sekaligus hendak mengetahui gambaran faktual tentang watak dan kecenderungan sosial orang Madura di tanah asalnya, yaitu di pulau Madura. Penelusuran ini dilakukan dalam 3 bentuk kegiatan utama: 1) depth interview (wawancara mendalam) secara face to face dengan sejumlah tokoh panutan masyarakat Madura di empat kabupaten Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep); 2) diskusi terarah (focused group discussion) sejumlah masyarakat yang dianggap mewakili aspirasi tentang perwatakan masyarakat Madura; dan 3) konsultasi ilmiah dengan pakar antropologi yang khusus mendalami masyarakat Madura.

Hasil penelusuran menunjukkan bahwa asumsi penilaian diatas tidak seluruhnya benar. Ada kelembutan, kehalusan budi dan sikap orang Madura yang belum begitu dikenali oleh banyak orang-orang non Madura. Sesungguhnya orang Madura memiliki romantisme yang tidak kalah indahnya dibandingkan dengan komunitas etnis lain di Nusantara ini, orang Madura memiliki sopan santun dan tata krama yang demikian menyenangkan dalam pergaulan sosial. Demikian banyak norma dan tata aturan pergaulan yang harus ditaati oleh orang Madura, baik dalam pergaulan dengan sesama orang Madura maupun dengan orang dari etnis lain. Orang Madura sangat menjunjung tinggi standar sikap-perilaku hirarkial dalam pergaulan antara senior dengan yunior, anak kepada orang tua dan sebaliknya, murid kepada guru dan sebaliknya. Orang Madura sangat menghargai kesetiaan dalam pergaulan. Orang Madura dikenal keuletannya dalam menjalankan usaha ekonominya, dan dikenal memiliki kemampuan memilih bidang usaha yang tidak dimaui oleh orang dari etnis lain. Penghormatan orang Madura kepada gurunya demikian luar biasa, dan tidak dijumpai padanannya pada komunitas etnis lain di bumi Nusantara ini. Yang dianggap guru oleh orang Madura adalah Kiyai atau Nyai, yakni tokoh agama yang dianggap mampu memberikan pencerahan, ketenteraman dan tuntunan hidup mereka. Penghormatan ini berkelanjutan hingga pada anak, cucu bahkan cicit dari si Guru, dengan anggapan bahwa anak-cucu-cicit itu adalah sosok pengganti Guru. Sebaliknya, Kiyai di Madura pun memiliki tradisi silaturahmi yang sangat baik dengan para muridnya, yakni secara berkala melakukan kunjungan-kunjungan ke rumah-rumah atau ke pesantren mantan anak didik.

Persoalannya kemudian ialah mengapa bias yang terjadi terlihat demikian irrasional dan dominan dibanding kebaikan-kebaikan diatas, bahkan dalam berbagai kasus kita ketahui bahwa orang Madura sangat mudah tergiring dalam kancah suatu konflik (?) Dalam proses penelusuran diperoleh gambaran bahwa bias itu disebabkan oleh: 1) ketersinggungan harga diri yang tidak bisa ditawar, baik menyangkut diri sendiri, keluarga, serta nama baik Guru ataupun tokoh panutan lainnya; 2) keinginan yang sangat kuat untuk meraih kesuksesan dan kemenangan dalam berbagai aspek kehidupan secara lebih (menonjol) dibanding dengan lingkungannya; dan 3) pembelaan sebagai wujud rasa setia kawan terhadap orang yang dicintai atau dihormati.

2. MEMAHAMI PENDIDIKAN SECARA UMUM DAN KONTEKS MADURA

Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan menurut Mc Load (1989), dalam pengertian yang lebih sempit, pendidikan atau education berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Pengertian yang lebih luas dan representatif disodorkan oleh Tardif (1987) sebagai berikut: pendidikan adalah seluruh tahapan pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan.

Dengan kata lain, secara mendasar pendidikan merupakan ikhtiar untuk memberikan kepada manusia kesempatan to have serta memantapkan kesadaran to be. Dalam pengertian ini, pendidikan selain harus mampu memberikan kepada manusia peluang untuk memiliki serta menguasai pengetahuan (to have), yang terpenting pendidikan juga harus dapat memantapkan kesejatian diri-pribadi (being). Pendidikan hendaknya dapat membentuk karakter manusia sebagai mahkluk yang bersifat theomorfic-being, manusia dengan sifatnya yang fitri, al-hanafiyah al-samhah.

Pemantapan jati diri, atau pembentukan karakter manusia yang fitri merupakan sistem yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai aspek yang meliputi proses, strategi, dan input yang bermuara kepada output. Elemen-elemen dasar pendidikan tersebut, satu dengan yang lain saling berkaitan sehingga untuk menghasilkan output yang diharapkan harus didukung dengan unsur-unsur lain yang kondusif.

Sebagai awal dari semua proses tersebut, input dalam pendidikan yang terdiri dari materi, guru, dan siswa menjadi dasar dalam pencapaian tujuan pendidikan. Materi harus disikapi sebagai sesuatu yang bersifat mentah yang perlu diolah dan dikembangkan sesuai dengan konteks perubahan kehidupan, tapi terus berpijak pada nilai-nilai universal materi dan pendidikan.

Berkaitan dengan pengembangan materi, guru yang memiliki pengetahuan yang luas dan bermoral baik menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam suatu lembaga pendidikan, tanggung jawab pokok pembentukan moral dan intelektual tidak terletak pada salah satu prosedur atau kegiatan. Tanggung jawab pokok justru ada pada pengajar atau guru. Guru dituntut untuk mengembangkan materi yang diberikan, meletakkannya dalam nilai-nilai kemanusiaan dan agama substansial, serta melakukan kontekstualiasi dengan kehidupan konkret.

Pemahaman materi dan internalisasi nilai mensyaratkan adanya peserta didik yang memiliki kesehatan dasar yang berkaitan dengan proses dan kegiatan pendidikan tersebut. Karena itu, faktor pemenuhan dasar dalam kesehatan merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam pencapaian tujuan pendidikan.

Namun guru yang baik, dan materi yang baik belum menjamin terjadinya suatu proses pendidikan yang mencerahkan, dan tidak secara langsung dapat membumikan tujuan pendidikan dalam kenyataan kehidupan. Dimensi strategi yang mumpuni perlu dipadukan ke dalam keseluruhan kegiatan pendidikan. Keteladanan seorang guru –sebagai cerminan dari tanggung jawabnya– menjadi prasyarat mutlak yang harus hadir dalam proses pendidikan. Pada sisi ini, metodologi yang demokratis merupakan bagian dari pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, hubungan saling percaya dan persahabatan otentik antara pendidik dan peserta didik menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan sejati dari komitmen kepada nilai-nilai.

Secara umum ada empat jenis pendidikan di Madura. Pertama, pendidikan umum meliputi TK, SD, SLTP, SMTA, dan perguruan tinggi. Pada pendidikan ini 98% materi pelajarannya terdiri dari pengetahuan umum, dan 2% agama. Secara hirarkis lembaga ini berada di bawah kewenangan DPN (Departemen Pendidikan Nasional). Kedua, Pendidikan Madrasah yang terdiri dari Ibtidaiyah (setingkat SD), Tsanawiyah (setara dengan SLTP), dan Aliyah (setingkat SMTA).

Karakteristik pendidikan ini terletak pada mata pelajaran yang diajarkan yang terdiri dari minimal 30% harus terdiri dari pelajaran agama Islam. Lembaga ini berada di bawah naungan Departemen Agama. Ketiga, Madrasah Diniyah dengan tingkatan awaliyah (dasar), wustho (pertengahan), dan ulya (atas). Pendidikan ini hanya mengajarkan pelajaran agama Islam dalam bentuk klasikal. Keempat, Pondok Pesantren dalam bentuk Salaf dan Modern. Lembaga ini merupakan pusat pendalaman ilmu-ilmu agama Islam dan lembaga dakwah melalui pendidikan yang bersifat informal selama sehari penuh.  

Dari aspek referensi, secara umum pendidikan di Madura dapat dikategorikan dalam dua jalur utama; yakni:

Pada jalur ini lembaga pendidikannya adalah sekolah-sekolah, negeri maupun swasta, yang menggunakan kurikulum pendidikan yang telah disusun dan ditetapkan oleh pemerintah untuk berbagai tingkat pendidikan yang ada. Seperti digambarkan diatas, bahwa komposisi mata pelajaran di sekolah yang sudah dibakukan oleh pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) adalah lebih berat kepada materi umum dan sangat sedikit alokasi untuk mata pelajaran keagamaan. Dengan demikian, sesungguhnya nampak jelas perbedaan karakteristik antara lembaga pendidikan (sekolah) umum dengan lembaga pendidikan keagamaan yang memang lebih disukai oleh kebanyakan masyarakat Madura.

Pesantren dan beberapa sekolah agama (Islam) termasuk dalam jalur ini, dan kurikulum yang digunakan mengacu pada kitab-kitab khusus keagamaan yang ditulis oleh para ulama terkemuka pada beberapa abad yang lalu (umumnya Kitab Kuning), yang telah digunakan secara turun temurun sejak berabad-abad seiring dengan usia keberadaan pesantren itu sendiri. Kalaupun ada kitab tulisan ulama baru, para kiyai akan menyeleksinya dengan ketat terlebih dahulu apakah kitab tersebut termasuk dalam kriteria “bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kualitas keilmiahannya”. Ukuran sederhana keabsahan dan bobot ilmiah tersebut adalah bagaimana kitab termaksud mampu menunjukkan kaitannya kepada empat sumber yang menjadi kesepakatan para ulama Islam, yaitu Al Qur'an, Hadits, pendapat para Sahabat Nabi, dan pendapat 'Ulama.

Secara umum, materi pendidikan yang digunakan di pesantren, khususnya yang berkaitan dengan upaya membangun karakter manusia (melalui santri), pada dasarnya mengacu pada formulasi yang telah disepakati oleh ulama fiqh yang dikenal dengan sebutan Kuliyatul Khams, yang terdiri dari: (1) hak perlindungan untuk beragama (hifdz al din) bagi setiap insan, (2) hak perlindungan hidup dan kehormatan (hifdz al nafs wa al-irdl), (3) hak perlindungan berpemikiran (hifdz al aql), (4) hak perlindungan keturunan (hifdz al-nasl), (5) hak mempertahankan pemilikan atau harta (hifdz al-mal).

Bagi masyarakat Madura, pendidikan berarti penanaman ajaran agama (Islam), baik nilai-nilai maupun aturan-aturan lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan mencermati fakta bahwa kebanyakan mereka lebih mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada pondok pesantren atau madrasah. Dalam pandangan mereka, lembaga pendidikan merupakan sarana untuk keselamatan dunia dan akhirat. Pendidikan Pesantren telah menjadikan pesantren/kiyai di satu pihak dan masyarakat di pihak lain berada dalam pola hubungan yang berkesinambungan sepanjang hidup mereka. Masyarakat sebagai alumni pesantren akan meminta nasihat kepada kiyai dalam mengatasi beragam atau sebagian persoalan yang mereka hadapi. 

Jadi tidak mengherankan apabila pendidikan agama merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Secara statistik hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa di pulau Madura terdapat lebih dari 2.200 pondok pesantren dan madrasah, sedangkan sekolah umum hanya 731 buah; sedangkan tingkat melek huruf Arab mencapai 60 % dan yang melek huruf Latin hanya 40 %.

Hingga saat ini, para orang tua menanamkan ajaran agama dengan mengirimkan anak-anaknya ke pusat-pusat pendidikan agama, mengajarkannya di rumah, atau keduanya. Lembaga pendidikan yang terendah adalah langgar yang dimiliki secara pribadi oleh guru-guru agama, serta pada umumnya masyarakat Madura.

Pendidikan dasar agama di langgar (surau) umumnya adalah memperkenalkan Al-Quran, dimulai dengan pengetahuan sederhana mengenai huruf Arab kemudian maju ke turutan (bab-bab / surat pendek dari Al-Quran), dan pembacaan seluruh Al-Quran. Untuk studi lebih lanjut, para siswa pergi ke pesantren di mana kitab-kitab lainnya (buku-buku agama) diajarkan.

Pendidikan pesantren dirancang dengan sistem asrama (full day school), artinya para murid (= santri) menerima materi pendidikan bukan hanya terbatas yang diterima di dalam kelas, melainkan termasuk juga pembinaan-pembinaan di luar kelas sepanjang waktu kehidupannya di lingkungan pesantren. Dengan sistem demikian, pendidikan diatur dengan seimbang, antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Masalah duniawi, kesejahteraan di dunia, harus dicapai tetapi tetap memprioritaskan kebutuhan akhirat. Substansi dan wujud dari kebutuhan akhirat adalah ‘kasih sayang’. Dan, fungsi duniawi tersebut adalah manifestasi dari fungsi sosial Islam.

Paradigma yang menjadi dasar metode pendidikan di pesantren adalah, bahwa pesantren adalah untuk orang desa (pasantren dhisa-an), lingkupnya kecil. Setiap sesuatu yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki, dan menyesuaikan dengan keadaan masyarakat.

Pada masa sekarang sudah banyak pesantren yang memberikan materi pendidikan tidak hanya yang menyangkut agama, tetapi juga memberikan materi pengetahuan dan keterampilan-keterampilan umum sebagaimana menjadi tuntutan era sekarang.

Pendidikan masyarakat dilakukan oleh para Kiyai dan atau Nyai dalam forum-forum pengajian kitab di berbagai komunitas pada waktu-waktu tertentu, dan biasanya bersifat rutin dan terbuka.

Materi pelajaran yang umum diberikan di pesantren meliputi: Fiqh (ilmu tentang hukum-hukum dalam agama), Tauhid (ilmu tentang Ketuhanan atau Keimanan), Tajwid (ilmu tentang ‘baca Al Qur’an), dan Akhlaq (moral dan etika).

Buku-buku atau kitab yang menjadi referensi adalah Kitab Kuning yang terdiri dari berbagai judul dan penulisnya, antara lain: Sullamuttaufiq, Bidayatul Hidayat, Kifayatul ‘Awam, Safinatunnajah, Ta’limul Muta’allim, Kifayatul awam, ‘aqidatul ‘awam, dan Mandzlumatur Risalah, Tarbiyatussibyan, Fathul Jannah, dan lain sebagainya. Kitab-kitab ini antara satu pesantren dengan pesantren lainnya tidak sama, tergantung kepada minat Kiai dan kekhususan pesantren. Namun demikian, semua pesantren memiliki sumber rujukan utama yang sama, yakni: Al Qur’an, Hadits, dan pendapat para Sahabat Nabi Muhammad saw., dan pendapat Ulama (Kitab Kuning).

Di beberapa pesantren, pelajaran akhlaq (moral etik) tidak menjadi ketentuan langsung, misalnya dengan menentukan buku / kitab khusus akhlaq, tetapi lebih ditekankan pada tingkah laku dan pergaulan para santri, dengan menyelipkan pengetahuan yang diperoleh dari kitab kuning.

Banyak pesantren yang sebenarnya telah memberikan pendidikan tentang keadilan dan kedamaian, baik dengan penyampaian dalil-dalil atau ajaran yang diambil dari empat rujukan (sumber) utama tersebut diatas, maupun melalui keteladanan langsung dari Kiyai.

Contoh ajaran tentang kedamaian yang sering disampaikan kepada santri, antara lain, riwayat bahwa Nabi Muhammad saw. Misalnya, “Tidak membalas ketika disakiti, dilempari kotoran oleh orang-orang yang jelas-jelas memusuhi beliau”.

Sedang contoh keteladanan bagaimana bersikap dan bergaul dengan sesama cukup banyak bisa dilihat pada Kiyai Sepuh. Misalnya, ada seorang Kiyai yang apabila sedang dalam suatu perjalanan kemudian di tengah jalan bertemu dengan sekumpulan burung tekukur sedang mencari makan di tengah ruas jalan yang akan beliau lalui, ternyata si Kiyai lebih memilih jalur menghindar karena takut mengganggu keasyikan burung-burung tersebut makan. Ada juga Kiyai lain, yang apabila kopinya dikerubut semut, beliau bukannya mengusir semut-semut itu, sebaliknya beliau mengambil gula untuk diberikan kepada kumpulan semut tersebut.

Meskipun pembangunan sekolah-sekolah umum oleh pemerintah (terutama pada jaman kolonial, pen.) mempengaruhi jumlah pendaftar di pesantren, namun pendidikan agama masih merupakan bagian yang esensial dari proses sosialisasi. Lulusan pesantren merupakan kaum intelektual desa, sementara lulusan sekolah umum merupakan elit perkotaan. Pendidikan agama masih sangat populer di Madura. Kondisi seperti itu tidak banyak mengalami perkembangan sampai sekarang. Artinya, pendidikan pesantren tetap menjadi prioritas utama masyarakat pedesaan.

3. REFLEKSI

Dari paparan diatas jelas sekali bahwa di Madura secara tradisional selama ini sesungguhnya masyarakat telah mempraktekkan dengan konsisten pendidikan yang meletakkan nilai sebagai pondasi dari pendidikan itu sendiri serta pondasi bagi kehidupan masyarakat secara umum. Namun demikian, “tak ada gading yang tak retak”, artinya dalam perkembangannya ada hal-hal yang perlu lebih dicermati agar kemuliaan pondasi tersebut mampu menyangga bangunan kehidupan yang terus berkembang seiring dengan trend kehidupan yang semakin materialistis dan cenderung mengutamakan individualisme. Terlebih akhir-akhir ini banyak kita jumpai kecenderungan bergesernya nilai sosial masyarakat, menjadi lebih diwarnai oleh pragmatisme dan hedonisme sehingga nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan menjadi penjamin terciptanya rahmatan lil alamin mulai banyak ditinggalkan oleh sebagian masyarakat kita, di Madura maupun dimana saja di bumi Nusantara tercinta ini.

Yang sulit dilihat dalam proses pendidikan yang dikatakan lebih mengutamakan penanaman nilai adalah sebuah proses “dialouge of life”, yakni antara pendidik dengan anak/peserta didik terbangun proses musyawarah, membahas dengan mendalam hingga menyentuh ranah kedalaman nurani tentang fakta-fakta kehidupan. Tentu pembahasan atau musyawarahnya adalah dalam kerangka pendidikan, jadi ada muatan ilmiahnya bukan dalam konteks ngerumpi atau rumor.

Ditinjau dari segi kurikulum, sesungguhnya pendidikan di masyarakat Madura (utamanya di pesantren) sudah baik, dalam arti memiliki cukup lengkap kitab/buku yang jadi acuan. Setiap kitab selalu merujuk kepada empat sumber yang menjadi kesepakatan para ulama Islam, yaitu Al Qur'an, Hadits, pendapat para Sahabat Nabi, dan pendapat 'Ulama. Pada umumnya kurikulum Madrasah Diniyah dan Pesantren adalah sangat fleksibel. Hal ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang dianut pesantren.  

Sejauh ini pendidikan di Madura dalam beragam jenisnya masih berkutat dengan sejumlah kendala mendasar yang berdampak pada kurang maksimalnya pencapaian tujuan pendidikan. Di antara kendalanya adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya orang tua yang mengawinkan anaknya pada usia yang sangat muda, terutama untuk anak perempuan; hal ini dianggap berhubungan sebab-akibat dengan tingkat pendidikan masyarakat Madura yang pada umumnya masih rendah.

Selain itu, kendala lain terletak pada kurikulum madrasah atau pesantren yang dikotomis, yang membedakan nilai pelajaran agama dan umum. Hal itu masih diperparah lagi dengan belum kokohnya keterkaitan yang saling mendukung antara satu pelajaran dan pelajaran yang lain, semisal fiqh, aqidah, dan akhlak. Justru yang tampak adalah penekanan pada fiqh oriented yang lebih menitikberatkan pada aspek yang bersifat formal-ritual. Demikian pula, kelemahan pendidikan terdapat pada kekurangan tenaga guru baik secara kuantitas maupun kualitas. Kelemahan lainnya terletak pada strategi pengajaran yang belum kontekstual, dan masih lebih bersifat pengajaran dibandingkan dengan pendidikan, serta sering menitikberatkan pada aspek hafalan dibandingkan pemahaman. Faktor kelemahan lain dalam bidang strategi adalah hukuman yang diterapkan kepada siswa yang masih sering berbentuk fisik dan jauh dari nilai-nilai-nilai kependidikan, dan bahkan nilai agama. 

Kelemahan-kelemahan tersebut mengakibatkan pendidikan kurang berhasil dalam pencapaian tujuan pendidikan seperti dalam pengembangan aspek kognitif, afektif, dan konatif siswa. Dalam skala yang lebih luas, masyarakat dengan pendidikannya yang relatif rendah tersebut kurang mampu mengedepankan aspek rasional dan nilai-nilai substansial agama. Alih-alih, mereka justru lebih sering dikuasai oleh emosi dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan. 

4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dengan mencermati realitas bahwa masyarakat (Madura) lebih tertarik memasukkan anakknya ke pesantrean merupakan indikasi kuat dan jelas bahwa sesungguhnya dari sisi masyarakat sendiri pendidikan berbasis nilai sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, karena memang di pesantren lah pendidikan tidak memilah secara rigit antara materi-materi pendidikan dengan nilai-nilai yang kebanyakan diberikan kepada anak didik (santri) melalui bentuk keteladan sikap dan perilaku guru (ustadz, maupun Kiyai/Nyai). Juga dari kalangan pesantren lah masyarakat memperoleh arahan yang terus menerus dalam menjalani kehidupan karena para Kiyai/Nyai akan tetap memelihara hubungan (silaturahmi) dengan “mantan” santrinya. Bahkan sebutan “mantan santri” tidak dikenal dalam kamus kehidupan masyarakat Madura. Mereka akan tetap menyebut diri sebagai santri meskipun telah puluhan tahun meninggalkan pesantrennya. Bahkan masyarakat yang tidak pernah jadi santri suatu pesantren pun akan tetap berhubungan keilmuan dengan Kiyai/Nyai dan menyebut dirinya sebagai santri dengan standar ilmu dan nilai sebagaimana diperoleh dari Kiyai/Nyai mereka masing-masing.

Pada pandangan kami, kebingungan mengkonsep “pendidikan berbasis nilai”, dalam konteks masyarakat Madura, terjadinya adalah karena kesulitan untuk mengkompromikan antara landasan dan kebiasaan pendidikan yang telah ada di masyarakat (baca: Pesantren) dengan pendidikan formal yang harus taat dan patuh pada pola yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sementara di lingkungan pendidikan formal, diakui atau tidak, lebih sering terjadi praktek pendidikan harus mengikuti (baca: mengalah) kepada kepentingan administrasi yang kadang jauh dari muatan dan kepentingan pendidikan itu sendiri.

Jadi ide dan kehendak untuk memperkuat kembali pendidikan berbasis nilai maka yang harus dijadikan acuan adalah kecenderungan masyarakat sendiri dan pesantren yang telah berhasil menanamkan nilai-nilai luhur kehidupan dengan cara-cara yang demikian hebat melalui keteladanan para gurunya. Selanjutnya, bagaimana nilai itu bisa menyisip dan berkompromi dalam sebuah mata pelajaran, adalah bagian dari tantangan profesional para insan pendidikan dengan masing-masing lembaga pendidikan dimana mereka berkiprah. Sebagai misal, bagaimana menyisipkan pesan moral yang bisa diambil dari fiqh atau yang lainnya dalam pelajaran biologi, pelajaran matematika dan lain sebagainya, terlebih pelajaran-pelajaran yang bersifat sosial (humaniora) dengan cara yang tidak menimbulkan “efek teror” (menakutkan) bagi para murid. Sebaliknya, murid malah terbangun kesadaran nilai kemanusiaannya yang paling hakiki tanpa adanya kalimat “Awas dosa, lho!”.

Rekomendasi Rancangan Proses Penanaman Nilai

Sebagaimana umumnya proses pendidikan di sekolah-sekolah yang ada, selama ini kegiatan pendidikan (formal) tampil lebih dalam wujud sebagai praktek pengajaran saja, artinya para guru menyampaikan dengan model ceramah materi-materi pendidikannya (termasuk penanaman nilai) dalam bentuk lisan dan kebanyakan searah. Jarang yang memberikan kesempatan diskusi dan dialog cukup mendalam dengan para anak/peserta didik. Barangkali anak-anak dianggap belum punya kemampuan pikir, imajinasi dan daya tangkap terhadap suatu materi (?). Entahlah. Yang jelas anggapan demikian tidak dapat dibenarkan. Sejak kanak-kanak, kita semua telah dibekali kemampuan sosial dan lain sebagainya, sesuai dengan batas usia yang ada. Dalam dunia pendidikan formal (sekolah) ada baiknya menambah keragaman cara penyampaian materi pendidikan dari cara yang selama ini diterapkan. Anak didik diberi porsi lebih dalam olah pikir dan olah rasa secara mandiri dan diperhadapkan langsung dengan realitas. Tentu saja tetap dalam pengawasan dan bimbingan guru. Hanya saja dengan cara berikut murid difasilitasi saja untuk berproses, bukan lagi diajari khususnya dalam mencerna dan menginternalisasikan sebuah nilai terkait dengan suatu topik bahasan. Dua pilihan rancangan proses penanaman nilai yang diusulkan adalah:

Dimaksud keterampilan disini adalah kemampuan seseorang (baca: anak atau peserta didik) berkaitan dengan suatu topik atau pengetahuan tertentu yang selanjutnya akan menjadi “pewarna” dari sikap dan perilaku sehari-hari mereka.

Proses pengembangan keterampilan ini sebaiknya dilakukan dalam bentuk “pendampingan” oleh para senior secara langsung dan dengan intensitas pertemuan yang cukup, untuk membangun praxis secara bersama (aksi – refleksi – aksi) antara pengetahuan, pemahaman dan implementasi nyatanya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya; bagaimana menginternalisasikan dan mengimplementasikan konsep-konsep sabar, jujur, adil, amanah, pemberani, pemurah, sopan, rendah hati, kasih sayang, dan lain sebagainya dalam pergaulan dengan sesama teman, dengan orang yang lebih tua, dengan yang lebih muda dan sebagainya dalam kondisi-kondisi tertentu.

Dalam praxis, pendamping bisa menunjukkan dari contoh yang terlihat bersama anak didik hal-hal yang menujukkan konsep-konsep nilai diatas atau sebaliknya bertentangan dengan konsep nilai diatas. Penunjukan tersebut sekaligus menjadi ajang diskusi bersama para anak didik. Pendamping hanya membuka, menunjukkan rujukan konsepsional atau teoritisnya, biarlah para anak didik memproses dirinya sehingga terjadi kepahaman dan lambat laun kelak terjadi internalisasi nilai dalam perilaku mereka. Jadi dengan metode praxis iini anak didik dibiasakan untuk selalu melihat, mengkaji, menghayati dan mendalami suatu ajaran dan didikan, mempraktekkannya dalam perilaku sehari-hari, merenungkan dampak perilaku tersebut bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri; lalu mencari upaya perbaikan apabila yang terjadi adalah dampak negatif atau mencari upaya penyempurnaannya apabila sudah tercapai dampak positifnya.

Masih dalam konteks metode praxis, akan sangat baik apabila bisa dikondisikan sedemikian rupa sehingga antar anak didik bisa terbangun mekanisme saling kontrol yang kuat namun asertive (cara yang baik, kreatif dan menyenangkan). Dengan membangun kebiasaan sikap dan perilaku asertive tersebut dalam upaya saling kontrol antar anak didik maka muatan perilaku damai pun terbangun secara pelan pada diri anak didik. Bahkan guru sebagai pendamping mereka bisa mengambil suatu lesson learned tertentu dari pencermatan dinamika pergaulan mereka yang bermanfaat bagi pengembangan strategi dan metodologi pendidikan berbasis nilai dalam berbagai penerapan ke depan.

-----WZ/2007-----

 

* Ide tulisan ini adalah dalam konteks kehidupan masyarakat Madura, khususnya yang tinggal di pulau Madura, dan materinya sebagian digubah ulang dari Laporan Program Pendidikan Kedamaian Melalui Pesantren oleh Konsorsium Keadilan dan Kedamaian.

1) Ketua Konsorsium Keadilan dan Kedamaian, sekaligus anggota pengurus PP Lakpesdam NU periode 2005-2009. Email: pak_wz@yahoo.com atau cakwazir@gmail.com

2) Sebuah non goverment organization (NGO) yakni lembaga non-profit yang saat ini berkedudukan di Malang, bergerak dalam upaya-upaya membangun kesadaran sosial masyarakat yang lebih baik dalam konteks membangun kehidupan berbangsa-bernegara yang lebih sejahtera, demokratis, damai dan berkeadilan.

3) International NGO yang membuka kantor di Jakarta, dan fokus pada upaya-upaya penciptaan kedamaian dan penyelesaian konflik sosial masyarakat.

Lihat Fuad Hasan, “Mendekatkan Anak Didik pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya” Rubrik Dialog dalam Jurnal Prisma, (No. 2 1986, Tahun XV), hlm. 40.

J. Drost, S.J., “Manajemen Berbasis Sekolah” dalam Jurnal Basis Basis (Juli – Agustus 2002), hlm. 64.

Lihat Ibid.

 

Back To Daftar Isi

ARTIKEL UTAMA

PENDEKATAN SPIRITUAL DALAM MENGASUH ANAK

(Menuju Penguatan Fungsi Keluarga dan Orang Tua)

Umar Bukhory

Umar Bukhory lahir di Surabaya, 30 tahun yang lalu adalah Alumni Tarbiyatul Mu'alimien Al-Islamiyah (TMI) Al-Amien Prenduan dan UIN (dulu IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini, bekerja sebagai Dosen Tetap STAIN Pamekasan, dan Dosen Tidak Tetap UIM Pamekasan dan IDIA Al-Amien Prenduan Sumenep. Aktivitas di luar antara lain sebagai Sekretaris Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-kanak Al-Qur'an (LPPTKA) Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Pamekasan, Ketua Pengurus Cabang Lajnah Ta'lif Wan Nasyr Nahdlatul 'Ulama (PC LTN-NU) Pamekasan dan Divisi Penerbitan pada Center for Madura Studies (CerMaD).

Prolog

Ketika mengunjungi sebuah sekolah dasar di Inggris, Prof. Dr. Suyanto (saat masih menjabat sebagai Rektor Universitas Negeri Yogyakarta) bertanya kepada seorang pelajar kelas 4 SD tentang mengapa dia belajar matematika? Pelajar yang ditanya menjawab bahwa dia belajar matematika, karena dua alasan. Pertama, dia ingin menjadi seperti bibinya yang berprofesi sebagai teller (kasir) di sebuah bank dan kedua, dia ingin membantu tetangganya yang membuka toko kecil di sebelah rumah, lantaran ia sering kesulitan untuk menghitung uang hasil penjualan dagangannya dalam satu hari. Sebaliknya, ketika pertanyaan yang sama dilontarkan kepada pelajar kelas 1 SMA di Indonesia, si pelajar menjawab bahwa dia belajar matematika karena besok pagi memang ada matematika dalam jadwal pelajarannya.

Jawaban ini dalam pandangan Prof. Dr. Suyanto sungguh ironis, karena sama sekali tidak mengandung sistem nilai luhur yang menjadi makna terdalam dari suatu proses pendidikan. Menurut beliau, pendidikan seharusnya menjadi transfer nilai-nilai luhur dan tidak hanya transfer materi pelajaran atau penuntasan target kurikulum saja. Proses pendewasaan diri pelajar yang menjadi tujuan utama dari proses pendidikan akan berhasil guna, jika pelajar mampu menghayati makna dan mampu mengambil peran positif dalam berbagai bidang kehidupan sosialnya. Penghayatan makna dan pengambil alihan peran inilah yang menjadi tolok ukur bagi kecerdasan spiritual seseorang.

Berdasarkan cerita di atas, kemampuan seseorang memaknai pelajaran yang ditekuninya dalam kegiatan belajar pada dasarnya dapat dipupuk sejak usia dini. Jawaban siswa kelas 4 SD atas pertanyaan sang profesor menunjukkan bahwa setiap mata pelajaran yang dipelajari harus mengandung nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi masa depan yang mempelajarinya dan seharusnya sudah mulai ditanamkan sejak dini. Manfaat bagi sesama manusia dan alam semesta sebagai tujuan utama harus diperkenalkan dan disampaikan di tengah-tengah kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia lebih mengutamakan simbol daripada tujuan utama kehidupan bangsa.

Seseorang yang mampu menghayati makna berarti memiliki kecerdasan spiritual yang baik, karena kecerdasan spiritual (Spiritual Qoutient/ SQ) sebagai kecerdasan terdalam (ultimate intelligence) berkait erat dengan persoalan makna (meaning) dan nilai (value), di mana seseorang mampu menempatkan perilaku dan hidupnya dalam konteks makna dan nilai yang lebih luas. Jika seorang anak telah dididik untuk mampu menghayati makna dalam hidupnya sejak usia dini, maka ia akan menjadi pribadi dengan kecerdasan spiritual tinggi pada fase kehidupan berikutnya.

 Problematika Pengasuhan Anak

Usia kanak-kanak (3-6 tahun) atau anak pra-sekolah (preschool age) adalah fase yang menentukan bagi perkembangan hidup seseorang di semua aspek, baik fisik, emosi, mental, moral dan keberagamaan mereka. Dalam usia ini, kepribadian anak dibentuk oleh lingkungan dan model pendidikan yang dialaminya sehari-hari. Cara berpikir anak yang cenderung berkhayal, atau The fairy-tale stage (Tahap Cerita Khayal) dalam bahasa Ernest Hams, menjadi bagian penting dari pengalaman hidup yang nantinya akan membentuk karakter dasar dan kepribadian seseorang di fase kehidupan berikutnya, baik remaja maupun dewasa.

Selain faktor kesehatan, seperti makanan yang sehat dan perawatan yang baik serta lingkungan psikologis dan sosial-budaya, masa depan anak pada dasarnya bergantung sepenuhnya pada cara dan model pengasuhan dan pendidikan yang diterapkan pengasuh/ kedua orang tuanya. Berdasarkan prinsip ini, maka pendidikan keluarga menempati posisi yang sangat penting. Sebab, keluarga memiliki fungsi internal sebagai pusat pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Suasana, situasi dan kondisi yang diciptakan oleh para individu di dalamnya sangat menentukan bagi perjalanan hidup anak pada fase kehidupan berikutnya. Karena itu, jika fungsi tersebut berjalan dengan baik dan benar, maka anak akan tumbuh menjadi generasi unggul dan penuh harapan. Bisa dibayangkan, betapa besarnya resiko moral dan mental yang harus ditanggung oleh seorang anak yang tidak mengenal orang tuanya, sejak ia dilahirkan. Karena sejak saat dilahirkan, seorang anak akan belajar secara otomatis dari model kehidupan pertama yang dia rasakan, yakni kehidupan keluarga.

Hasil penelitian oleh para ahli psikologi perkembangan menunjukkan bahwa sebagian besar persoalan pada perkembangan anak terjadi karena ketidaksiapan orang tua dalam memainkan peran dalam keluarga, baik sejak masa pre-natal hingga anak dilahirkan dan tumbuh berkembang. Perhatian orang tua dalam mengasuh anak rata-rata terfokus pada sisi fisik dan kesehatan saja. Sedangkan sisi moral, mental dan psiko-sosial sangat lemah dan kurang begitu diperhatikan, sehingga pada gilirannya anak tampak hanya sehat secara fisik, tanpa mendapatkan pengasuhan yang berorientasi pada sisi-sisi emosional, spiritual dan sisi non-fisik lainya.

Sebagai akibat dari ketidaksiapan tersebut, beberapa kekeliruan dalam pengasuhan anak seringkali dilakukan, antara lain:

Karena faktor ketidaksiapan tersebut, maka keluarga sebagai pusat pendidikan pertama sudah dapat dipastikan akan mengalami disfungsi. Ketika hal itu terjadi, maka anak yang menjadi "penumpang" dalam "pesawat keluarga" akan menjadi korban. Untuk itu, orang tua dituntut untuk dapat memainkan fungsinya dengan baik dan memiliki pemahaman yang baik pula tentang dunia anak yang berbeda dengan dunianya.

 Bermain Dan Belajar

Dunia anak adalah dunia bermain. Para ahli psikologi menegaskan bahwa bermain sangat besar pengaruhnya pada diri anak, sehingga karenanya, bermain dapat menjadi salah satu metode pembelajaran yang efektif bagi anak, walaupun ia tidak berorientasi pada hasil akhir. Karena biasanya bertujuan untuk memperolah kesenangan, sebagian besar orang tua berpendapat bahwa terlalu banyak bermain akan membuat anak menjadi malas dan bodoh. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena permainan yang terarah dapat menjadi media untuk mencerdaskan anak. Apalagi, dalam memainkan permainan aktif, anak cenderung sering bergerak, di mana gerakan-gerakan tersebut dapat membantu perkembangan dirinya, sehingga karena itu, bermain bagi anak dipengaruhi berbagai faktor, seperti kesehatan, intelegensi, jenis kelamin, lingkungan dan status sosial-ekonomi.

Para psikolog anak menyebutkan bahwa pengaruh bermain bagi anak dapat mencakup perkembangan fisik, pengetahuan, perkembangan kreativitas, tingkah laku sosial dan nilai moral anak. Bahkan, dalam ruang lingkup pendekatan medis, bermain dapat menjadi sarana terapi bagi anak. Karena itu, pendidikan akhlak dan budi pekerti dapat juga disisipkan dalam permainan yang dilakukan anak. Saat bermain, baik di dalam jenis permainan aktif maupun pasif, orang tua atau pendidik dapat mendampingi anak untuk mengembangkan seluruh potensinya yang mencakup perkembangan fisik (motorik halus-kasar), bahasa, mental, interaksi sosial dan lain sebagainya. Kemampuan orang tua yang menjadi pendamping dalam menangkap makna di balik jenis permainan yang dilakukan menjadi kunci utama dari pengembangan seluruh potensi kreatif anak.

Selain memainkan fungsi pendampingan, orang tua dapat memerankan fungsi penyeleksi jenis-jenis permainan yang dilakukan anak. Taufan Surana menyebutkan bahwa melakukan pemilihan jenis permainan untuk anak bersifat gampang-gampang susah. Jenis permainan yang terlalu rumit dapat mengakibatkan stress dan menjadi hambatan bagi perkembangan emosi anak. Jenis permainan yang baik akan memberikan rangsangan seimbang bagi seluruh panca indera anak, karena pada gilirannya, ia akan merangsang perkembangan sel-sel otak, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Beberapa tips sebagai bahan pertimbangan bagi orang tua dalam memilih mainan anak antara lain:

Menjalin Komunikasi, Menjadi Teladan

Ada dua kata kunci yang senantiasa harus dipikirkan dan diterapkan oleh para orang tua dalam mengemban tanggung jawabnya dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri anak, yakni: Komunikasi dan Teladan.

Pertama: Komunikasi. Satu press release dari sebuah televisi di Jepang menunjukkan bahwa masalah terbesar yang dihadapi anak adalah keterlambatan dalam kemampuan bahasa/komunikasi saat menginjak usia 3-4 tahun. Keterlambatan perkembangan anak sering terjadi karena kurangnya stimulasi yang seharusnya diperoleh pada usia 3 tahun pertamanya. Jika anak mempunyai kesempatan untuk melakukan seluruh kegiatan yang memberinya stimulasi-stimulasi yang benar, maka anak akan memiliki kemungkinan yang besar untuk tumbuh cerdas, baik dalam segi fisik, mental maupun sosial. Stimulasi tersebut mencakup perkembangan emosi, fisik (melalui kebiasaan dan rutinitas, serta koordinasi gerakan kasar dan halus), perkembangan indera dan bahasa/komunikasi.

Beberapa kiat praktis yang dapat dilakukan orang tua/ pendidik dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi dengan anak adalah:

Kedua, keteladanan (al-qudwah/ al-uswah). Model dan cara hidup orang tua adalah kunci utama bagi anak dalam proses membentuk karakter dan membangun kepribadian. Bagi anak, orang tua adalah sosok paling istimewa dan paling dominan dalam kehidupan mereka. Sebab, potensi meniru semua perilaku orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama orang tua, masih sangat dominan, bahkan hampir mencapai 100%. Saking besarnya peran orang tua bagi anak, Zakiah Darajat menggambarkan orang tua sebagai pusat rohani, sehingga setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari selalu terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya.

Karena pentingnya peran orang tua dalam kehidupan anak, maka keteladanan orang tua menjadi prinsip dasar dalam pembentukan kepribadian dan karakter anak. Ketika berbuat baik dimulai dari orang tua, maka anak akan melihatnya sebagai role model dalam kehidupannya, sehingga jika contoh tersebut terekam kuat dalam memori mentalnya, maka peran teladan akan menjadi lebih berfungsi daripada seribu kata-kata. Bahkan, sejak era klasik, St. Augustinus [354-430 M] menyebutkan bahwa Anak memiliki kecenderungan untuk menyimpang dan lebih mudah belajar dengan contoh daripada dengan aturan .

Dalam menggambarkan betapa pentingnya peran keteladanan dalam diri anak, Dr. Abdullâh Nâshih ‘Ulwân menegaskan:

Keteladanan dalam pendidikan merupakan media yang sangat efektif dalam membentuk budi pekerti anak termasuk membentuk kepribadian dan interaksi sosialnya. Hal itu terjadi karena di mata mereka seorang pendidik merupakan sosok ideal dan teladan yang baik. Mereka akan meniru segala perilaku dan budi pekertinya, baik disadari atau tidak.

Nilai keteladanan secara umum juga dapat dilihat dalam sejarah hidup para rasul. Teladan yang ditampilkan rasulullah saw menjadi cara efektif untuk membangkitkan rasa cinta umat manusia, baik yang mengikuti ajaran beliau (baca: beragama Islam) maupun tidak, khususnya para sahabat. Keteladanan menjadi metode pendidikan terbaik untuk mendidik para sahabat pada madrasah al-rasûl untuk kemudian membangkitkan semangat untuk meniru segala kebaikan dalam diri rasul. Sabda yang diucapkan beliau akan mudah diterima, karena beliau adalah orang pertama yang melakukan apa yang disabdakan. Intinya, apa yang disampaikan Rasulullah saw merupakan keteladanan universal bagi seluruh generasi manusia.

Teladan yang baik dari orang tua dan ditindaklanjuti dengan pembiasaan berbuat baik dalam diri anak akan melahirkan karakter dan cara hidup beragama yang baik pula, termasuk dalam menunaikan kewajiban agama (baca: beribadah). Jika hal itu terjadi, anak tidak perlu merasa dipaksa untuk shalat, beramal soleh dan melakukan perbuatan baik yang lain hingga dirinya mencapai usia dewasa.

Mengasah Kecerdasan Spiritual Anak

Dalam upaya untuk memupuk potensi kecerdasan spiritual sejak dini pada diri anak, segalanya harus dimulai dari kelompok masyarakat terkecil, yakni keluarga. Karena keluarga adalah tempat dan lingkungan pertama yang berpengaruh besar bagi pertumbuhan spiritual anak. Ada setidaknya enam jalur yang dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dalam keluarga, yakni:

Anak dilatih melakukan tugas dengan motivasi internal, tanpa paksaan dan tekanan orang tua. Saat tahu manfaatnya, maka anak akan melaksanakan tugas dengan penuh semangat. Apalagi, orang tua memberi kebebasan pribadi bagi anak untuk melakukan kegiatan favoritnya yang bermanfaat, seperti membaca, memancing dan lain-lain. Bahkan, perlu dikembangkan kondisi yang mendukung kondisi batin anak untuk mengembangkan permainan kesukaannya, terutama mainan yang bertujuan mengembangkan potensi pribadi anak.

Posskrip

Masa keemasan atau golden age (0-5 tahun) seyogyanya dijadikan fase awal bagi pembentukan karakter dan kepribadian anak. Dalam memainkan berbagai fungsinya, baik sebagai pengasuh, pendidik, pendamping atau apa pun namanya bagi anak, orang tua harus memahami betul tahapan-tahapan perkembangan anak sejak pre-natal. Sejak dini, orang tua bertanggung jawab untuk mengasuh anak tidak hanya secara fisik semata, namun juga dalam segi mental, emosional, dan spiritualnya. Karena itu, komunikasi dan keteladanan menjadi sangat penting, agar anak mendapatkan hak asuhnya secara paripurna dari orang tua dalam keluarga. Kedua kata kunci tersebut harus mampu diterjemahkan secara konkret dan fleksibel dalam dunia anak yang suka bermain dan bergerak, bukan malah diterapkan secara kaku dan kukuh. Kata akhir yang dapat diungkapkan, bahwa kesuksesan orang tua dalam mengasuh anak sepenuhnya tergantung pada sejauh mana dia memainkan perannya dalam dunia anak.

Cerita di atas disampaikan Prof. Dr. Suyanto, saat menjadi narasumber Studium General dalam rangka Pembukaan Kuliah Tahun Akademik 2002/2003 Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam kaitannya dengan dunia tulis menulis, istilah tersebut kurang lebih sama dengan "mengikat makna" yang disebutkan Hernowo. Lihat www.mizan.com, Mizan Online Copyright © 1997 - 2002.

Baca Tulisan Ahmad Tohari, Republika, Senin, 12 Februari 2007.

Ary Ginanjar Agustian, ESQ; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual; The ESQ Way 165 (New Edition), (Jakarta: Arga, Januari 2006, cet. XXV), h. 43-7.

Abdul Wahid Hasan, "Menumbuhkan Kesadaran Beragama Anak ", Bulletin Gerbang Salam, LP2SI Pamekasan, tidak terbit.

Khamid Wijaya, et.al., "Mencetak Anak Cerdas? … Gampang!", www.balitacerdas.com, Minggu, 15-Februari-2004.

Muhammad Idris Jauhari Daa, Menuju Generasi Rabbi Rodliya; Keluarga yang Mendapat Rohmah & Barokah Allah swt, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), h. 9-10.

Baca Puisi Anak Belajar dari Kehidupan Keluarga karya Dorothy Law Notle dalam Adi W. Gunawan, Born to be Genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, Cet. II), h. 237-8.

Materi Pembinaan Guru LPMP Motiva, makalah tidak diterbitkan.

Ibid .

Materi Silaturrahmi Pengurus DPW Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah (LPPKS) Jawa Timur dan Pengurus Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Pamekasan, makalah tidak diterbitkan.

Untuk memahami prinsip dasar fungsional individu dalam keluarga, baca Muhammad Idris Jauhari Daa, Menuju Generasi Rabbi Rodliya…h. 11-16.

Baca selengkapnya Jalaluddin Rahmat, Belajar Cerdas; Belajar Berbasiskan Otak, (Bandung: MLC, 2005, Cet. 3), h. 99-157 & 215-221.

Baca "Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak", yang dikutip dari Temu Ilmiah Tumbuh Kembang Jiwa Anak dan Remaja dalam www.balitacerdas.com .

Taufan Surana, Mainan yang Mencerdaskan, www.balitacerdas.com. Dikutip dari Koran Tempo Keluarga No. 15 I Jumat, 29 Juli 2005. Bandingkan dengan http://www.askdrsears.com yang dikutip Jalaluddin Rahmat, Belajar Cerdas…, h. 221.

Taufan Surana, Permainan Kreatif, www.balitacerdas.com, Senin, 11-Oktober-2004.

Siti Aminah, “Komunikasi dalam Pengasuhan Anak”, Tim LPPKS Jawa Timur, Makalah tidak diterbitkan.

Para ahli menyebut pengaruh tersebut dengan istilah beragam, seperti Freud dengan father image (citra bapak), George Herbert Mead dengan significant others dan Richard Dewey dan W.J.Humber dengan affective others. Abdul Wahid Hasan, "Menumbuhkan Kesadaran Beragama Anak ", Bulletin Gerbang Salam, LP2SI Pamekasan, tidak terbit.

Siti Aminah, “Komunikasi ...”

Moh. Kasiram, Ilmu Jiwa Perkembangan; Bagian Ilmu Jiwa Anak, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), h. 13-4.

'Abdullâh Nâshih ‘Ulwân, Tarbiyat al-Awlâd fî al-Islâm , (Beirut: Dâr al-Salâm, 1985, cet. IX), h. 607.

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi; Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual Rasulullah di Masa Kini, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 189-191.

Hernowo menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara rasa cinta, kasih sayang dan keteladanan dalam konteks hubungan orang tua dan anaknya. Selengkapnya, baca Hernowo, "Menghadirkan Cinta, Ketakjuban dan Kegembiraan Di Sekolah-Sekolah: Cara Jitu Melejitkan Beragam Kecerdasan?", www.mizanlc.com.

Grace Pilon, seorang ahli pendidikan, menyebutnya dengan istilah Rasa Sejahtera dalam Pikiran.

Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan; Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), h. 48-51.


Daftar Pustaka

Ahmad Tohari, Republika, Senin, 12 Februari 2007.

Ary Ginanjar Agustian, ESQ; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual; The ESQ Way 165 (New Edition), (Jakarta: Arga, Januari 2006, cet. XXV).

Abdul Wahid Hasan, "Menumbuhkan Kesadaran Beragama Anak ", Bulletin Gerbang Salam, LP2SI Pamekasan, tidak terbit.

Khamid Wijaya, et.al., "Mencetak Anak Cerdas? … Gampang!", www.balitacerdas.com, Minggu, 15-Februari-2004.

Muhammad Idris Jauhari Daa, Menuju Generasi Rabbi Rodliya; Keluarga yang Mendapat Rohmah & Barokah Allah swt, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005).

Adi W. Gunawan, Born to be Genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, Cet. II).

Materi Pembinaan Guru LPMP Motiva, makalah tidak diterbitkan.

Materi Silaturrahmi Pengurus DPW Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah (LPPKS) Jawa Timur dan Pengurus Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Pamekasan, makalah tidak diterbitkan.

Jalaluddin Rahmat, Belajar Cerdas; Belajar Berbasiskan Otak, (Bandung: MLC, 2005, Cet. 3).

"Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak", yang dikutip dari Temu Ilmiah Tumbuh Kembang Jiwa Anak dan Remaja dalam www.balitacerdas.com .

Taufan Surana, Mainan yang Mencerdaskan, www.balitacerdas.com.

Taufan Surana, Permainan Kreatif, www.balitacerdas.com, Senin, 11-Oktober-2004.

Siti Aminah, Komunikasi dalam Pengasuhan Anak, Tim LPPKS Jawa Timur, Makalah tidak diterbitkan.

Moh. Kasiram, Ilmu Jiwa Perkembangan; Bagian Ilmu Jiwa Anak, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983).

'Abdullâh Nâshih ‘Ulwân, Tarbiyat al-Awlâd fî al-Islâm , (Beirut: Dâr al-Salâm, 1985, cet. IX).

Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi; Aplikasi Strategi & Model Kecerdasan Spiritual Rasulullah di Masa Kini, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006).

Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan; Pedoman bagi Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003).

From Websites:

www.mizan.com, Mizan Online Copyright © 1997 - 2002.

www.mizanlc.com

www.balitacerdas.com

 

 

Back To Daftar Isi

INTERNALISASI NILAI DALAM PENDIDIKAN

Oleh Abd. Kadir

Penulis adalah alumni STKIP PGRI Sumenep; penulis lepas di berbagi media massa; aktif di berbagai diskusi, seminar dialog, baik sebagai pesert maupun pembicara. Aktivitas sehari-harinya mengajar di SMA Negeri 1 Sapeken, Sumenep, dan masih dipercaya sebagai instruktur guru bahasa Indonesia SMA Kabupaten Sumenep


Pengantar
Merosotnya moral bangsa dewasa ini sudah sampai ke titik nadir dalam sejarah perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Adanya tawuran antar pelajar, tawuran antarwarga, pemerkosaan massal, sampai dengan pembakaran bangunan dan manusia merupakan indikator yang paling meyakinkan untuk menjustifikasi klaim di atas. Demikian juga dengan persoalan di jajaran birokrasi kita yang tampaknya ditengarai berbagai pihak sarat dengan korupsi, yang penanganannya telah diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah, juga telah menjadi persoalan yang sangat merisaukan (Darmaningtiyas, 2005).
Tudingan pertama yang disuarakan banyak orang adalah pada dunia pendidikan. Ditengarai bahwa institusi pendidikan telah mengalami kegagalan dalam melakukan internalisasi nilai-nilai kepada anak didiknya (Kartono, 2002). Oleh karena itu, tidak begitu heran kalau Roem Topatimasang (2002) mengklaim bahwa sekolah sudah mati, dan bahkan merupakan candu. Bahkan pula seperti yang diyakini Sindhunata (dalam Harefa, 2003) bahwa pendidikan kita telah melahirkan air mata. Sekolah, oleh mereka sudah diyakini tidak dapat menggarap tiga taksonomi pendidikan yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : cognitive domain (pengembangan pengetahuan), afective domain (pembentukan sikap dan watak), dan psicomotoric (conative) domain (pengimplementasian/ melatihkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari) (Djohar, 200).
Kegagalan sekolah dalam menjalankan fungsi pendidikannya lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama dan budi pekerti terutama di sekolah-sekolah umum karena menurut Kartono (2002) pendidikan (sekolah) kita telah tergadai.
Namun demikian, sekolah bukanlah satu-satunya institusi yang dapat dengan begitu saja dipersalahkan dalam hal ini. Keluarga yang merupakan tempat yang pertama dan utama memegang posisi yang paling menentukan dalam setiap proses internalisasi nilai ini.
Teori perubahan moral menyatakan bahwa pendidikan moral itu efektif dengan tiga cara: (1) internalisasi nilai atau pembelajaran secara langsung, (2) modelling, atau keteladanan (yang menurut bahasa agama disebut uswatun hasanah), dan (3) kedisiplinan orang tua (Zaen, 2001). Ketiga poin di atas, memberikan indikasi bahwa pendidikan di sini dilakukan terutama dalam lingkup keluarga. Meskipun internalisasi nilai dan keteladanan dapat diberikan di sekolah, tetapi orang tua adalah kunci utama dalam memberikan internalisasi nilai dan keteladanan. Artinya, bahwa dalam konteks keluargalah orang tua dapat memberikan internalisasi secara langsung dan keteladanan yang paling bermakna kepada anak-anak, ditambah lagi dengan kedisiplinan.
Sebagai pemahaman awal, hal yang sangat penting dimiliki anak yaitu a) moral knowing, b) moral feeling, dan c) moral action. Moral knowing merupakan pemahaman tentang kesadaran moral, nilai-nilai moral dan sebagainya sehingga anak memahaminya sebagai sebuah kebutuhan. Sementara itu, moral feeling adalah aspek yang merupakan sumber energi manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Sedangkan moral action merupakan perwujudan pemahaman tentang moral oleh anak dalam bentuk implementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga hal ini akan menjdi satu kesatuan yang tak terpisahakan dan saling memberikan implikasi. Di sini peran orang tua dalam mengarahkannya sangat menentukan.
Pada ranah demikian, Lickona (dalam Megawangi, 2004) menggagas Ten Big Ideas dalam membentuk karakter dalam keluarga. Pertama, moralitas penghormatan.
Hormat adalah kunci utama manusia untuk hidup bermasyarakat terutama dalam masyarakat yang plural. Penghormatan harus diberikan kepada diri sendiri sebagai manusia, yaitu untuk menjaga diri agar tidak terlibat dalam perilaku yang merusak diri. Kemudin hormat kepada orang lain yang merupakan ciptaan Tuhan walaupun berbeda agama, ras, suku bangsa dan budayanya. Untuk itu kiranya orang tua yang bijak perlu mengajarkan ini pada anaknya.
Kedua, perkembangan moralitas berjalan secara bertahap. Anak-anak tidak langsung menjadi manusia bermoral, tetapi memerlukan proses sosialisasi yang terus menerus dari orang tuanya. Mendidik anak memang memerlukan kesabaran tinggi sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dari orang tua. Seperti halnya perkembangan motorik dan intelektual yng terjadi secara bertahap dari masa kecil sampai usia dewasa, perkembangan moral anak juga akan berjaalan secara bertahap. Namun demikian, jika upaya ini tidak dilakukan dan membirkan anak karena adanya fase-fase tadi, dan anak tidak dibiasakan dengan moral yang baik, apa yang diungkap Swami Vivekananda : if a man continuously hears bad words, thinks bad thoughts, does bad actions, his mind will be full of bad impressions; and they will influence his thought and work without his being conscious of the fact (jika seseorang secara terus-menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk, dan bertindak buruk, pikirannya akan penuh dengan ide-ide dijejali dengan ide-ide buruk; dana ide-ide buruk itu akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadari keberadaannya) akan menjadi niscaya.
Ketiga, mengajarkan prinsip saling menghormati. Anak-anak akan belajar bagaimana menghormati orang lain kalau ia juga merasa dihormati. Orang tua hendaknya menghormati anaknya sebagai manusia walaupun masih kecil. Cara penghormatan orang tua yang diberikan kepada anaknya misalnya memberikan aturan disiplin dan mengajaknya berdiskusi tentang alasan-alasan rasional mengapa harus ada peraturan tersebut. Juga dengan berbicara secara sopan. Adalah hal biasa bagi anak (kecil) untuk tidak membalas penghormatan yang diberikan kepadanya, namun orang tua perlu mengingatkannya.
Keempat, mengajarkan dengan contoh. Cara yang cukup efektif untuk mengajarkan anak berbuat sesuatu adalah dengan contoh konkret mengenai perilaku bagaimana seharusnya, walaupun tidak dikatakan secara langsung. Misalnya mengajak anak menanam pohon di lingkungan sekitar rumah, atau membantu orang-orang yang perlu bantuan dan semacamnya.
Kelima, mengajarkan dengan kata-kata. Selain penting mengajarkan dengan contoh, mengatakan apa yang perlu dicontohkan juga penting dilakukan. Anak perlu diterangkan mengapa memanggil temannya dengan sebutan yang jelek tidak baik, karena akan menyakiti hatinya; mengapa berbohong itu tidak bagus, karena dapat merusak kepercayaan orang lain dan sebagainya.
Keenam, mendorong anak untuk merefleksikan tindakannya. Ketika anak berbuat tidak baik, misalnya, anak perlu didorong untuk berpikir tentang perbuatannya. Misalnya ketika anak memukul temannya, orang tua dapat berkata “ Lihat, bagaimana perasaan anak itu sehingga menangis. Bagaimana jika kamu diperlakukan seperti itu?” Hal ini akan berpikir dan merefleksikan tindakannya sehingga diharapkan ia akan belajar menempatkan dirinya kalau menjadi orang lain yang ia sakiti.
Ketujuh, mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab. Anak-anak yang sejak kecil diberikan tanggung jawab akan berkembang menjadi anak yang altruistik, yaitu yang peduli dengan orang lain. Ia akan memiliki simpati dan empati yang kuat terhadap sesamanya. Kebiasaan inilah yang nantinya akan melahirkan anak-anak yang tidak mudah terjebak dengan hal-hal yang dapat merugikan orang lain seperti mencuri, memukul, merampok, korupsi dan sebagainya. Ia akan sangat hati-hati dengan hak-hak orang lain. Banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya mengajaknya ke panti asuhan untuk menyantuni mereka yang kurang mampu, atau kerja bakti di lingkungan tempat tinggalnya dan sebagainya.
Kedelapan, keseimbangan antara kebebasan dan kontrol. Mengacu pada teori Baumrid (1975) ada tiga tipe orang tua dalam mengasuh dan mendidik anaknya: (a) orang tua yang permissive, yaitu yang membiarkan anaknya berperilaku apa saja tanpa arahan orang tua, (b) oranag tua yang otoriter, yaitu orang tua yang terlalu mengontrol anaknya sehingga anaknya tidak memiliki kebebasan sama sekali, dan (c) orang tua yang otoritatif, yaitu orang tua yang memiliki prinsip keseimbangan antara kebebasan dan kontrol dalam berperilaku. Tipe otoritatif tampaknya dianggap lebih tepat untuk dilakukan. Orang tua bersikap tegas dengan aturan, tetapi akan menerangkan alasan-alasannya dan mau mendengarkan respon anak. Anak diberikan kebebasan untuk menanyakan sesuatu, tetapi tidak dengan serta-merta membiarkan anak berperilaku semunya dan menuruti saja kemauan anak.
Kesembilan, cintailah anak. Dasar dari pembentukan moral adalah cinta. Cinta orang tua akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan karakter: a) anak yang mendapatkan cinta dan perhatian hangat dari orang tuanya akan merasa bahwa dirinya berharga yang selanjutnya akan membuatnya percaya diri, b) orang tua yang hangat dan penuh perhatian akan menjadi model bagi anak-anaknya, c) anak yang memiliki hubungan emosiaonal yang erat dengan orang tuanya akan berusaha melakukan hal yang sesuai dengan harapan orang tuanya menurut standar etika yang berlaku, d) orang tua yang hangat dan penuh perhatian akan memacu perkembangan anak ke tahapan moral yang lebih tinggi, dan e) orang tua yang memberikan cinta dan perhatian kepada anaknya akan membuka ruang komunikasi yang terbuka sehingga ada pola hubungan yang baik di antar mereka.
Kesepuluh, mengajarkan moral dan menciptakan keluarga bahagia secara bersamaan. Pendidikan moral dan usaha menciptakan keluarga bahagia ibarat dua sisi mata uang. Keluarga harus dapat mengelola konflik secara konstruktif misalnya dengan fairness approach (pendekatan berkeadilan). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan ini: a) menumbuhkan sikap saling pengertian (mutual understanding) yaitu dengan mendengar perspektif orang lain yang terlibat dalam konflik sehingga dapat melihat kebenaran dari berbagai sisi, b) mencari solusi bersama secara musyawarah yang disetujui pihak-pihak yang sedang konflik, c) menindaklanjuti persetujuan yang telah disepakati misalnya dengan mengevaluasi. Dengan demikian, anak belajar menempuh jalan diskusi dan bukan kekuasaan dalam menyelesaikan konflik.
Kesepuluh ide tadi bukanlah segala-galanya yang kemudian akan menjamin orang tua dapat mengembangkan moral anak. Hambatan dan kesulitan dalam pelaksanaannya tentu akan selalu muncul. Namun, perlu diingat bahwa anak-anak masih dalam proses berkembang. Perilaku anak yang nakal, sulit diatur adalah produk dari sifat kekanak-kanakannya yang masih belum dewasa. Perlu adanya kesabaran dari orang tua dalam proses ini.
Untuk itu, berangkat dari pemahaman di atas dibutuhkan ruang komunikasi yang bijak antara orang tua dengan anak-anak. Renungan tentang apa yang dimaksudkan pendidikan tidak sebatas hanya pada pengajaran dapat diimplementasikan dalam proses penanaman kasih sayang untuk memberikan sentuhan internalisasi nilai kepada anak (Madjid dalam Sidi, 2001). Di sinilah kemudian terlihat betapa penting peran orang tua dalam mendidik anak melalui kebiasaan kesehariannya dalam memberikan nilai-nilai humanisme (Fauzan, 1999) dan religiusitas. Dalam hal ini, yang ditekankan adalah pendidikan, bukan pengajaran.
Sebagian usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti sekolah dan guru agama. Tetapi, yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain itu sebagian besarnya adalah pengajaran, yang berwujud latihan dan pelajaran membaca buku-buku pengetahuan, termasuk membaca Al-Qur’an dan mengerjakan ritus-ritus.
Sebagai pengajaran, peran orang lain, seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas terutama kepada segi-segi pengetahuan dan bersifat kognitif, meskipun ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah tangga, melalui orang tua dan suasana umum kerumah tanggaan itu sendiri.
Karena itu meskipun ada guru yang dapat bertindak sebagai pendidik, namun peran mereka tidak akan dapat menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Dan peran orang tua tidak perlu berupa peran pengajaran (yang nota bene dapat diwakilkan kepada orang lain tadi). Peran orang tua adalah peran tingkah laku, tulada atau teladan dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Di sinilah lebih-lebih akan terbukti benarnya pepatah bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa aucapan (lisanul hal afsahu min lisanil maqal) (Madjid dalam Sidi, 2001).
Jadi jelas, pendidikan menuntut tindakan percontohan lebih banyak daripada pengerjaan verbal. Bahwa pendidikan dengan bahasa perbuatan (tarbiyah bil hal) lebih efektif dan mantap untuk anak-anak daripada pendidikan dengan bahasa ucapan (tarbiyah bilisanil-maqal) adalah realitas yang tidak dapat dielakkan lagi.
Dari sudut pandang tadi, langkah yang paling efektif untuk menciptakan sumber daya berkualitas adalah sinergi yang optimal antara keluarga/orang tua, sekolah/guru dan lingkungan/masyarakat. Ketiga komponen ini, manakala dapat bersinergi secara optimal dan positif, insya Allah pendidikan yang disinyalir Paulo Freire sebagai proses penyadaran, yang membawa para anak/ siswa sebagai orang-orang muda menjadi humanis atau mencapai tingkah laku insani akan tercapai. Harapan kita semua terhadap anak-anak kita yang humanis dan religius akan dapat dirasakan hasilnya. Namun, idelaisme seperti yang telah dipaparkan tadi, (perlunya sinergi optimal dan positif dari orang tua, guru, dan masyarakat), menuntut mereka (orang tua, guru dan masyarakat) menjadi sosok panutan yang dapat digugu lan ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan konsekuensi logis untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas secara optimal.

Pendidikan Sejati
Pendidikan sejati, selain untuk memberikan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya harus berkisar antara dua dimensi hidup, penanaman rasa takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Bagi umat Islam, berdasarkan tema-tema Alquran sendiri, penanaman rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai dimensi pertama dalam hidup ini dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadat-ibadat. Pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-sedalamnya akan makna ibadat-ibadat tersebut, sehingga ibadat-ibadat itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dikerjakan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita. Dengan cara inilah antara lain kita dapat selamat dati kutukan Tuhan atas tindakan beribadat yang muspra seperti diperingatkan dalam Alquran surat Al-Ma’un :107.
Rasa takwa kepada Allah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Tuhan lewat perhatian kepada alam semesta beserta isinya dan kepada lingkungan sekitar, sebab menurut Alquran, hanyalah mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Tuhan sehingga bertakwa kepada-Nya.
Dalam surat Al-Fathir 35:27-28 Allah berfirman:
Tidakkah engkau perhatikan bahwa Allah menurunkan air dari langit, kemudian dengan air itu kami hasilkan beraneka buah-buahan dalam berbagai warna. Dan dari gunung pun ada garis-garis putih dan merah dalam berbagai corak warna, juga ada yang hitam kelam. Demikian pula manusia, binatang melata dan ternak, semuanya terdiri dari berbagai corak warna. Sesungguhnya yang bertakwa kepada Allah dari kalangan orang-orang yang berpengetahuan. Sesungguhnya Allah Maha Mulia dan Maha Pengampun.

Orang berpengetahuan, menurut istilah Arab adalah al-ulama (bentuk jamak dari alim). Artinya adalah orang berilmu. Firman tadi memberikan empat aspek kajian dan pengertian tentang orang-orang berpengetahuan menurut Al-Qur’an.
Pertama, dalam ayat tadi dijelaskan bahwa yang benar-benar takut (bertakwa) kepada Allah adalah al-ulama (para ulama/orang-orang yang berpengetahuan). Dalam konteks ayat tersebut pula dapat dengan jelas diketahui bahwa yang dimaksud dengan al-ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan, yakni mereka yang senantiasa memperhatikan alam raya dan gejala-gejala alam seperti turunnya hujan dari langit, tumbuhnya tanam-tanaman berkat air itu dan hasilnya yang terdiri dari bermacam buah-buahan dalam berbagai warna.
Kedua, mereka (al-ulama) pun paham serta dapat menangkap hikmah-hikmah dari batu-batuan atau mineral dan kandungan bumi pada umumnya yang bermacam-macam pula: putih, merah dengan variasi warna yang banyak sekali antara keduanya, juga yang hitam kelam, sesuai dengan bahan kimia yang dikandungnya.
Ketiga, yang dimaksud al-ulama dalam ayat tadi adalah mereka yang memperhatikan gejala umat manusia dan kehidupan mereka, secara biologis dan fisik yang bermacam-macam warna, dapat juga secara sosiologis dan kultural yang terdiri dari berbagai warna, paham hidup, ideologi dan budaya.
Keempat, mereka yang disebut al-ulama adalah mereka yang memperhatikan dan mempelajari serta meneliti, selain dunia flora seperti di atas (tumbuhan dengan hasil buah-buahannya yang beraneka warna), juga dunia fauna yang terdiri dari berbagai jenis binatang liar dan ternak, yang semuanya juga ada dalam berbagai jenis, corak dan warna.
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan menurut firman tadi bahwa al-ulama yang dipuji Tuhan sebagai hamba-Nya yang mampu benar-benar bertakwa kepada-Nya adalah yang sekarang ini dalam masyarakat disebut para sarjana dan ilmuwan (scientist), yang dalam wawasan keilmuannya tetap menghayati kehadiran Tuhan dengan segala keagungan-Nya.
Dengan begitu, hasil perhatian, pengamatan dan penelitiannya kepada gejala alam sosial kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (berwujud kemampuan teknologis atau teknokratis untuk mempermudah hidup lahiriah dan material manusia), melainkan juga membawanya kepada keinsyafan ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan keagungan dan kebesaran Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya.
Dalam bahasa Alquran, dimensi ketuhanan ini juga disebut jiwa rabbaniyyah (Alquran surat Ali Imran/3:79), atau ribbiyah (Alquran surat Ali Imran/3:146). Jika dicoba untuk dirinci apa saja wujud nyata atau substansi jiwa ketuhanan itu, maka akan kita dapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada setiap anak didik. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah sebenarnya yang menjadi kegiatan inti pendidikan. Nilai-nilai ketuhanan itu antara lain sebagai berikut.
1. Iman: yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup kita hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan manaruh kepercayaan kepada-Nya.
2. Islam: sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepada-Nya (yang merupakan makna asal istilah Arab Islam) dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang tidak mungkin diketahui seluruh wujudnya oleh kita yang lemah. Sikap taat (yang dalam bahasa Arab din) tidak absah kecuali jika berupa sikap pasrah (Islam) kepada-Nya.
3. Ihsan: yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasan hadir berada bersama kita di manapun kita berada. Bertalian dengan ini, dan karena menginsyafi bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita harus berbuat dan bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik-baiknya disertai rasa penuh tanggung jawab.
4. Takwa: yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridhai oleh-Nya dengan menjauhi dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridhai-Nya.
5. Ikhlash: yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan semata-mata demi memperoleh ridha atau perkenan Allah, dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka.
6. Tawakkal: yaitu senantiasan bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dengan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yng terbaik. Karena kita mempercayai dan menaruh kepercayaan kepada Allah, sikap tawakkal ini menjadi niscaya.
7. Syukur: yaitu sikap penuh rasa terima aksih dan penghargaan (dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia Allah yang tak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepada Allah.
8. Sabar: yaitu sikap tabah menghadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis dan psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Selain nilai-nilai ketuhanan (jiwa rabbaniyah), nilai-nilai yang amat urgen pula diinternalisasikan ke dalam diri anak didik adalah nilai-nilai kemanusiaan. Dapat kita renungkan apa yang telah disabdakan Nabi berikut ini:
Yang paling banyak memasukkan orang kedalam surga itu adalah takwa kepada Allah dan keluhuran budi. Tiada sestau apapun yang dalam timbangannya (nilainya) lebih berat daripada keluhuran budi.

Keterkaitan yang erat antara takwa dan budi luhur itu adalah juga keterkaitan antara iman dan amal shaleh, shalat dan zakat, hubungan dengan Allah (hablun min al-Lah) dan hubungan dengan sesama manusia (hambun min al-nas). Pendeknya, terdapat keterkaian mutlak antara ketuhanan sebagai dimensi hidup manusia yang vertikal dan kemanusiaan sebagai dimensi hidup manusia horisontal. Oleh karena demikian kuatnya penegasan-penegasan dalam agama mengenai keterkaitan antara dimensi ketuhanan dan manusia itu, maka pendidikan baik di rumah tangga maupun sekolah tidak dapat disebut berhasil kecuali jika pada anak didik tertanam dan tumbuh dengan baik kedua nilai itu: ketuhanan dan kemanusiaan, takwa dan budi luhur.
Sekadar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan kepada anak, mungkin nilai-nilai akhlak berikut patut dipertimbangkan untuk ditanamkan kepada anak didik.
1. Silaturrahmi: yaitu pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, handai taulan, tetangga.
2. Persaudaraan (ukhuwah): yaitu semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesama kaum beriman seperti disebut dalam Alquran (surat Alhujurat:10), yang intinya kita tidak boleh dengan mudah merendahkan golongan yang lain, karena bisa jadi mereka itu lebih baik daripada kita sendiri.
3. Persamaan (almusawa): yaitu pandangan bahwa semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya, danlain-lain adalah sama dalam harkat dan martabatnya. Tinggi rendah manusia hanya ada dalam pandangan Tuhan yang tahu kadar ketakwaannya (Alquran surat Al-Hujurat :13).
4. Adil : yaitu wawasan yang seimbang atau balanced dalam memandang, menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang, dan sebagainya. Jadi tidak secara apriori menunjukkan sikap positif atau negatif. Sikap kepada sesuatu atau seseorang, dilakukan hanya setelah mempertimbangkan segala segi tentang sesuatu atau seseorang tersebut secara jujur dan seimbang, dengan penuh i’tikad baik dan bebas dari prasangka.
5. Baik sangka (husnuzhzhan): yaitu sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia, berdasarkan ajaran agama baik karena diciptakan Allah dan dilahirkan atas fitrah atau kejadian asal yang suci.
6. Rendah hati (tawadhu): yaitu sikap yang tumbuh karena keinsyafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah. Oleh karena itu, tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dan perbuatan yang baik, dan itupun hanya Allah yang mengetahuinya. Apalagi kepada sesama orang yang beriman, rendah hati ini adalah sebuah keniscayaan.
7. Tepat janji (al-wafa): salah satu sifat orang yang benar-benar beriman adalah sikap selalu menepati janji bila membuat perjanjian. Dalam masyarakat dengan pola hubungan yang lebih kompleks dan luas, sikap tepat janji lebih-lebih lagi merupakan unsur budi luhur yang amat diperlukan dan terpuji.
Sama halnya dengan nilai-nilai ketuhanan yang membentuk ketakwaan separti yang telah dipaparkan di muka, nilai kemanusiaan yang membentuk akhlak mulia itu tentu masih dapat ditambah dengan serentetan nilai yang masih banyak sekali. Namun paparan ini kiranya dapat mengidentifikasi agenda pendidikan (keagamaan), baik dalam rumah tangga maupun di sekolah yang lebih konkret dan operasional. Meskipun nilai-nilai ini didasarkan pada apa yang terkandung dalam Alquran/ajaran Islam, tetapi bernuansa dan bersifat universal, sehingga sebetulnya berlaku bagi setiap orang dari kalangan agama apapun. Sekali lagi, pengalaman nyata orang tua dan pendidikan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak (Eko, 2002). Untuk itu, faktor eksperimental, asalkan disertai dengan ketulusan niat dan kejujuran memandang masalah, akan sangat penting dalam usaha menemukan agenda-agenda pendidikan untuk anak, dalam rumah tangga, juga di luar rumah tangga, di sekolah ataupun di luar sekolah, sehingga anak berangkat menuju kedewasaan sejati. Ia memiliki simpati dan empati; tanggung jawab dan amanah yang benar-benar diharapkan oleh orang tua dan masyarakat. Semoga!


Daftar Pustaka
Darmaningtiyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: LKiS.
Djohar. 2003. Pendidikan Strategik. Yogyakarta: Lesfi
Eko, Sutoro, 2002. Menuju Budaya Beradab, dalam Flamma. Edisi 15 index.
Fauzan. 1999.Humanisme , Paradigma yang Terabaikan, dalam Jurnal Alternatif. 10 (Januari-Juni, VII) Malang.
Harefa, Andreas. 2003. Buang Ilusi Sesat terhadap Sekolah, dalam Pikiran Rakyat. 2003.
Kartono. St. 2002. Menebus Pendidikan yang Tergadai. Yogyakarta: Kanisius.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Star Energy.
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia.
Sidi, Indrajati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Logos Wacana Ilmu bekerja sama dengan Paramadina.
Topatimasang, Roem. 2002. Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Insist.
Zaen, Warry. 2001. Pendidikan Moral untuk Anak. Makalah.


 

Back To Daftar Isi

MEMBANGUN MORALITAS ANAK :

PERANAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

Senjata Trisula

Sanjata Trisula, S.Pd, lahir di Kediri, 1 Juli 1969. Saat ini sebagai staf pengajar di SMP Negeri 1 Giligenting Sumenep. Laki-laki lulusan FKIP UNEJ tahun 1993 ini, juga aktif mengkuti berbagai kegiatan untuk menambah pengalaman hidupnya. Beberapa kegiatan telah diikuti, antara lain : Penataran PKGSJ tahun 2000 dan tahun 2000, Simposium Guru Tingkat Nasional 2001, Pelatihan KBK 2006 di Sumenep, Pelatihan Lesson Study 2006 di Malang. Selain itu, ia juga pernah menjadi beberapa lomba karya tulis ilmiah, antara lain : juara harapan II LKTI Sumenep 2005 dan juara harapan I LKTI Sumenep 2006.

 

Jika anak hidup dengan saling pengertian

Ia belajar menjadi sabar

Jika anak hidup dengan dorongan

Ia belajar percaya diri

Jika anak hidup dengan pujian

Ia belajar menghargai

Jika anak hidup dengan kejujuran

Ia belajar menjadi adil

Jika anak hidup dalam rasa aman

Ia belajar memiliki kepercayaan

Jika anak hidup dalam dukungan

Ia belajar menyukai dirinya sendiri

Jika anak diterima dan hidup dalam persahabatan

Ia belajar menemukan hidup di dunia

Pendahuluan

Salah satu hal yang paling menyedihkan dalam masyarakat modern di era informasi dewasa ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anak. Karena secara moral orang tua berkewajiban memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Orang tua bertanggung jawab agar anaknya tidak hanya tercukupi secara materi dan aspek spiritual, tapi psikologis juga sangat penting bagi anak-anak.

Pemenuhan kebutuhan materi adalah prioritas kedua dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan kasih sayang dan perhatian orang tua. Kita sering melihat para orang tua dari keluarga yang kurang mampu secara materi dapat berhasil mengantarkan anak-anak mereka dengan kasih sayang dan perhatian yang berkecukupan. Sebaliknya, banyak keluarga kaya yang menyediakan semua kenikmatan yang bisa dibeli dengan materi bagi anak-anak mereka, tetapi tak mampu menyediakan kasih sayang sebagai orang tua. Anak-anak mereka banyak yang tumbuh dalam keadaan perkembangan emosional, moral dan psikologis yang terhambat.

Cikal bakal pendidikan moralitas (budi pekerti) adalah seberapa besar kasih sayang dan perhatian yang dapat dicurahkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Keteladanan kedua orang tualah yang akan dilihat dan dicontoh oleh anak-anak mereka. Orang tualah yang menjadi guru yang utama dan pertama bagi seorang anak.

Dalam satu hal, orang tua sering disalahkan atas perilaku buruk dan kurangnya tenggang rasa (empati) di kalangan anak-anak muda sekarang ini. Kemurahan hati mereka yang didorong oleh psikologi modern, telah memberikan terlalu banyak kebebasan bagi anak-anak mereka untuk berbuat sesuka hati. Ini sering diperparah oleh kenyataan bahwa para orang tua sendiri terlalu sibuk mengejar kebutuhan materi, sehingga mengabaikan perhatian dan kasih saying bagi anak-anak mereka yang notebene menjadi kebutuhan sangat mendasar.

Mungkin tanpa disadari oleh para orang tua itu sendiri, apa yang dianggapnya sebagai wujud perhatian dan kasih sayangnya terhadap anak-anak mereka, justru merupakan obat bius (racun) yang sedikit demi sedikit hanya membuat anak-anak terlena, manja dan kehilangan jati dirinya. Anak-anak menjadi malas berfikir, malas bekerja serta tidak kreatif. Toh, semua fasilitas hidupnya sudah tersedia dan tinggal pakai saja. Bahkan yang lebih tragis lagi, banyak anak-anak dari golongan yang mampu terjerumus ke dalam tindakan kriminal, asusila dan obat-obat terlarang (narkoba).

Bukan lagi sebuah rahasia, para orang tua yang mampu secara ekonomi dewasa ini telah melengkapi seluruh isi rumah dengan perangkat modern dan serba canggih, mulai dari televisi, komputer, telepon dan HP, internet, sepeda motor dan bahkan sampai mobil yang kesemuanya ditujukan untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatiannya terhadap anak- anak dan keluarganya. Tetapi berbagai fasilitas yang diberikan oleh orang tua tersebut seringkali disalah gunakan dengan tidak bertanggung jawab oleh anak-anak mereka.

Memang tidak bisa lagi rasanya kita membendung arus perubahan, ketika arus globalisasi terus mengalir, mau tidak mau, siap tidak siap semua akan merasakannya. Zaman telah berubah, era telah berganti dan pastilah gaya hidup akan ikut bergeser. Tetapi apakah perubahan tersebut juga harus terjadi pada bergesernya moralitas yang justru semakin merosot ?

Untuk mencegah degradasi moral di masyarakat, orang tua mempunyai kewajiban membesarkan dan membimbing anak-anak mereka menurut ajaran agama, tatakrama dan norma – norma yang berlaku dalam masyarakat. Para orang tua juga harus paham terhadap perkembangan emosi anak-anaknya. Perkembangan kecerdasan emosional sangat erat kaitannya dengan perkembangan moral dan tingkahlaku seorang anak.

Perilaku Moral dan Masa Muda

Moral dan etika membentuk landasan bagi cita-cita sosial, ekonomi, politik dan religius. Jika kasih adalah darah kehidupan, maka tentulah moralitas menjadi tulang punggung utama di dalamnya. Tanpa nilai-nilai moralitas, maka kehidupan berada dalam bahaya, karena kasih saying telah mati.

Pengembangan moralitas merupakan aspek penting dalam kehidupan. Banyak orang memiliki anggapan keliru apa yang dimaksud dengan moralitas. Bagi sebagian orang menganggap bahwa moralitas berarti menerapkan sikap-sikap eksternal yang umum seperti berpakaian, etika dan cara-cara yang dangkal dan munafik. Mereka lupa bahwa moralitas seperti itu adalah bikinan manusia, dikondisikan oleh keadaan sosial dan karenanya rentan terhadap perubahan dan mudah usang. Moralitas yang sebenarnya adalah standar dan prinsip bagi perilaku yang baik di dalam jalan kebajikan. Ia menyiratkan suatu disiplin pribadi yang dikembangkan dari dalam dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman. (K.Sri Dhammananda, 1995)

Sering dikatakan bahwa terdapat penurunan atau kemerosotan moral (budi pekerti) dan disiplin dikalangan anak muda dewasa ini. Tentunya kesimpulan ini tidak dapat digeneralisasikan atau berlaku umum untuk semua anak muda, namun banyak yang kacau dan menjadi pemberontak. Perilaku dan sikap mereka merusak ketentraman masyarakat, yang menyebabkan orang yang cinta damai harus menanggung beban penghinaan dan penderitaan. Parahnya lagi, ada beberapa orang tua yang seharusnya dapat dijadikan panutan justru memberi contoh yang tidak lagi didasarkan pada standar moralitas.

Kita sering melihat tayangan berita di televisi maupun media lainnya yang muncul hampir setiap hari dengan gosip-gosip dan berita-berita yang agak panas. Mulai dari berita kriminal, kekerasan, perbuatan asusila, korupsi dan berita-berita panas lainnya, yang kesemuanya dapat menjadi virus yang merusak bagi perkembangan mental dan moralitas kalangan anak-anak. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu muncul berita tentang adegan seronok (mesum) yang terekam oleh video dan dilakukan oleh seorang anggota DPR RI sebagai orang yang semestinya dapat dijadikan sebagai panutan masyarakat dengan salah satu artis dangdut ibu kota , adegan tersebut dikupas habis-habisan oleh semua stasiun televisi, media cetak dan juga muncul di internet. Beritanya menjadi begitu dasyatnya, ditayangkan hampir setiap jam di depan mata berjuta-juta pemiarsa dari kalangan anak-anak sampai orang tuapun bebas mengkonsumsinya. Sebuah penyelewengan moral yang memalukan dan tabu dipertontonkan, disajikan, serta dikupas habis-habisan dengan berbagai intrik, sehingga layak ditayangkan. Bussyeet!

Saya yakin, ada banyak anak muda yang melihat tayangan-tayangan seperti itu dan mungkin lebih parah lagi. Pertanyaannya adalah ; apa yang mereka pikirkan setelah melihat tayangan tersebut?

Ada sebuah cerita tentang anak muda yang pergi ke sebuah lokalisasi WTS. Suatu hari di masa mudanya, Socrates mengunjungi sebuah lokalisasi Wanita Tuna Susila (WTS). Ketika keluar dari lokalisasi dia bertemu dengan gurunya. Socrates merasa malu dan berusaha menghindarkan diri. Tetapi guru memergoki dan bertanya mengapa ia berusaha melarikan diri. Socrates menjawab bahwa ia merasa malu atas apa yang telah dilakukannya. Gurunya menasehati dia, “ Seharusnya engkau merasa malu, pada waktu hendak memasuki lokalisasi itu dengan penuh nafsu. Maka engkau tentulah terhindar dari perbuatan yang engkau anggap memalukan sekarang ini “.

Kejahatan gampang dipelajari tanpa guru

Sedangkan kebajikan memerlukan guru

Kebiasaan baik sulit diperoleh

Tapi sungguh enak hidup bersamanya

Kebiasaan buruk mudah dicapai

Tapi sukarlah hidup dengannya

Masa muda adalah masa-masa penuh gejolak, suatu masa dimana anak-anak mulai mencari identitas dan membentuk jati dirinya. Pada periode inilah terjadinya perkembangan emosionalnya menuju kematangan serta kedewasaan. Bimbingan, perhatian dan kasih sayang orang tua amat dibutuhkan guna menuntun dan mengarahkan setiap tingkah lakunya menuju kearah perilaku yang positif.

Menjadi Orang Tua Teladan

Moralitas adalah langkah pertama dari jalan menuju kebahagiaan abadi. Ia merupakan landasan dasar spiritual. Tanpa landasan ini, tak akan ada kemajuan kemanusiaan dan pengembangan spiritual. Lebih jelek lagi adalah orang tanpa moral, karena ia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga orang disekelilingnya.

Dalam ajaran etika dan moralitas label agama tidaklah penting. Setiap agama memiliki aturan moralnya sendiri untuk mengatur perilaku manusia agar orang bisa hidup bersama sebagai manusia beradab. Bersama-sama, mereka bisa menyumbang bagi masyarakat yang menawarkan sikap saling hormat menghormati, saling melindungi, solidaritas dan dukungan moral.

Bagi umat Islam, teladan utama dalam kehidupan ini adalah Nabi Muhammad Saw. Bagaimana Rasulullah memberikan teladannya yang begitu berarti bagi seluruh kehidupan umat manusia. Sebuah kisah teladan Nabi yang dituliskan oleh Jalaluddin Rahkmat dalam bukunya Meraih Cinta Illahi, menceritakan bagaimana kecintaan dan kasih sayang Nabi terhadap putrinya Fathimah. Pada usia 5 tahun Fathimah telah ditinggal wafat oleh ibunya Khadijah Al-Thohirah. Kepedihan hati Fathimah menghunjam jauh dalam lubuk hati Nabi Saw, manusia yang disifati Allah “sangat pengasih dan penyanyang” ini, mendengar tangisan Fathimah sebagai pisau yang mengiris-iris hatinya. Ia berempati dengan kepedihan anak kecil yang kehilangan ibunya, karena iapun dalam usia yang hampir sama ditinggalkan ibunya. Ia memeluk Fathimah dengan memberikan seluruh kecintaan dan kasih sayang kepadanya. Pelukan ayahanda yang tulus itu tidak pernah hilang dari Fathimah sepanjang hayatnya.

Di hadapan orang banyak sering Nabi Saw menunjukkan kecintaannya kepada Fathimah, kecintaan yang di dalamnya terkandung kasih sayang yang tulus, perhatian, dan peghormatan seorang ayah. Ia menunjukkan kecintaannya agar kaum muslimin tahu kedudukan Fathimah bukan hanya dalam hati Nabi Saw, tetapi juga dalam jantung syariat. Kecintaan kepada Fathimah adalah bagian dari syariat Islam, bagian dari the sacred. Fathimah tumbuh besar dalam limpahan kasih sayang ayahnya yang tak terhingga. Ia membalas kecintaannya dengan kecintaan pada ayahnya yang memenuhi lubuk hatinya. Ia mengasihi, merawat dan memperlakukan Rasulullah Saw sebagaimana seorang ibu memperlakukan anaknya. Ketika Rasulullah Saw pulang dengan wajah dan kepala yang tertutup lumpur, Fathimah menyambut ayahnya dengan tangisan. Ia mengambil air, membasuh kepala dan wajah Nabi yang mulia dengan tangan-tangan kecil yang terus menerus bergetar karena kesedihan, kemarahan dan kebingungan. Ia sedih karena orang-orang telah memperlakukan ayahnya seperti itu. Ia marah karena orang-orang membalas kebaikan Nabi Saw dengan penghinaan. Ia binggung mengapa orang memusuhi Nabi Saw yang begitu baik, begitu mulia, begitu agung. Ia tidak mengerti mengapa orang menganiaya seseorang yang tanpa pamrih berjuang mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.

Sepenggal kisah di atas kiranya dapat dijadikan cerminan bagaimana menjadi orang tua yang dapat diteladani. Orang tua teladan berarti orang tua yang dapat memberi ; kasih sayang, perlindungan, perhatian, empati, keteguhan, kejujuran, pengertian, rasa aman, dukungan dan pujian kepada anak-anaknya. Tujuan akhirnya tentu adalah untuk membentuk akhlak yang mulia dari seorang anak. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti atau moral. Karena keluarga merupakan wadah utama dan pertama sebagai tempat penggodokan moral bagi anak-anak, maka tidaklah salah apabila dikatakan bahwa keteladanan orang tua juga merupakan teladan yang utama dan pertama bagi anak-anak mereka.

Kecerdasan Emosional : Pilar dalam Membangun Moralitas

Beberapa bulan yang lalu, di Sumenep terjadi peristiwa yang sangat memilukan, yaitu ada seorang Bapak yang tega membunuh anaknya dengan begitu kejinya hanya karena anaknya rewel. Di bulan Januari 2007, lagi-lagi terjadi peristiwa yang hampir sama di Jember, bedanya kali ini adalah seorang anak yang tega menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri hanya karena sering dimarahi (Jawa Pos). Dua contoh di atas merupakan penyimpangan perilaku/penyimpangan emosi yang berat, tindakan tersebut tentu melanggar aturan-aturan hukum, agama serta norma-norma peradaban umat manusia. Penyimpangan perilaku yang negatif semakin hari kian meningkat dengan kasus-kasus penyimpangan perilaku yang semakin berat dan membahayakan. Contoh di atas merupakan penyimpangan emosional yang sangat berat dan kronis. Kedua pelaku di atas yang berbeda usia dan latar belakang, namun sama-sama memiliki tingkat pengendalian diri dan kesabaran yang amat rendah/jelek.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, mengatakan bahwa orang-orang yang sering bertindak ceroboh, tanpa berfikir panjang, tidak memiliki empati dan kurang bersabar merupakan orang-orang yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah. Rendahnya tingkat kecerdasan emosional, tidak hanya membawa petaka bagi dirinya sendiri, tetapi juga sangat membahayakan orang lain dan lingkungannya.

Emosi sangat mempengaruhi kehidupan manusia, ketika dia mengambil keputusan tidak jarang keputusan yang diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionalitasnya (akalnya), karena seluruh keputusannya memiliki warna emosional. Jika kita memperhatikan keputusan-keputusan dalam kehidupan manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosinya daripada akal sehatnya. Tragisnya, semakin banyak saat ini orang yang memiliki tingkat emosional yang rendah saat ini. Daniel Goleman juga mengatakan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional.

Kecerdasan Emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri itu disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia memiliki empati yang tinggi, tanggap terhadap lingkungan sosialnya, berdisiplin dan bertanggung jawab. Ia berhasil mengatasi berbagi gangguan dan tidak memperturutkan emosinya. Ia dapat mengendalikan perilakunya dan emosinya. (Jalaluddin Rakhmat,2001)

Saya bisa membayangkan betapa menyesalnya orang tua yang telah tega menghabisi nyawa anaknya sendiri dan seorang anak yang juga tega membunuh ibu kandungnya, apalagi hanya dilatar belakangi oleh persoalan yang boleh dikata amat sepele! Mereka bertindak terlalu cepat, gegabah, sembrono dan brutal, itu menunjukkan kurang terlatihnya emosi mereka. Tidak terbiasa bersabar. Mereka mengedepankan emosinya dalam bertindak. Mereka membahayakan orang lain dan lingkungannya.

Kaitan kecerdasan emosional erat hubungannya dengan pendidikan budi pekerti (moralitas). Kecerdasan emosional mengajarkan orang bagaimana bisa berbuat sabar, berempati dan tenggang rasa. Sedangkan pendidikan budi pekerti mengajarkan kurang lebih hal yang sama. Para orang tua harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kecerdasan emosional, kecerdasan emosional boleh dikatakan sebagai salah satu pilar utama dalam membangun moralitas anak. Kecerdasan emosional memegang peranan besar dalam keberhasilan dan kesuksesan hidup seseorang, Daniel Goleman mengatakan bahwa 20% keberhasilan hidup seseorang ditentukan oleh Kecerdasan Intelektualnya (IQ), sedangkan 80% nya ditentukan oleh Kecerdasan Emosionalnya(EQ) dan kecerdasan lainnya.

Menjadi Baik atau Berbuat Baik

Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut dengan al-bu’dul malakut atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Dimensi ini mendorong kita untuk berbuat baik, membuat kita tersentuh oleh penderitaaan orang lain, dan mengajak kita untuk membantu mereka yang memerlukan pertolongan. Dengan kata lain, dimensi ini adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua adalah dimensi kebinatangan atau al-bu’dul bahimi. Dimensi inilah yang mendorong penderitaan orang lain, menimbulkan rasa iri, menggerakkan rasa marah dan dendam kepada sesama. Inilah sisi buruk dalam sisi manusia. (Jalaluddin Rakhmat, 2001)

Jelas sekali bahwa diantara semua makhluk hidup, manusia adalah tukang bohong nomor satu. Kita tentu sering menyaksikan kesulitan dan keributan yang timbul akibat kata-kata yang salah seperti kebohongan, ketidakjujuran, teguran pedas, gosip, dan desas-desus.

Paling tidak ada empat jenis perkataan yang salah. Yang pertama adalah kata bohong. Yang kedua adalah fitnah. Yang ketiga adalah kata-kata kasar dan yang keempat adalah percakapan yang tidak bermanfaat. Sebagai orang tua yang bijaksana tentunya harus sebisa mungkin untuk tidak menggunakan kata-kata yang salah kepada anak-anak mereka. Orang tua yang bijaksana tahu bagaimana menghindari masalah dengan berhati-hati terhadap apa yang dikatakannya. Ungkapan ‘ pikirkan dahulu sebelum bicara’ bisa menolong kita untuk tidak terlibat dalam perdebatan dan pertengkaran, dan menghindarkan kita dari perbuatan tak perlu yang hanya akan menyakiti hati orang lain.

Terdapat dua pandangan mengenai moralitas; (1) menjadi orang baik, (2) berbuat baik. Yang pertama adalah moralitas sejati, sementara yang kedua mungkin adalah jalan kepada tujuan. Orang bisa menjadi baik dengan tujuan berbuat baik, tapi ini jarang sekali terjadi. Orang melakukan perbuatan baik yang tampaknya murni altruistik (sifat mengutamakan kepentingan orang lain) namun sebenarnya bermotif egois yang digerakkan oleh keinginan untuk mendapatkan jasa, berkah, surga, penghargaan, atau digerakkan oleh rasa takut terhadap hukuman. (K. Sri Dhammananda,1995)

Sebagai manusia, kesulitan dalam memilih perbuatan baik atau buruk ada ditangan kita. Dalam situasi seperti itu, kita mesti mengenal keadaan yang kita hadapi saat membuat keputusan.

Harta bisa menghias rumahmu

Tapi hanya kebajikan yang bisa menghias dirimu

Baju bisa menghias tubuhmu

Tapi hanya perilaku yang bisa menghias dirimu

Moralitas tidak hanya diterapkan pada tingkatan personal, melainkan juga oleh semua anggota masyarakat. Seseorang mungkin berfikir bahwa ia bisa melarikan diri setelah melakukan kejahatan! Ia bahkan bisa mencoba meniru nilai-nilai jelek yang ditawarkan oleh berbagai media. Tapi tak ada yang bisa melarikan diri dari akibat kejahatannya, dan tak ada masyarakat yang damai/tentram selama orang-orang seperti itu masih berkeliaran.

Jika penguasa suatu negeri adil dan baik, menteri-menterinya juga akan adil dan baik. Jika menteri-menterinya adil dan baik, pejabat-pejabat tingginya juga akan adil dan baik. Jika pejabat-pejabat tingginya adil dan baik. Pejabat-pejabat di bawahnya dan para pegawainya akan adil dan baik. Jika para pegawai-pegawai adil dan baik, rakyat akan menjadi adil dan baik. Begitulah mata rantainya yang saling berkesinambungan, sehingga pada lingkungan keluarga jika para orang tua adil dan baik maka anak-anaknya juga akan berbuat adil dan baik,.

Orang Tua di Era Informasi

Saat ini kita telah memasuki era informasi dan digital, meninggalkan era industri dan agraris. Peradaban manusia terus berkembang dan berubah dalam hitungan detik. Sementara di satu sisi masih banyak diantara para orang tua yang masih jauh tertinggal, ditinggalkan cepatnya kemajuan iptek yang melesat bak meteor. Kemajuan iptek telah banyak membawa perubahan dalam berbagai bidang; ekonomi, sosial, budaya dan kemudahan serta kecepatan dalam bidang informasi dan transportasi. Tetapi di balik itu semua, harus diwaspadai dampak negatif yang ditimbulkannya.

Ketika anak-anak kita telah dapat mengenal dan memanfaatkan berbagai kemajuan yang dihasilkan dalam era informasi dan digital saat ini ; seperti komputer, internet dan alat-alat digital lainnya yang berteknologi canggih, seharusnyalah para orang tua, paling tidak mampu mengenal dan mempelajarinya. Kalau memang belajar adalah sepanjang hidup (long live educatioan), pastilah tidak ada hari tanpa belajar bagi siapapun juga apabila tidak mau tertinggal jauh dengan perkembangan iptek. Untuk dapat mengimbangi perkembangan anak-anak yang hidup dalam dunia digital saat ini, kata kuncinya adalah ; belajar dan terus belajar. Dengan demikian, diharapkan para orang tua mampu mengontrol perkembangan anak-anak mereka.

Menghadapi dampak negatif yang dapat timbulkan oleh kemajuan iptek, memberikan fasilitas yang berlebih terhadap anak tanpa kontrol yang baik tidaklah mendidik. Begitu banyaknya kasus-kasus video mesum menunjukkan lemahnya kontrol dari keluarga dan masyarakat. Penyalahgunaan teknologi yang canggih telah membuat sebagian orang tua merasa kuatir. Tengok saja kasus-kasus video mesum yang dilakukan oleh anak-anak sekolahan. Dalam minggu pertama di bulan Pebruari 2007 ini saja telah mencuat kasus video mesum yang direkam melalui HP oleh anak SMP kelas 3 di Palangkaraya {RCTI, 02-02-2007). Kemudian berlanjut dengan kasus yang sama di kota Madiun yang pelakunya adalah siswa SMU dan dilakukan di dalam sebuah mobil. (RCTI,07-02-2007).

Rasanya ngeri sekali bila melihat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh dunia digital saat ini. Contoh tersebut mungkin hanya satu alat saja, yakni hand phone/ telephon gengam. Belum lagi akses-akses informasi lainnya. Suatu hari saya pernah bertemu dengan anak-anak SMP di sebuah warnet (warung internet). Mereka datang ke warnet bersama teman-temannya sebanyak 3 orang dan menghadapi 1 buah komputer. Setelah beberapa lama membuka komputer di warnet, anak-anak itu tertawa cekikikan sambil matanya memelototi layar komputer, karena penasaran saya mengintip apa yang sedang mereka buka di internet tersebut. Dan ternyata mereka sedang membuka situs-situs porno di internet. Hanya dengan Rp.3.000,- per jam, sangat memungkinkan anak-anak tersebut dengan leluasa keluar masuk warnet untuk hal-hal yang membahayakan emosi dan moralitasnya.

Kemajuan iptek memang tidak mungkin lagi mampu kita membendungnya. Tetapi membendung kemerosotan moral anak-anak adalah suatu kewajiban bersama. Karenanya orang tua harus mampu bertindak mirip pelatih atau guru di bidang emosi.

Agar orang tua dapat menjadi pelatih yang efektif di bidang ini, mereka harus memiliki pemahaman yang cukup baik tentang dasar-dasar kecerdasan emosional. Salah satu pelajaran emosi yang mendasar bagi seorang anak adalah bagaimana membedakan perasaan ; orang tua yang tidak merasakan kesedihannya sendiri, misalnya, tak mungkin menolong putranya memahami perbedaan antara sedih karena seseorang meninggal dunia, sedih karena menonton film yang mengharukan, dan kesedihan yang muncul bila sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang yang disayangi oleh anak. Sewaktu anak-anak tumbuh, pelajaran-pelajaran emosi khusus yang siap mereka terima dan mereka butuhkan berubah-ubah. Meskipun beberapa keterampilan emosional tertentu diasah dengan teman-teman selama bertahun-tahun, orang tua yang terampil secara emosional dapat sangat membantu anak dengan memberi dasar keterampilan emosional berikut ini : belajar bagaimana mengenali, mengelola, dan memanfaatkan perasaan-perasaan; berempati; dan menangani perasaan-perasaan yang muncul dalam hubungan-hubungan mereka.

Memberi Anak Tanggung Jawab

Ada tiga gaya mendidik anak yang secara emosional pada umumnya tidak efisien, yaitu :

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa masalah mendasar yang kita hadapi sekarang adalah degradasi moral dan kecerdasan intelektual serta kecerdasan emosional yang salah tempat. Di balik semua kemajuan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia ini jauh dari aman dan damai. Ilmu pengetahuan dan teknologi sesungguhnyalah telah membuat kehidupan manusia lebih tidak aman dan damai dibanding sebelumnya. Jika tidak ada pendidikan moralitas (budi pekerti) yang sejalan dengan masalah manusia, maka kelangsungan peradaban manusia itu sendiri menjadi berbahaya. Sekali lagi peranan orang tua dalam membangun moralitas, membentengi anak-anaknya sedini mungkin dari pengaruh negatif yang datang dari lingkungan eksternalnya, serta memberi bekal yang cukup agar anak-anak mereka terhindar dari perbuatan-perbuatan asusila, kriminal, obat-obat terlarang dan lain-lain, harus dimulai sedini mungkin dari lingkungan keluarga. Filsuf John Dewey menganggap bahwa pendidikan budi pekerti (moral) paling ampuh bila diajarkan kepada anak-anak dalam pagelaran peristiwa nyata, bukan sekedar sebagai pelajaran abstrak.

Oleh karena itu, orang tua harus memberikan tanggung jawab kepada anak-anaknya. Dengan diberikan tanggung jawab, anak-anak akan lebih berdisiplin dan mampu mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya. Beberapa tanggung jawab untuk melatih anak-anak yang dapat diberikan oleh orang tua antara lain :

Yang harus diingat oleh orang tua adalah bahwa orang tua harus mengajarkan dan membimbing anaknya tidak hanya dengan aturan tetapi juga harus disertai contoh nyata. Beri mereka pelajaran bagaimana memenuhi kewajiban dan tanggung jawab serta bagaimana menghormati orang yang lebih tua dan orang tua. Dengan contohlah anak-anak bisa mengingat dan belajar dengan cara terbaik.

Ada beberapa kasus dimana orang tua telah memberikan yang terbaik dalam mendidik anak-anaknya dan mengajarkan pada mereka nilai-nilai kebajikan, tapi semua usaha itu seperti sia-sia diterjang angin akibat keras kepala dan pemberontak yang telah menjadi atribut anak-anak mereka. Terdapat anak-anak nakal dari sananya yang terlahir dari keluarga baik-baik.

Dalam kasus seperti ini, orang tua tidak perlu berputus asa karena telah melakukan apa yang dituntut dari mereka sebagai orang tua. Orang tua mesti mengembangkan pengertian untuk mengubah apa yang mereka bisa ubah dan menerima apa yang tidak bisa mereka ubah. Khalil Gibran telah menggoreskan penanya untuk direnungkan oleh para orang tua.

Anak-anakmu adalah bukan anak-anakmu

Mereka adalah putra-putri kehidupan

Yang merindukan dirinya sendiri

Mereka datang melaluimu, namun tidak darimu

Meskipun mereka bersamamu

Mereka bukanlah milikmu

Engkau boleh memberikan cintamu pada mereka

Tapi tidak pemikiranmu

Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri

Engkau boleh berusaha menyamai mereka,

Tapi janganlah

Berusaha membuat mereka sama denganmu  

Menjadi Orang Tua Efektif

 Menjadi orang tua efektif

Tidak berarti harus menjadi orang tua yang sempurna

Menjadi orang tua yang efektif berarti menjadi orang tua yang mampu memberi anak :

  1. Konsentrasi : Jernihkan pikiran anda untuk mendengarkan apa yang sedang dikatakan anak anda, lihat apa yang sedang dilakukan anak anda dan ketahui apa yang diperlukan dari anda dan anak anda akan belajar menjernihkan pikiran mereka sehingga mereka bisa mendengar apa yang sedang anda katakana, melihat apa yang sedang anda lakukan dan mengetahui apa yang anda perlukan dari mereka.
  2. Waktu : Meskipun hanya 5 menit sehari. Hasilnya akan mengejutkan.
  3. Pengalaman : Anda mengerti apa sebenarnya dunia. Biarkan mereka mengerti bahwa masa anak-anak adalah masa belajar untuk menjadi dewasa dan anda akan membantu menyiapkannya.
  4. Cinta : Tanya mereka apa yang bisa anda lakukan yang bisa membantu mereka mengerti bahwa anda mencintai mereka dan berikan perintah kepada mereka sehingga anda bisa mengerti bahwa mereka mencintai anda.
  5. Penghormatan : Perhatikan ketika mereka sedang berbicara kepada anda seolah-olah anda sedang mendengarkan seorang teman.
  6. Kepentingan : Bicarakan kepentingan-kepentingan anda dengan mereka sehingga mereka mau membicarakan kepentingan-kepentingan mereka kepada anda.
  7. Tatakrama : Tata karma penting karena manusia makhluk yang beradab.
  8. Menghormati diri sendiri : Ajari mereka cara menampilkan diri dengan baik sehingga orang lain akan mau bekerja dan bermain dengannya.
  9. Ketenangan : Jeda antara berbagai aktivitas dimana semua orang mendorong ketenangan, akan meningkatkan nikmatnya hidup.
  10. Kebenaran : Tidak membicarakan pikiran anda. Maksudnya bertanggung jawab atas tindakan-tindakan anda dan akibat-akibatnya.
  11. Pengajaran : Pengajaran terbaik terjadi ketika anda membolehkan anak anda mengajari anda tentang apa yang mereka ketahui
  12. Perhatian : Ajari anak anda apa maksud perhatian itu dan bagaimana dia bisa memperhatikan orang lain.
  13. Kreativitas : Bagaimana menjadi diri mereka sendiri, temukan gagasan-gagasan mereka, ciptakan situasi sebelum merasakan kekecewaan ketika apa yang mereka harapkan tidak terjadi.
  14. Kejujuran : Mengetahui bagaimana mengakui perbuatan sehingga mereka tidak membodohi diri mereka sendiri dan orang lain.
  15. Pujian : Perhatikan pencapaiannya seberapun kecilnya.
  16. Istirahat : Pastikan mereka memiliki waktu untuk istirahat.
  17. Gizi : Beri makanan yang bisa menghasilkan energi dan kekuatan
  18. Makna Kesalahan : Ajari anak-anak bahwa kesalahan-kesalahan adalah kesempatan belajar kita semua.
  19. Kerjasama : Kerja bersama dengan anak-anak anda sehingga kalian semua mendapatkan kepuasan.
  20. Disiplin : Anak-anak yang belum pernah belajar apa disiplin itu tidak akan mengerti bagaimana menerapkan disiplin diri guna mendapatkan dunia sesuai dengan yang mereka harapkan.
  21. Penghargaan : Anak-anak perlu mengetahui ketika ia berhasil mengerjakan sesuatu, sesuatu itu akan berjalan dan juga akan berhasil jika mereka mencobanya lagi serta meningkatkan teknik mereka.
  22. Fleksibilitas : Hidup penuh dengan perubahan. Mengetahui bahwa membiarkan sesuatu , orang atau tahap-tahap dalam kehidupan tidak akan menghilangkan ingatan kecuali jika anda tidak mau melupakannya, akan membantu anak-anak mampu beradaptasi. (Robert Dilts & Jennifer Dilts, 2004).

Daftar di atas hanyalah sebuah pengingat. Daftar itu tidak akan mencakup segala hal yang bisa dilakukan orang tua. Orang tua yang baik tentu memiliki pemikiran-pemikiran lain yamg lebih luwes dan lebih luas. Mereka tahu apa yang paling sesuai dengan karakter anak dan selaras dengan karakter budaya serta norma-norma setempat dimana mereka berada. Artinya setiap kondisi yang berbeda membutuhkan perlakuan yang berbeda. Para Orang tua dapat menambahkan atau mengurangi sesuai keinginan terbaik mereka. Menjadi orang tua efektif tidak berarti harus menjadi orang tua yang sempurna. Orang tua tidak selalu benar selamanya, karena orang tua juga manusia, tetapi ketika orang tua sedang memiliki harapan atau tidak, lihatlah daftar dan ingatlah apa yang sudah dilakukan dan apa lagi yang masih bisa dilakukan.

P e n u t u p

Membangun moralitas sama artinya dengan membangun pendidikan budi pekerti, ia harus dimulai dari sedikit demi sedikit, dari hal-hal yang kecil menjadi besar, dari problem-problem yang ringan kepada problem-problem yang lebih rumit dan kompleks. Prinsip membangun moralitas haruslah dimulai dengan membuat pondasi yang kuat, pilar-pilar yang kokoh dan tembok-tembok yang kekar yang mampu bertahan terhadap semua goncangan sebelum memasanginya dengan atap dan ornamen-ornamen yang memperindahnya.

Membangun moralitas anak berarti membelajarkan anak untuk memiliki ; tanggung jawab, kedisiplinan, empati, etika, kesabaran, tatakrama, pengendalian emosi, keadilan, persahabatan, motivasi, kasih sayang, belas kasih, kebijaksanaan, dan sederet aturan hidup manusia dalam pergaulan sosialnya.

Membangun moralitas (budi pekerti) seharusnyalah dimulai dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Keluarga merupakan tempat yang pertama penggodokan moralitas dan guru utamanya adalah orang tua. Karenanya, selain menjadi guru, orang tua sekaligus menjadi teladan yang utama dan pertama bagi seorang anak. Keluarga adalah pondasi utama dalam membangun moralitas, jika pondasinya kuat, diharapkan dapat tertancap pula pilar yang kokoh, dari pilar yang kokoh, akan melekat dinding-dinding yang kekar, sampai suatu saat menjadi bangunan yang indah dan megah. Sebuah cita-cita bersama, sebuah harapan di tengah-tengah krisis moral yang melanda saat ini, yaitu terbentuknya manusia yang memiliki spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.

Semoga tulisan yang sangat sederhana ini mampu memberikan inspirasi kepada pembaca, terutama para orang tua agar dapat menjadi teladan bagi anak-anak mereka dalam kerangka pembangunan moralitasnya.  

DAFTAR PUSTAKA

Bobbi Deporter & Mike Hernackhi, 2000, Quantum Learning, Kaifa, Bandung.

Daniel Goleman, 2001, Emotional Intelligence, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Gordon Dryden & Jeanette Vos, Dr, 2000, Revolusi Cara Belajar, Kaifa, Bandung.

Jalaluddin Rakhmat, 2001, Meraih Cinta Illahi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.

K. Sri Dhammananda, 1995, Hidup Sukses dan Bahagia, Karaniya, Bandung.

Roberts Dilts & Jennifer Dilts, 2004, The Bright Mind, Strategi Mengatasi Kesulitan Konsentrasi Anak, Prestasi Pustaka, Jakarta.

 

BIO DATA  

1. Nama : Sanjata Trisula, S.Pd

2. N I P : 132 205 308

3. Jabatan : Guru Mata Pelajaran Matematika

4. Tempat/Tanggal Lahir : Kediri, 1 Juli 1969

6. Jenis Kelamin : Laki-laki

7. Agama : Islam

8. Masa Kerja : 9 Tahun 1 Bulan

9. Pendidikan : Sarjana Matematika FKIP UNEJ Th 1993

10. Tempat Mengajar : SMP Negeri 1 Giligenting Sumenep Jl. Raya Galis Kecamatan Giligenting Sumenep

11. Nomor Telepon Sekolah : (0328) 671968

12. Alamat Rumah : Desa Galis Kecamatan Giligenting Sumenep.

13. Nomor Telepon Rumah : 085230695517

Kegiatan Yang Pernah Diikuti :

1. Penataran PKGSJ Tahun 2000

2. Penataran PKGSJ Tahun 2001

3. Simposium Guru Tingkat Nasional 2001, (Makalah terpilih untuk dipresentasikan)

4. Pelatihan KBK Tahun 2006 di Sumenep

5. Pelatihan Lesson Study, Tahun 2006 Di Batu Malang.

6. Juara Harapan II LKTI Tingkat Kabupaten Sumenep Tahun 2005

7. Juara Harapan I Lomba LKTI Tingkat Kab. Sumenep Tahun 2006

 

Sumenep, 10 Pebruari 2007

Yang Membuat, SANJATA TRISULA, S.Pd

Nip. 132 205 308

 

 

Back To Daftar Isi

Pendidikan Berbasis Moral:

Urgensi Pendidikan Agama Dan Peranan Guru Dalam Membangun Moral Siswa

Oleh: Syaiful Rizal Alinata

 

Mata saya menyaksikan apa yang tidak sepantasnya disaksikan orang: bilik-bilik gas didirikan oleh insinyur-insinyur yang sangat terpelajar, anak-anak diracuni oleh dokter-dokter yang mahir, bayi-bayi dibunuh oleh perawat yang terlatih, wanita-wanita dan bayi-bayi di ditembaki dan dibakar oleh para lulusan sekolah menengah dan lulusan-lulusan sekolah tinggi, karena itu saya curiga pada pendidikan.......

(Kutipan dari sebuah surat seorang Kepala Sekolah di Amerika Serikat yang selamat dari Kamp Konsenstrasi Hitler)

Ada yang salah dalam proses pendidikan, ada yang kurang sempurna. Pendekatan dan penekanan yang salah alamat, ada ketidak sinkronan antara proses dan tujuan. Akibatnya output yang dihasilkan jauh dari harapan. Produk-produk sekolahan yang serba tanggung. Akhirnya bukan nilai-nilai positif yang lahir dari perilakunya, justru keserakahan, kesewenang-wenangan dan "ketegaan" berlaku apa saja demi kepuasan hawa nafsunya sendiri atau kepuasan kolega dan atasannya. Demikian barangkali yang ingin diungkapkan oleh penulis surat di atas seorang Kepala Sekolah yang berhasil selamat dari kekejaman dan keserakahan salah seorang pemimpin besar Jerman yang berkuasa pada tahun 1930-an.

Dalam bentuk yang berbeda, dan kasus yang berbeda, serta cara dan format yang lain, hal serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Korupsi yang sering disebut kejahatan luar biasa, mustahil akan dilaksanakan secara sadar oleh seorang yang tidak berpendidikan. Penipuan dan Money Loundring tidak akan dilakukan dengan bekal pendidikan sekolah rendahan. Bahkan yang lebih tragis lagi pemerkosaan, perampokan, minum-minuman keras, penjarahan dan tawuran justru dilakukan oleh remaja dan pemuda-pemuda yang masih duduk di bangku sekolah yang notabene sehari-hari mendapat arahan dan pengawasan dari guru dari orang tuanya Oleh karenanya pendidikan memegang peranan penting dalam menimbulkan karakter positif anak-anak bangsa di masa lalu, kini dan di masa depan. Dan guru adalah salah satu aktor yang diharapkan berperan besar dalam membangun moral generasi penerus bangsa.

Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kalau kita cermati tekanan penanaman moral dan penciptaan karakter terhadap peserta didik secara eksplisit dan implisit tergambar dari formulasi tersebut. Tinggal sekarang aplikasinya di lapangan, bagaimana kurikulumnya, visi dan misinya, manajemennya dan aturan-aturan teknis lainnya, serta kemampuan dan kemauan dari guru-gurunya.

Di Amerika Serikat pada tahun 1990-an telah tumbuh gerakan untuk pendidikan moral di sekolah-sekolah negeri dengan menggunakan nama "Pendidikan Karakter" ini terjadi karena banaknya orang Amerika melancarkan kritik mengenai sistem sekolah negeri yang mengabaikan pendidikan moral. Pendidikan karakter mengandung pengertian sebagai upaya yang sengaja untuk mengembangkan suatu karakter yang baik, didasarkan atas kebajikan utama yang baik bagi diri sendiri dan baik bagi masyarakat (C. Thomas Phillips, 2001: 16).

Di Indonesia, selama ini sistem pendidikan disinyalir kurang dapat memberikan muatan afektif terhadap peserta didik, kurikulum di Indonesia dikemas sebagai kurikulum pembelajaran, bukan kurikulum pendidikan, karena pelaku pendidikan lebih menitik beratkan pada mengajar dari pada mendidik. Hal ini juga dikarenakan adanya tuntutan materi yang telah ditargetkan dalam satu catur wulan atau satu semester, harus habis. Dan apabila ada waktu sedikit saja yang ditinggalkan, maka pendidik harus bisa mengganti di waktu yang lain. Hal ini tampak pada begitu padatnya materi dalam kurikulum yang selama ini harus dilaksanakan. Akibatnya para guru mungkin kekurangan waktu untuk dapat memasukkan nilai-nilai moral, iman dan taqwa (Imtaq), yang sesungguhnya perlu ditanamkan pada peserta didik, sehingga hasil yang dicapai adalah orang-orang yang mempunyai intelektualitas tinggi, tetapi tidak diikuti oleh kematangan pribadi dan kematangan emosional yang seimbang, sehingga efek emosinya tidak mampu mengimbangi konsep intelektualitasnya yang hanya berdasarkan pada perhitungan rasional dan menguntungkan diri sendiri.

Akhir-akhir ini pemerintah mulai memberikan ruang gerak yang lebih luas pada setiap pelaku pendidikan termasuk guru untuk berinovasi dan berimprovisasi dengan memperhatikan berbagai unsur pendukung seperti lingkungan budaya setempat, kepentingan stakeholder, dan nilai-nilai yang harus dikembangkan sesuai dengan visi dan misi lembaga pendidikan tersebut. Dengan school base management dan kurikulum tingkat satuan pendidikan, lembaga pendidikan pada jalur dan jenjang masing-masing dapat menanamkan nilai-nilai moral pada setiap peserta didiknya sebagai tindakan antisipatoris dalam menghadapi kemajuan global dengan segala ekses-ekses negatifnya. Dengan ini guru juga memiliki keleluasaan dalam mencetak kader-kader bangsa di masa mendatang.

 Dua Dimensi Manusia : Dimensi Peradaban dan Dimensi Pendidikan

Abad ini telah memberikan kakuasaan yang besar pada umat manusia yang tidak pernah terjadi dalam sejarah. Kemajuan dan kekuatan teknologi yang dahsyat dengan mudah digunakan dan dimanfaatkan oleh kita sekarang ini. Bagaimana seseorang menggunakan teknologi tersebut bergantung pada kematangan moral yang bersangkutan. Hal ini dengan jelas disampaikan oleh Arnold Toynbee (1948) seorang ahli sejarah Inggris yang pada karyanya Civilization on Trial mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi modern membutuhkan penekanan pada dimensi moral dan kerohanian :

"Semakin besar kekuatan materi kita, semakin besar kebutuhan mereka akan pendangan spiritual dan kebajikan kita untuk menggunakan demi kebaikan dan bukan untuk kejahatan……………. Secara spiritual kita pernah merasa cukup untuk menangani kekuatan material kita dan dewasa ini kesenjangan moral itu semakin besar ketimbang pada zaman-zaman sebelumnya."

Manusia pada hakikatnya memiliki dua dimensi, yaitu pikiran dan tubuh. Dua dimensi itu cenderung mendorong manusia mencari dua jenis nilai. Pikiran yang berpusat pada kesadaran adalah sumber inspirasi untuk nilai-nilai moral atau spiritual, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan, kebajikan dan kecintaan sejati. Apabila manusia mendapatkan dan menghayati nilai-nilai tersebut akan timbul dan tumbuh kepuasan diri. Di saat yang bersamaan manusia juga memiliki keinginan terhadap materi sebagai pemenuhan kebutuhan tubuh. Menusia menghendaki hidup yang nyaman, panjang umur dan kesehatan yang baik. Mereka menghargai kekayaan dan semua yang dapat dibeli dengan uang. Mereka menginginkan status sosial dan kekuasaan yang di hasilkan dari status tersebut. Dengan memiliki dan menikmati hal-hal tersebut menusia menjadi makmur secara materi dan duniawi.

Pemenuhan dua kebutuhan manusia yang didasari dua dimensi: pikiran dan tubuh, menuntut keseimbangan yang sehat dari keduanya, karena apabila manusia mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual dan lebih memperhatikan semata-mata pada sisi kehidupan praktis dan material, apapun kepuasan yang di dapatkannya akan dirasakan kosong dan mengambang. Pendidikan dapat mendorong dan menuntun menusia untuk mengejar kedua dimensi dalam hidup itu dengan seimbang.

Dua dimensi hidup tersebut juga melahirkan dua dimensi peradaban terdapat suatu kebutuhan bagi manusia untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mendasar, yaitu arti dari kehidupan dan cara tindakan yang baik, serta bagaimana menerapkannya untuk mendapatkan kedamaian yang hakiki dan memecahkan konflik kemanusiaan. Kebutuhan moral dan spiritual serupa ini menghasilkan pengembangan agama dan filsafat. Pada saat yang sama melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia telah mencoba untuk memperbaiki kondisi materinya. Dengan mempelajari dan memahami hukum alam dan segala jenis benda dan energi, manusia berusaha untuk menarik manfaat bagi kehidupan duniawinya. Dan upaya-upaya tersebut mampu secara intensif memperbaiki standar kehidupan manusia. Kedua dimensi peradaban ini agama dan filsafat, demikian juga ilmu pengetahuan dan teknologi, bersama-sama telah memberikan pengetahuan yang mendasari perjalanan dunia dewasa ini.

Untuk menjaga keseimbangan antara dua dimensi di atas, maka perlu ada
dua dimensi pendidikan yang berkaitan, yaitu pendidikan etika dan moral
serta pendidikan konvensional. Pendidikan etika dan moral membantu setiap individu untuk memenuhi kebutuhan merealisasikan nilai-nilai spiritual, seperti kebenaran, keindahan, kebaikan dan cinta. Sedangkan pendidikan konvensional, yaitu pendidikan akademis, pendidikan teknik dan kejuruan, pelatihan kesenian dan olah raga,
membuat seseorang mampu meningkatkan pencapaian sasaran dan tujuan. Misalnya kekayaan yang melimpah, kehidupan yang nyaman, kesehatan yang baik dan status sosial. Antara kedua dimensi pendidikan itu, pendidikan moral dan etika harus menjadi prioritas. Meningkatkan kerakter moral perorangan yang baik merupakan harapan terbesar untuk perdamaian di dalam keluarga, perdamaian dalam masyarakat dan perdamaian di dunia, karena itulah pendidikan yang berbasis moral dan etika memang sesungguhnya sangat penting.

Pendidikan Moral Melalui Sekolah.

Untuk dapat mengembangkan nilai-nilai moral diperlukan adanya intervensi pihak lain, salah satunya adalah lingkungan sekolah. Sekolah adalah lingkungan kedua setelah keluarga yang cukup mempunyai peran dalam mempengaruhi perkembangan moral anak. Di sekolah anak-anak bergaul dan berinteraksi baik dengan kelompok teman sebayanya maupun dengan para guru dan komponen lain yang ada. Di sini anak-anak cukup banyak memperoleh modal atau contoh-contoh perilaku dari lingkungannya.

Menurut William Chang bahwa anak-anak Indonesia dalam proses pendidikannya memerlukan peningkatan pendidikan nilai-nilai moral, karena saat ini sudah terdapat pergeseran nilai-nilai moral yang berisi penghormatan terhadap sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan dan kesetiakawanan yang berasal dari nilai-nilai tradisional yang berupa adat istiadat dan kebiasaan luhur dari nenek moyang kita yang telah digeser oleh otonomi manusia dengan mendewakan kebebasan pribadi. Sehingga manusia merasa bahwa pihak lain tidak berhak mengaturnya (Kompas, 3 mei 1999).

Pendaapat senada juga terungkap dalam tulisan Peter J Drost, yang mengatakan bahwa kurikulum di Indonesia selama ini tampaknya lebih banyak mengemukakan muatan materi yang terlalu berat dan menitik beratkan pada kemampuan intelektual, sedangkan muatan pendidikannya (nilai pendidikannya) sudah berkurang. Sehingga anak-anak perlu diberikan pendidikan khusus tentang budi pekerti yang bisa diperoleh di rumah maupun di sekolah, dengan demikian antara rumah dan sekolah harus ada sistem pendidikan yang selaras dan sejalan agar anak bisa memahami norma-norma secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Disadari atau tidak selama ini di kalangan masyarakat luas maupun di kalangan kaum terdidik umumnya telah terjadi apa yang disebut erosi moral pendidikan. Berbeda dengan tujuan mulia Ki Hajar Dewantoro ketika mendirikan taman siswa, saat ini ada kecenderungan sekolah hanya dianggap sebagai sarana untuk meraih martabat dan gengsi dari pada sebagai lembaga mencerdaskan bangsa. Termasuk kecerdasan intelektual maupun kecerdasan moral.

Kita bisa melihat bahwa orang sering menganggap sekolah hanyalah sekedar eskalator sosial. Masyarakat cenderung menganggap jenjang-jenjang pendidikan formal hanyalah sebagai tahapan yang harus dilalui untuk dapat menempati status sosial yang lebih tinggi. Di kalangan anak sekolah sendiri, sudah lazim bahwa kegiatan belajar tidak dipandang sebagai proses untuk mengembangkan diri, melainkan lebih dianggap sebagai jalan pintas untuk menuju kehidupan yang lebih nyaman tanpa kerja keras dan serba menyenangkan. Yang ada dalam bayangan mereka adalah sekolah dan lulus kemudian bekerja dan dapat duit. Itulah motto yang tampaknya berlaku umum di kalangan kaum terdidik sekarang ini.

Sementara itu kalau kita tengok dalam pelaksanaan pendidikan, gejala teknokrasi selama ini cukup terasakan. Terdapat penekanan terhadap bidang teknologi yang diasumsikan sebagai pilar utama yang akan mampu membawa bangsa Indonesia maju. Padahal pada hakikatnya tugas pendidikan terutama adalah menggambarkan ide mengenai tata nilai dan mengenai apa tujuan hidup manusia.

Karena itu yang perlu diusahakan dalam dunia pendidikan adalah tetap mempertahankan pendidikan etika moral dan kemanusiaan dalam upaya membentuk sumber daya manusia secara lebih utuh. Harapannya peserta didik dapat memahami dan mencapai kemanusiaan sebaik-baiknya, sehingga mengerti siapakah manusia dan bagaimana memperlakukan manusia lain sebagai manusia.

Namun demikian bukan berarti upaya-upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebaiknya dihentikan atau dianggap tidak perlu. Pendidikan etika dan moral tidak bermaksud menentang atau menghambat usaha mendidik tenaga-tenaga ahli dibidang teknologi. Kemampuan teknologi dan professional dan lainnya yang dimiliki seseorang akan makin optimal dan makin luas mamfaatnya bagi masyarakaat bangsa, apabila manusia pemiliknya makin tinggi moral dan rasa kemanusiaannya, sebaliknya akan sangat berbahaya apabila kemampuan dan kecakapan teknologis dan professional di bidang tertentu dimiliki oleh seseorang yang jauh dari kecerdasan moral.

Seperti kata Ki Hajar Dewantoro, pendidikan serba otak (Vers Tandelijke) itu saja tidak cukup. Masih harus ada Geestelijke opvoeding atau pendidikan jiwa dan rohani. Sesudah kita pintar, kita perlu arif, sopan, rendah hati, terbuka dan humanis. Untuk itulah menambah porsi pendidikan agama dan budi pekerti pada kurikulum sekolah apabila benar-benar dilakukan merupakan contoh kearifan dari para praktisi pendidikan di negeri ini.

Pada bab X tentang kurikulum pasal 36 ayat 3 undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikatakan kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

  1. Peningkatan iman dan taqwa
  2. Peningkatan akhlak mulia
  3. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik
  4. Keragaman potensi daerah dan lingkungan
  5. Tuntutan pembangunan dan nasional
  6. Tuntutan dunia kerja
  7. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
  8. Agama
  9. Dinamika perkembangan global, dan
  10. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Dengan demikian peningkatan iman dan takwa serta peningkatan akhlak mulia harus menjadi prioritas perhatian bagi penyusun kurikulum di setiap jenjang pendidikan.

Hal tersebut diperjelas lagi dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas lima kelompok mata pelajaran yang salah satunya adalah kelompok mata pelajaran agama dan ahklak mulia. Dijelaskan bahwa cakupan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

Urgensi Pendidikan Agama di Sekolah

Menghadapi krisis moral dan etika dewasa ini, beragam pendapat menanggapi hal tersebut kaitannya dengan pendidikan agama di sekolah. Di antaranya beranggapan bahwa hal tersebut menunjukkan pendidikan agama di sekolah kurang berhasil sehingga menurut mereka pendidikan agama tidak begitu urgen untuk dipertahankan, sebab masalah agama adalah urusan pribadi dan keluarga. Di negara-negara modern, agama tidak menjadi pelajaran wajib tetapi warganya mampu bertahan hidup dan berada dalam era global ini sedang di Indonesia dimana agama menjadi pelajaran wajib justru posisi kwalitas SDMnya terpuruk hingga ke tingkat paling bawah. Di pihak lain memiliki pendapat berbeda. Justru karena adanya krisis moral dan etika tersebut pendidikan agama mutlak perlu ditingkatkan pelaksanaanny. Sebab agama sangat diperlukan bagi manusia dalam kehidupannya. Agama dipandang sebagai penuntun moral.

Di Italia beberapa tahun yang silam, diselenggarakan pertemuan Ilmiah tentang “Culture relation for the future” (hubungan kebudayaan dikemudian hari). Dalam rekomendasinya berjudul “Reconstituting the human community” (menyusun kembali masyarakat manusia) dikemukakan sebuah kesimpulan “Untuk mentralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual.

Pada hakikatnya pendidikan agama tidak dapat dilepaskan dari fungsi pendidikan secara keseluruhan, yaitu untuk membentuk watak karakter dan kepribadian yang berlandaskan moral. Pendidikan agama adalah bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan agama merupakan instrumen strategi bagi pengembangan potensi dasar yang demiliki oleh setiap manusia. Potensi dasar diantaranya adalah potensi akhlak. Potensi akhlak inilah yang menjadikan manusia menjadi mahkluk yang relejius. Akhlaklah yang mempengaruhi sikap manusia dan prilaku manusia, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama. Untuk itulah menyelenggarakan pendidikan agama secara efektif menjadi kewajiban bagi semua pihak yang berkompeten dan terkait.

Masalahnya adalah mungkinkah pendidikan agama di sekolah yang hanya dua jam bisa efektif. Adakah peluang untuk menambah alokasi waktu untuk pendidikan agama di sekolah Menurut hemat penulis peluang untuk itu cukup terbuka. Hal ini didasarkan pada Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI no 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan Dasar dan menengah. Pada bab II poin B tentang struktur kurikulum Pendidikan Umum di tuliskan bahwa satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pelajaran per minggu secara keseluruhan.

Dengan demikian apabila ada komitmen kuat untuk menambah porsi pendidikan agama sebagai salah satu jalan menanamkan nilai-nilai moral spiritual pada peserta didik, maka jalan sangat terbuka sebab di depan kita. Dari pada menambah jam pelajaran-pelajaran yang di UNAS-kan tentu ada baiknya untuk di pikir menambahkan menimal separuh untuk pelajaran agama atau budi pekerti sehingga cita-cita mencetak generasi muda yang cerdas intelektual dan cerdas moral menjadi kenyataan.

 Peranan Guru dalam Membangun Moral Siswa

Mengajar dan mendidik anak-anak adalah peran guna yang harus dilaksanakan dengan baik oleh seorang guru yang baik pula. Dan guru yang baik tidak hanya guru yang mengusai bahan ajar secara lengkap dan mengetahui teknik dan cara mengajarinya, melainkan lebih dari itu. Yaitu disamping memiliki visi dan misi masa depan, yang paling penting mengetahui bagaimana bersikap baik tatkala berhadapan dengan anak didiknya.

Oleh karena itu, sesungguhnya yang harus yang dibicarakan sebagai peran guru disini bukanlah sekedar peran-peran yang bersifat teknis sehubungan dengan penyambungan proses belajar mengajar belaka. Akan tetapi lebih dari itu, peran guru harus mencakup persoalan pengembangan kesadaran, wawasan, sikap, dan komitmen profesional yang dilandasi etika. Semua itu dilakukan dengan kesadaran bahwa melaksanakan peran sebagai guru itu tidak cuma bersangkut paut dengan persoalan ranah kognisi anak didik, melainkan juga dengan persoalan ranah afeksi mereka. Tegasnya seorang guru tidak hanya bertugas manyampaikan materi pelajaran saja kepada siswa, tetapi juga dituntut seorang guru mampu menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang baik pada siswa. Bahkan mampu mengubah sikap keseharian siswa yang kurang baik menjadi lebih baik.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit guru yang mengabaikan faktor afektif/ sikap siswa. Menurut Suharjono, perubahan afektif siswa tampaknya memang kurang mendapat perhatian dalam praktek pembelajaran. Hal ini mungkin didasarkan pada pemikiran bahwa:

  1. Guru mendapat kesulitan dalam merancang pembelajaran afektif, khususnya dalam merumuskan tujuan pembelajarannya.
  2. Adanya kesulitan dalam memilih dan menggunakan modal pembelajaran yang cocok guna dapat mengubah sesuatu dalam diri siswa yang berhubungan dengan perasaannya, emosi, sistem nilai dan sikap.
  3. Tidak mudah untuk menilai ketercapaian afektif sisiwa.

Alasan-alasan diatas mempengaruhi pola pikir guru yang hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif. Akibatnya guru banyak bertumpu pada hasil belajar dan sering mengabaikan proses belajar. Mereka beranggapan bahwa tugas membangun moral atau memperbaiki sikap siswa adalah tugas dari guru agama saja. Suatu pandangan yang menunjukkan bahwa ada ketidak sadaran bahwa seorang guru adalah seorang pendidik. Artinya guru memiliki tugas mengajar sekaligus mendidik.

Untuk itulah menurut hemat penulis ada beberapa hal yang bisa dilaksnakan guru dalam rangka membangun moral siswa:

  1. Tingkatkan Profesionalitas

Guru yang profesional adalah sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab itulah modal bagi guru dalam melakukan tugas sehari-hari. Sebaik apapun kurikulumnya, variasi metodenya, dan kelengkapan sarana prasarananya tanpa ditunjang oleh tingkat profesionalitas guru yang memadai, tidak akan terjadi proses pembelajaran yang ideal yang pada gilirannya kurang memberikan pengaruh pada yang berarti bagi perubahan sikap dan pengetahuan siswanya. Seorang guru yang profesional akan menajdi guru yang efektif di kelas. Menurut Gary A Davis dan Margarett A. Thomas (dalam Suyanto, 2001) Ciri-ciri guru yang efektif diantaranya adalah:

Menjadi profesional tidak lantas harus bersekolah lagi kejenjang yang lebih tinggi, tetapi dengan banyak membaca buku, bertukar pikiran dengan teman-teman sejawat, serta aktif mengikuti pelatihan-pelatihan sikap profesionalisme akan tumbuh dengan sendirinya.

Undang-undang no 14 tahun 2005 telah menempatkan guru sebagai pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didiknya.

Perbaiki Pola Interaksi

Guru yang baik akan selalu sadar dalam hal bersikap. Ia sadar bahwa di depan para siswanya itu ia tidak sedang melakukan “aksi sepihak”, entah memamerkan kelebihannya atau bahkan aksi pelampiasan kejengkelan atau kegeraman. Guru yang baik akan sadar bahwa sesungguhnya ia sedang berinteraksi dengan siswanya. Menurut Soetandyo W. interaksi adalah suatu hubungan timbal balik yang komunikatif dan amat bertujuan. Guru adalah insan yang amat bernilai karena pengalamannya sebagai generasi masa kini dan masa lalu, sedangkan siswa adalah insan-insan masa kini dan masa mendatang yang masih harus diidealisasikan dan diimajinasikan oleh mereka. Lewat suatu proses interaksi, pengalaman dan kaidah hidup masa lampau guru akan diimbal balikkan dengan wawasan imajinatif para siswa.

Dalam kehidupan masyarakat yang bernuansa feodalitik dan paternalistik usaha membangun komunikasi yang efektif demi kepentingan kedua belah pihak kadangkala terhambat oleh sikap-sikap yang tidak egaliter. Termasuk hubungan guru dan anak didiknya. Pihak guru cenderung memandang dirinya memiliki status yang lebih tinggi dan kuasa. Sedangkan pihak murid haruslah mengakui dirinya sebagai pihak yang berstatus lebih rendah dan berkewajiban untuk selalu taat dalam segala hal. Namun, di dalam kehidupan masyarakat modern, model guru yang baik adalah yang mampu bersikap egalitarian dan demokratis terhadap anak didiknya. Sikap seperti itu memang tak selamanya secara serta merta mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Tetapi ada baiknya untuk segera dicoba dengan pembatasan-pembatasan tertentu sesuai dengan adat ketimuran dan pedoman agama yang diyakininya.

Dengan demikian, apapun kesulitannya para guru harus berprakarsa sebagai pihak yang memulai upaya terciptanya hubungan guru siswa yang interaktif. Guru harus dapat lebih bersikap dan bertindak sebgai motivator dan inspirator dari pada sebagai instruktur. Guru yang baik adalah mitra siswa dalam bertukar pikiran dengan penuh kesabaran, dan bukan sebgai pendikte yang mau benar sendiri dengan ukuran-ukuran normatifnya sendiri.

  1. Jadilah Suri Tauladan yang baik

Guru adalah sosok yang seharusnya bisa di “gugu” lan di “tiru”. Artinya, segala tingkah laku baik yang ditunjukkan dengan cara bersikap maupun cara berbicara harusnya menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Guru adalah orang tua kedua bagi siswa. Bahkan kadang-kadang para siswa lebih mentaati gurunya dari pada orang tuanya sendiri. Namun tak jarang pula guru-guru menjadi monster- monster yang menakutkan atau bahkan mengancam harga diri atau kehidupan siswa-siswanya. Telah banyak kita dengar adanya guru yang memperkosa siswanya, guru yang menghukum siswanya sampai sang siswa meninggal dunia, dan kasus-kasus lain yang serupa.

Keteladanan adalah faktor utama pendukung keberhasilan proses pendidikan. Tercatat dalam sejarah keemasan Islam, bahwa kesuksesan besar Rasulullah SAW dalam mendidik para muridnya adalah karena beliau melakukannya dengan pendekatan keteladanan (al-qudwah). Kepribadian beliau yang anggun, penuh simpati, ramah kepada semua orang menjadi pusat perhatian para sahabat dan muridnya. Munir D. Ahmad (dalam Abd. Wahid, 2006) melukiskan: apapun yang Rasulullah katakan atau beliau kerjakan diterima atau diambil secara serius oleh orang-orang Islam. Demikian juga dalam kasus di bidang pendidikan. Metodologi pengajarannya dan apa yang beliau ajarkan, bahkan cara beliau biasa duduk diantara masyarakat ditiru di seluruh sejarah ummat Islam.

Guru tidak hanya menjadi teladan siswa ketika berada di kelas, tetapi juga di waktu diluar kelas, di rumah, bahkan di jalan. Semua sikap yang ditunjukkan guru akan menjadi referensi hidup bagi siswanya. Untuk itulah sebagai guru kita harus menjaga betul sikap dan bentuk perbuatan kita sehari-hari. Jangan sampai tingkah laku buruk yang ditunjukkan siswa di sekolah atau diluar sekoah ada andil kita di dalamnya. Karena keteladanan seorang guru sangat efektif dalam membentuk kepribadian anak. Seperti diungkapkan oleh Dr. Abdullah Nashih Ulwan (dalam Abd. Wahid, 2006):

Keteladanan dalam pendidikan merupakan media yang sangat efektif dalam membentuk budi pekerti anak termasuk membentuk kepribadian dan interaksi sosialnya. Hal itu terjadi karena di mata mereka seorang pendidik merupakan sosok ideal dan teladan yang baik. Mereka akan meniru segala prilaku dan budi pekertinya, baik di sadari atau tidak

Simpulan

Manusia memilki dua kebutuhan, jasmani dan rohani. Namun kadang kita lebih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan jasmani, sedangkan kebutuhan rohani terabaikan. Demikian juga dengan siswa kita di sekolah. Mereka adalah juga manusia. Maka selain pengetahuan dan teknologi yang harus mereka serap, juga sangat penting penanaman nilai-nilai moral dan akhlak mulia. Sehingga prilaku-prilaku negatif mereka bisa ditekan seminimal mungkin. Kurikulum di sekolah hendaknya sangat kental dengan nuansa “mendidiknya”, jangan lagi ditemukan kurikulum yang menekankan aspek “mengajarnya”. Dan yang sangat penting juga jangan sampai ada pikiran dibenak kita untuk menghilangkan pendidikan agama dari kurikulum sekolah. Ada pendidikan agama saja siswa kita seperti sekarang ini, apalagi kalau tidak ada pendidikan agama. Justru yang harus ada dalam pikiran kita adalah mencari celah untuk menambah porsi pendidikan agama. Jangan biarkan siswa kita melek teknologi tapi buta agama. Kalau itu sampai terjadi, guru adalah orang pertama yang harus dimintai pertanggung jawabannya.

Oleh karena itu sudah saatnya para guru harus berbenah diri. Meningkatkan kualitas diri mutlak harus dilakukan. Menjadi profesional adalah tuntutan reformasi pendidikan yang tak terelakkan. Disamping itu buang jauh sikap “One Men Show”. Antara guru dan siswa harus saling memberi dan menerima. Guru adalah motivator dan inspirator siswa. Dalam setiap gerak-geriknya dimonitor oleh siswa untuk dijadikan model. Untuk itu menjadi suri tauladan bagi siswanya adalah pilihan terbaik bagi serang guru. Tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah.

Mulailah dari diri sendiri

Mulailah dari sekarang, dan

Mulailah dari hal-hal yang kecil.


Daftar Pustaka

Abd Wahid, “Mengakrabkan Anak dengan Tuhan: Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-anak” dalam Jurnal Edukasi Nomor 06 Tahun 2006.

Chang William, “ Pendidikan Nilai-Nilai Moral “ dalam Kompas 3 Mei 1999.

Drost, Peter J, “Kita Dididik Menghargai Orang Lain” Dalam Majalah Amanah. Nomor 42. Tahun XII Mei-Juni 1999

Peraturan-Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Phillips, C. Thomas, “Kebutuhan Akan Pendidikan Karakter”,dalam Jurnal Gentengkali, vol.3 No. 8 Tahun 2001.

Sutandyo Wigngjosoebroto, “Peran Guru Membangun Moral Anak-Anak Masa Depan Bangsa”, dalam Jurnal Gentengkali, Vol. 3 No. 8 Tahun 2001

Suhardjono, 2000. Paradigma baru Pendidikan Menuju Era Demokrasi Belajar, Malang: Universitas Brawijaya

Suyanto, “Guru Profesional” dalam Buletin Pusat Pembukuan, Vol.5 Tahun 2001.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

 

Biodata

Syaiful Rijal Alinata, S.PdLahir di Sumenep, 14 Agustus 1971. pengalaman mengajar sejak 1992-sekarang. Pernah mengajar beberapa sekolah swata di Jember dan Sumenep. Sekarang sebagai tenaga pengajar di SMPN I Giligenting Sumenep.

 

 

Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN MORALITAS:

MEMBEBER BEBERAPA KERANCUAN

Oleh Mohammad Hasan Basri

 

Secara yuridis-konseptual, bangsa Indonesia patut berbangga. Karena para founding fathers-nya tidak melupakan moralitas dalam pendidikan, bahkan menjadikan moralitas sebagai salah satu orientasi utamanya. Moralitas itupun bukan sekedar moralitas sekuler, tapi moralitas yang berhubungan dengan keimanan (agama), walaupun negeri ini tidak memproklamirkan diri sebagai negara agama. Pancasila sebagai dasar negara sungguh sarat dengan nilai-nilai moral. Salah satu contohnya, keadilan dalam sila ke-2 dan ke-5 adalah bagian prinsip dalam moralitas. Dalam konteks pendidikan, pasal 31 UUD 1945, ayat 3 menggariskan:

Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur denganundang-undang.

Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia adalah perpaduan moralitas dan agama yang dibangun secara utuh dalam upaya pelaksanaan pendidikan. Dengan pasal dari UUD tersebut terlihat jelas bahwa manusia Indonesia yang diharapkan dicetak dari dunia pendidikan adalah manusia beriman dan bertakwa, dalam arti berpegang teguh pada keyakinan prinsip agama serta mewujudkannya dalam prilaku dalam bentuk ketakwaan. Akhlak mulia yang sebenarnya merupakan bagian dari ketakwaan ditegaskan dalam pasal tersebut untuk memberi ruang pada nilai-nilai luhur yang digali dari tradisi Indonesia sendiri.

Keberadaan moralitas inipun dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (yang dikenal dengan UU Sisdiknas). Dimulai dari bagian paling awal tentang pengertian pendidikan (Bab I, Pasal 1, ayat 1):

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Bab II, Dasar, Fungsi dan Tujuan, pasal tiga menyebutkan kembali akhlak mulia:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pelaksanaan proses pendidikan yang diamanatkan UUD 1945 itupun juga harus berpedoman pada nilai-nilai, baik nilai-nilai agama atau kultural yang juga merupakan dari moralitas. Bab III Pasal 4 ayat 1 menyatakan:

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjujung tinggi hal asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Pasal-pasal tersebut di atas sengaja dikutip untuk kembali melihat langsung bahwa bangsa ini tidak main-main dengan moralitas sejak dari awal. UUD 1945 adalah dasar negara yang menjadi rujukan setiap kebijakan dan titik pijak tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia mengamanatkan akhlak mulia dalam pendidikan yang kemudian ditindaklanjuti oleh UU Sisdiknas dalam bentuk pemberian definisi yang menentukan “cetak biru” pendidikan nasional. Hal itu ditegaskan dengan tujuan yang menjadi orientasi pendidikan nasional sendiri. Ia juga menjadi visi pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia baru (Abdurrahman Shaleh, 2004: 57)

Tapi ironisnya, mengapa moralitas dalam kehidupan bangsa ini tidak kuat mewarnai? Mengapa Bangsa Indonesia yang dari undang-undang dasarnya menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai keagamaan serta menjadikan bagian penting dalam proses pendidikannya seolah tidak memperlihatkan perbedaan dengan negara-negara lain? Tentu masalahnya memang tidak sederhana. Ada begitu banyak faktor yang saling tumpang tindih dan berkait kelindang satu sama lain sehingga begitu rumit untuk diurai. Beberapa kerancuan pemahaman tentang hal-hal yang terkait dengan moralitas dalam proses pendidikan turut menjadi faktor kegagalan pendidikan moralitas.

Penekanan Pada Prilaku

Pandangan umum mengatakan bahwa moralitas adalah prilaku. Maka menilai moralitas seseorang adalah dengan melihat prilakunya. Mungkin pada mulanya karena faktor kemudahan. Karena prilaku mudah dilihat, diukur dan dinilai. Orang yang prilakunya baik menurut ukuran norma tertentu, berarti secara moral disebut sebagai baik. Lalu pendidikan moralitas adalah pendidikan prilaku. Seorang peserta didik dilatih untuk berprilaku tertentu sesuai yang diharapkan. Jika bisa meniru dengan baik, maka anak itu adalah anak baik, anak bermoral.

Apa masalahnya? Ada reduksi moralitas pada prilaku fisik. Padahal ia mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia (Magnes-Suseno, 1987: 19). Artinya menyangkut keseluruhan dimensinya yang luas dan prilaku fisik hanya bagiannya. Hal lain yang perlu dilihat adalah dimensi batinnya. Dengan mempertimbangkan dimensi batin, maka moralitas tidak sekedar dilihat dari dimensi prilaku fisik. Sederhananya, orang yang prilakunya baik belum tentu bermoral luhur, karena bisa jadi ia munafik, penjilat, yang berbuat baik karena ada kepentingan tertentu. Bisa jadi tutur kata seseorang sopan, tapi itu karena dibuat-buat untuk mendapat perhatian khusus, bukan karena ia betul-betul menghormati orang yang diajak bicara, apalagi yang dikatakannya tidak benar (bohong). Orang yang memberikan suatu bantuan tidak selamanya baik. Karena bisa jadi bantuan itu dimaksudkan untuk menciptakan ketergantungan kepada yang memberi bantuan sehingga ia bisa dititah apa saja karena merasa berhutang budi.

Kenyataannya, kebanyakan masyarakat cenderung terpesona dengan prilaku yang secara lahiriah baik. Alasan ajaran agama agar orang selalu berbaik sangka (husn al-zhann) tak jarang menjadi penguat. Karena itu banyak orang tertipu karena langsung percaya dengan melihat prilakunya. Lalu apakah kita harus selalu curiga kepada orang lain yang berbuat baik kepada kita? Tentu tidak. Yang harus dilakukan adalah hati-hati dengan menyadari bahwa moralitas bukan sekedar urusan prilaku lahiriah, tapi juga menyangkut hati sebagai dimensi batin manusia. Yang penting dipertegas adalah adalah bahwa kebaikan prilaku sebagai tindakan bermoral berangkat dari kebaikan hati. Ia adalah perwujudan kebaikan hati dalam perbuatan sehari-hari. Maka perbuatan baik yang tidak didasarkan kepada kebaikan hati hakikatnya adalah immoral (tidak bermoral). Karena hal itu adalah munafiq atau riya’ dalam bahasa agama.

Karena itu pendidikan bukan sekedar mengajarkan pola tingkah laku seperti yang diharapkan. Karena pendidikan kepada manusia bukan seperti melatih binatang untuk melakukan suatu perbuatan, sebagaimana memburu anjing melacak buruannya. Pengajaran pola tingkah laku perlu didasarkan pada penataan hati, bahkan mungkin harus dimulai dari penataan hati. Karena manusia adalah makhluk yang memiliki hati dari berkesadaran, sedang prilakunya adalah perwujudan dari hati yang telah tertata dengan moralitas tersebut. Orang yang berbuat baik karena kesadarannya pada kebaikan akan terus berbuat baik dalam segala keadaan. Tapi orang yang berbuat baik karena kebiasaan atau paksaan, ia akan mudah luntur karena situasi tertentu. Dengan demikian, pendidikan moralitas sejatinya adalah pendidikan menata hati dan kesadaran, bukan sekedar menata cara berprilaku yang tergolong keterampilan teknis seperti latihan olah raga.

Toleransi Pada Yang Kecil-Kecil

Mungkin semua pendidik setuju bahwa penanaman moralitas adalah bagian dari pendidikan yang sangat sulit. Masih lebih mudah mengajarkan suatu pelajaran, matematika sekalipun yang terkenal rumit itu, atau melatih permaian tertentu dari suatu cabang olah raga. Di mana letak kesulitannya? Karena umumnya peserta didik tidak mau diatur, pergaulan bebas, pengaruh media baik cetak atau elektronik, tidak ada dukungan orang tua dan masyarakat, waktu berinteraksinya terbatas atau jam pelajaran akhlak terbatas, dan lain sebagainya. Mungkin semuanya benar, memang demikian adanya sehingga pendidikan gagal dalam aspek moralitas, walaupun misalnya berhasil dalam aspek intelektualitas.

Tapi berbagai upaya menanamkan moralitas sering hanya tertuju pada hal-hal besar yang terkait langsung dengan sekolah, keaktifan masuk atau absensi atau ketekunan belajar. Sementara di sisi lain banyak orang melalaikan pada hal-hal kecil yang dianggap tidak ada pengaruhnya. Terlambat hanya satu menit atau memegang bagian "yang tidak berbahaya" pada teman yang tidak sejenis. Pepatah Perancis saja mengatakan bahwa setan itu memulainya dari sesuatu yang kecil-kecil. Karena itu, dalam hal moralitas khususnya, hal-hal immoral walaupun kecil tidak bisa ditoleransi. Karena itu akan terus merambah pada hal-hal yang lebih besar. Karena biasanya, jika yang kecil-kecil ditoleransi, padahal ia salah, pada perlahan akan terus diulangi hingga akhirnya dianggap benar. Kesalahan kecil yang dibenarkan itu akan menjadi prilaku yang akan terus ditambah menjadi semakin besar. Justru akan menjadi sangat strategis jika penanaman moralitas dimulai dari yang kecil-kecil dan tidak mentoleransi immoralitas sekalipun kecil. Itu diharapkan menjadi kebiasaan yang terus membesar dan berkembang menjadi kecakapan hidup menyeluruh (general life skill) (Muhyi Batubara,2994: 98).

Krisis Keteladanan

Pendidikan moral adalah pendidikan yang terkait dengan kepribadian. Dalam hal ini peran figur tidak bisa dikesampingkan. Karena, walaupun manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri, tapi ia tetap merupakan makhluk sosial (social animal) yang tidak hanya butuh mitra sosial, tapi juga butuh interaksi yang memberikan pengaruh dalam perumusan jati dirinya. Dalam hal moralitas, tentu peserta didik tidak hanya bisa diberi ceramah, pengertian atau diajak berdiskusi tentang moralitas. Mereka juga memerlukan bentuk kongkrit dalam bentuk figur dalam kehidupan nyata, bukan sekedar di alam konseptual-normatif. Berbagai nilai di alam konseptual-normatif akan berantakan ketika di lapangan para peserta didik justru tidak menemukan perwujudannya. Di sinilah, guru perlu menjadi figur ajaran moral, di samping mengajarkannya secara konseptual-normatif.

Hanya saja masalahnya, para peserta didik masa kini umumnya tidak menjadikan para guru atau tokoh-tokoh moral sebagai idola. Figur yang menjadi idola para peserta didik yang masih berusia belia adalah para selebritis. Mengidolakan mereka berarti meniru segala prilakunya. Mereka adalah rujukan prilaku yang tidak mengenal penyaringan. Segala yang dilakukan para selebritis adalah yang prilaku modern dan maju, karena itu ia adalah baik dan harus ditiru. Bahkan ada rasa bangga jika mampu meniru prilakunya. Fenomena ini memang merupakan tantangan berat bagi para guru yang lebih dianggap sebagai media pemberi jasa pengetahuan, sebagaimana profesi jasa yang lain.

Kondisi ini diperparah dengan adanya oknum guru yang mencemari nama baik dengan moralitas jelek. Kenyataannya selalu ada berita tentang oknum guru yang mencabuli atau melakukan pelecehan seksual kepada muridnya. Yang harus disadari adalah bahwa peristiwa jelek yang menjadi berita jelek adalah berita baik dalam arti menarik diperbincangkan (a bad news in a good news, kata pepatah). Dan satu peristiwa jelek lebih mudah dan cenderung digeneralisasi. Dengan adanya seorang guru yang bermoral tak terpuji lalu orang cenderung berkesimpulan bahwa para guru pada dasarnya memiliki moral yang serupa. Tapi sebaliknya, ketika ada seorang guru yang memperlihatkan moralitas terpujinya, ia cenderung dianggap “pengeculian”, antik dan spesial. Tidak lagi muncul kesimpulan bahwa demikianlah pada dasarnya moralitas guru.

Krisis keteladanan ini juga terlihat dari prilaku guru yang salah maksud sehingga upaya pendidikan moral tidak sejalan dengan prilakunya sendiri. Maksudnya mengajarkan moralitas yang terpuji tapi justru dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji. Tindakan-tindakan kekerasan pada dasarnya adalah tidakan tidak bermoral. Menampar menurut sebuah hadits tidak dibenarkan, sekalipun dalam melaksanakan hukuman-hukuman keagamaan. Bisa jadi, seorang guru akan memberi pelajaran tentang moralitas terpuji dengan tindakan kekerasan untuk memberikan efek jera. Sekali lagi, tindakan kekerasan tidak ada rumusnya dalam dunia pendidikan. Kalaupun ia akan menimbulkan efek jera, tapi efek lain justru lebih besar yaitu efek dendam atau kemunafikan. Siapapun tidak suka diperlakukan kasar. Ketika seorang murid dendam kepada gurunya karena tindakan kekerasan, yang akan muncul adalah permusuhan dan guru akan gagal dalam tugasnya sebagai guru, karena ia telah menjadi musuh. Efek kemunafikan sebagai efek-mungkin yang lain adalah kepatuhan karena takut. Hal itu akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan pura-pura akan terus membesar menjadi kebohongan-kebohongan besar di masa datang. Dengan tindakan keras itu sebenarnya guru telah mendidik murid munafik, pendusta dan penjilat. Bahkan bisa jadi sang guru juga telah mendidik murid untuk juga biasa melakukan tindak kekerasan, karena demikianlah ia diperlakukan oleh gurunya.

Karena itu, tidak perlu bangga kalau sekedar bisa membuat siswa jera dari prilaku tak bermoral, jika itu dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Karena lebih besar kemungkinan hal itu tidak memperbaiki moralitas yang sebenarnya. Dan dengan itu sang guru sebenarnya lebih layak disebut "satpam" dari pada guru. tindakan seperti ini adalah tindakan yang maksudnya baik tapi dilakukan dengan cara tidak baik dan efeknya juga tidak baik.

 Minimnya Sentuhan Hati

Tentu saja tidak tepat jika bermaksud mendidik moralitas dengan pendekatan kekerasan. Yang diperlukan dalam pendidikan adalah ketegasan dan ia tidak mesti keras sebagaimana disiplin yang tidak mesti selalu cemberut dan bermuka sangar. Selain pendekatan-pendekatan kekerasan, pada umumnya pendekatan pendidikan di lembaga formal masih terlalu formal. Pendidikan moralitas diajarkan sebagaimana mata pelajaran lain, disampaikan dengan ceramah atau penanaman pengetahuan yang lebih berorientasi pada intelektualitas. Yang dipentingkan adalah para siswa tahu tentang norma-norma. Karena dengan tahu itu diyakini akan mengamalkannya dalam prilaku. Inilah salah satu kerancuan keyakinan. Karena antara pengetahuan dan tindakan bukan sesuatu yang otomatis. Orang yang tahu otomatis melakukannya. Karena antara pengetahuan dan tingkah laku masih terbentang jarak yang panjang, yang penuh dengan berbagai kepentingan serta dorongan situasi dan kondisi.

Umumnya pelaksanaan pendidikan yang menekankan formalitas adalah lebih mementingkan pelaksanaan secara formal. Yang dipentingkan adalah bahwa materi telah disampaikan dan sekolah benar-benar melaksanakan tugas "mengalihkan mata pelajaran" (Torsten Husen, 1995: 19). Entah cara yang digunakan efektif atau tidak, sesuai dengan tujuan atau tidak lalu tidak menjadi soal. Pendidikan lalu menjadi semacam ritualitas dan rutinitas yang kering bahkan kaku. Dengan cara demikian tentu orang tidak bisa banyak berharap. Karena para peserta didik sendiri juga juga akan pendidikan moralitas yang dilaksanakan secara formal hanya sebagai ritualitas dan rutinitas sekolah. Paling jauh, yang menjadi orientasi adalah pengetahuan atau penguasaan materi. Sekalipun disadari bahwa pendidikan moral adalah pendidikan sikap dan prilaku, tapi dengan dengan pelaksanaan yang serba formal, ujungnya-ujung menjadi penguasaan materi, itu saja.

Sebagai proses pendidikan untuk membentuk kepribadian yang beranjak dari kesadaran hati tentu yang diperlukan adalah sentuhan hati. Segala proses pendidikan moralitas yang tidak menyentuh nurani tidak akan memberi hasil yang menggembirakan, kalau tidak boleh mengatakan gagal sama sekali. Sentuhan hati dalah sikap yang serba kasih, bukan serba memusuhi, terhadap para peserta didik yang nakal sekalipun. Kebencian dan permusuhan atas dasar kesalahan yang diperbuat seorang peserta didik adalah sikap yang tidak produktif untuk melakukan sentuhan hati. Karena hal itu akan lebih produktif jika dilakukan melalui kasih sayang dan kelembutan, komunikasi manusiawi (humanistic communications) yang intensif, yang didasarkan pada kejujuran, ketulusan dan keterbukaan, bukan sekedar komunikasi sosial yang sering tidak jujur dan penuh kepura-puraan. Di situlah apa yang disebut sentuhan kemanusiaan (human touching) yang terfokus pada sentuhan hati diperlukan.

Seorang guru yang akan melakukan pendidikan moralitas perlu menyediakan ruang dalam dirinya seluas mungkin untuk turut berempati atas segala yang terjadi dengan anak didiknya. Punya kemampuan untuk mendengarkan secara tulus segala yang keluar dari mulut peserta didiknya. Idealnya, semua guru demikian adanya. Ia juga lebih memerankan diri sebagai mitra dialog yang tidak selalu memberikan vonis-vonis bersalah atas segala yang salah sekalipun, tapi mendidik berdasarkan cinta (Athiyah al-Abrasyi, 1984: 131-134). Karena pada dasarnya, peserta didik bukan tidak tahu tentang baik buruk. Mereka tahu itu. Tapi yang perlu dipahami adalah kenapa mereka tidak bisa mewujudkannya. Dan itu sangat terkait dengan banyak persoalan yang tidak sederhana. Hanya saja tidak jarang para pendidik menyederhanakan dan mereduksi problem moralitas sebagai ketidaktahuan atau ketidaksadaran. Dan simplifikasi serta reduksi itu akan berdampak pada simplifikasi cara penanganan.

 Keseragaman Anak Didik

Di antara bentuk simplifikasi atas persoalan moralitas adalah pandangan bahwa kenakalan atau immoralitas peserta didik disebabkan oleh ketidaktahuan atau juga mungkin ketidaksadaran. Mereka yang suka bolos dianggap karena tidak tahu bahwa bolos itu jelek. Lalu tindakan yang diambil adalah memberi nasehat agar tidak suka bolos dan berubah menjadi siswa yang rajin masuk kelas. Masalahnya karena mereka tidak tahu, jadi harus diberitahu. Atau dalam bahasa yang lebih mendalam, kerena mereka tidak sadar, maka perlu disadarkan. Ini hanya salah satu bentuk simplifikasi masalah yang melahirkan simplifikasi solusi.

Sikap semacam itu diperparah dengan generalisasi. Sebagaimana jarang disadari, generalisasi mengidap reduksi-reduksi yang kadang fatal terutama jika dihubungkan dengan kemanusiaan. Para siswa dilihat seragam. Persoalan-persoalan yang sama disikapi dengan cara yang sama karena diyakini berlatar belakang faktor yang sama. Mungkin logika yang biasa dipakai dalam ilmu alam juga diterapkan dalam dunia kemanusiaan. Atau kalaupun tidak dipengaruhi logika ilmu alam, hal itu merupakan akibat kemalasan berpikir dan meneliti lebih jauh yang kemudian dibiasakan sehingga membentuk cara berpikir generalisasi. Memang tidak dipungkiri bahwa kesamaan-kesamaan itu pasti ada. Tapi sejauh mana dan dalam aspek apa kesamaan itu masih diperlukan pengamatan yang seksama.

Penting disadari kembali bahwa persoalan kemanusiaan, termasuk dalam moralitas anak didik sangat kompleks. Di samping kompleksitas pribadi manusia sendiri dengan berbagai pengalaman hidupnya, juga karena kompleksitas persoalan lingkungan yang mengitarinya. Semuanya berkelindan membentuk kepribadian dan prilaku tertentu. Pengaruh lingkungan jelas ada, tapi tidak akan sama. Demikian juga pengalaman hidup yang mungkin memberikan pengaruh tidak sama masing-masing orang. Pengalaman dibesarkan dalam keluarga yang penuh konflik mungkin memberikan pengaruh negatif moralitas, tapi juga mungkin memberikan pengaruh baik. Dan sejauh mana baik buruknya pengaruh itu pun tidak akan sama pada masing-masing orang.

Karena kompleksitas dunia kemanusiaan itulah, yang lebih penting dikedepankan adalah memandang bahwa masing-masing peserta didik adalah unik dan memiliki dunianya sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Kalaupun ada kesamaan-kesamaan, tidak musti ditonjolkan. Karena pada dasarnya masing-masing berbeda. Kesamaan lebih pada level permukaan yang menyimpan lebih banyak aspek dalam yang berbeda. Maka yang diperlukan adalah perlakukan yang tidak sama antar masing-masing orang. Memang tidak mudah, tapi tidak mustahil. Bagi orang yang serius, ini adalah tantangan. Tapi bagi pemalas ini adalah penghalang yang cenderung dipandangan mustahil.

Ketekunan dan Doa

Alhasil, yang diperlukan adalah ketekunan dalam menyikapi kompleksitas itu. Dengan ketekunan pun, tidak ada yang menjamin keberhasilannya. Ketekunan yang diperlukan sejak dari awal dalam upaya memahami masalah dan faktor-faktor yang melatari. Ketekunan yang dimaksud juga berarti ketelitian mencermati berbagai kemungkinan dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Di sini ketekunan juga berarti kesabaran untuk mencermati dengan berbagai hambatan yang mungkin muncul.

Ketekunan itu juga perlu dipegang sampai para proses mencari solusi dan menerapkan solusi yang dirancang untuk mengatasi problem immoralitas. Di sini juga perlu kehati-hatian. Kalaupun juga tidak menjamin bahwa kehati-hatian itu menjamin ketepatan solusi. Tapi paling tidak ia akan lebih memperbesar kemungkinan ketepatan dari pada ketergesa-gesaan. Ketekunan berhadapan dengan persoalan ini juga diperlukan ketika tidak memperlihatkan keberhasilan. Karena proses mengatasi immoralitas sering tidak bisa sekali. Ia memerlukan keberulang-ulangan. Satu kali gagal, mungkin satu kali lagi dan seterusnya. Karena gagal satu kali dalam hal ini tidak berarti gagal sepenuhnya. Maka dalam hal ini, ketekunan juga berarti selalu optimis. Tidak ada kata menyerah. Kegagalan pada suatu saat bisa bukan berarti gagal seterusnya. Karena perubahan-perubahan akan selalu terjadi dalam kehidupan manusia. Bisa jadi sangat cepat dan drastis, tapi juga bisa jadi sangat lambat. Bahkan kegagalan pada satu orang juga tidak berarti kegagalan pada orang lain.

Yang sering muncul dalam hal ini adalah rasa putus asa dan pesimis karena kegagalan sebelumnya, baik pada orang yang sama atau kepada orang lain. Karena itu sering muncul sikap acuh tak acuh atau menangani secara asal-asalan. Padahal, sekali lagi, kegagalan adalah tantangan, bukan hambatan yang menutup kemungkinan keberhasilan. Orang yang optimis, akan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi sebaliknya, bagi orang pesimis, akan selalu mencari kesempitan dalam kesempatan. Di sini penting kembali ditegaskan bahwa manusia adalah "makhluk paedagogik", yang bisa dididik dan mendidik (Zakiyah Darajat, 2006: 17).

Sebagai bangsa yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, upaya mengatasi problem immoralitas pada peserta didik perlu disertai dengan doa yang istiqamah dan ikhlas. Karena kita semua tahu bahwa semua manusia, termasuk peserta didik, adalah ciptaan Allah swt. Ia yang menciptakan manusia dan tentu saja Ia paling tahu bagaimana menentukan sikap yang terbaik atasnya. Di satu sisi, mereka adalah media menguji kesabaran kita. Di sisi lain kita punya tanggung jawab untuk memperbaiki hal-hal yang tidak baik padanya. Dengan doa kita berharap Allah yang Mahatahu, khususnya tentang seorang anak didik, akan memberikan petunjuk cara terbaik menyikapinya.

Selain harapan mendapat petunjuk tersebut, dengan doa kita dapat mengesampingkan kesombongan lumrah yang sering kita bawa kemana-mana. Pengetahuan teoritis atau pengalaman sering membuat kita lupa sehingga merasa mampu mengatasi berbagai persoalan, khususnya persoalan penanaman moralitas kepada anak didik. Seolah, dengan bekal ilmu dan pengalaman kita mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi sehingga mengesampingkan Allah swt yang terlihat dengan ketidakmauan untuk berdoa. Pada kesombongan itu sendiri adalah salah satu prilaku immoral. Di sinilah muncul bentuk baru kerancuan, yakni upaya penanaman moralitas yang dilakukan dengan immoralitas, upaya mendidik untuk mencetak orang-orang luhur tapi dilakukan dengan kesombongan yang jelas tidak luhur. Barangkali tidak adanya kerendahhatian itu menjadi salah satu faktor yang membuat gagal upaya penanaman moralitas kepada anak didik.

 

Daftar Bacaan

Abrasyi, Mohammad 'Athiyah al, Asas Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Husen, Torsten, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Shaleh, Abdurrahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Husen, Torsten, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Press, 1995.

Suseno, Frans Magnes-, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

 

Biodata

Penulis adalah Alumni STIK Annuqayah (2000), sekarang sedang dalam tahap akhir penyelesaian studi di Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Tulisannya tentang pendidikan beberapa kali dimuat di rubrik Didaktika, Kompas.

 

 

Back To Daftar Isi

WAWANCARA

KH. Abd. Basith AS. B.A.

Harus Ada Revolusi Moral

 

“ Sekarang bahkan sudah ditengarai, bahwa moral para pemilik pesantren dan madrasah, terutama di Sumenep sudah mulai mengalami degradasi, bila dibandingkan dengan masa-masa yang lampau” . Begitulah salah satu gambaran yang disampaikan oleh KH. Abd. Basith AS, terkait dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Pendidikan telah mulai tercerabut dari akarnya : dari yang seharusnya membentuk manusia yang terdidik ke arah baru yang lebih banyak melahirkan manusia-manusia yang sepertinya tidak lagi mencerminkan sebagai orang-orang yang pernah dibesarkan di dalam dunia pendidikan. Sebab, berbagai problem pendidikan yang berujung pada dekadensi moral remaja dan degradasi moralitas para pelaksana pendidikan telah menjadi sesuatu yang memprihatinkan. Bahkan lembaga pendidikan yang selama ini dianggap sebagai benteng moralitas, seperti madrasah dan pesantren, telah mulai mengalami pergeseran paradigma yang sangat drastis : menjadi lembaga yang tidak lagi bermoral. Itulah yang terekam dalam perbincangan Mohammad Suhaidi RB, dari Jurnal EDUKASI dengan almukarram KH. Abd. Basith AS. B.A, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, 06 Maret 2007. 

Di tengah carut marutnya kondisi pendidikan bangsa saat ini, muncul wacana pendidikan budi pekerti. Bagaima menurut pandangan kiyai?

 Sebenarnya, pesantren sebagaimana banyak ditulis, tidak pernah meninggalkan kata ‘budi pekerti” Dalam Islam ada istilah antara iman, islam dan ihsan. Ihsan inilah yang sebenarnya menjadi bentuk dari pendidikan moral itu. Nabi Muhammad sebagaimana kita ketahui adalah bu’itstu li utammimamakarima alk-akhlak. Oleh karena itu, dalam konteks bangsa Indonesia yang lebih banyak didominasi oleh umat Islam, maka tiga hal itu tidak boleh ditinggalkan. Karena pesantren sejak dulu selalu mengutamakan yang ketiga ini. Bahkan bagi orang-orang pesantren pada waktu dulu, ketiga hal tersebut (iman, islam dan ihsan, red) dijadikan sebagai tasauf-nya pesantren

 

Kondisi pendidikan pesantren sendiri saat ini, bagaimana menurut kiyai?

 Sekarang pesantren sudah mulai banyak di pengaruhi dari luar. Dulu, pesantren masih uzlah. Tapi sekarang, setelah kemerdekaan, orang-orang pesantren sepertinya sudah merasa penting untuk mengetahui dan mempelajari macam-macam ilmu lain sesuai dengan perkembangan.

 

Wujud pengaruh luar yang telah masuk di pesantren, mungkin bisa dijelaskan?

Perubahan yang tampak di pesantren sekarang, misalnya status MA (Madrasah Aliyah) sudah disamakan dengan SMU, dan juga terjadi pada lembaga-lembaga yang sederajat. Nah, akibat dari pengaruh ini, pesantren kemudian tampak lebih banyak mengambil pikiran-pikiran dari orang-orang yang mendesain, terutama di departemen pendidikan. Sehingga pendidikan pesantren pun sama dengan pendidikan umum. Kalau misalnya di dalam pendidikan umum, persoalan moral menjadi masalah, secara otomatis pesantren juga harus bertanggung jawab. Pesantren memiliki tanggung jawab yang sama. Apalagi jumlah pesantren saat ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang lain (lembaga pendidikan umum, red)

 

Berarti pesantren telah mulai benar-benar mengalami perubahan yang drastis, bila dibandingkan dengan pada masa-masa yang lampau?

Setelah saya lihat di direktur pesantren, sebagian besar pesantren yang ada ternyata sudah berubah model, yaitu bermodel asrama dan bahkan telah sama dengan pendidikan umum. Itulah yang menyebabkan moral menurun. Sekarang bahkan sudah ditengarai, bahwa mora pesantren dan pemilik madrasah, terutama di Sumenep, sudah mulai mengalami degradasi, bila dibandingkan dengan masa-masa yang lampau. Buktinya kalau ada bantuan (ke madrasah-madrasah tersebut, red) mereka saling rebutan, bahkan kadang-kadang mereka sampai berani mengajukan data-data yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, misalnya mengajukan jumlah (siswa/murid, red) yang seharusnya 50 orang, diperbesar jumlahnya menjadi 100 orang.

Orang-orang semacam itu, mana mungkin akan bisa mendidik moral, kalau moralnya sendiri sudah seperti itu. Bahkan ada lagi, perubahan MI menjadi SDI, yang seharusya masuk sore di rubah menjadi masuk pagi. Itu semua dilakukan dengan tujuan hanya untuk mendapatkan uang, bukan untuk mendidik moral. Sekarang juga ditengarai, baik penguasa,“ulama” dan kiyai sudah mulai ada yang berfikir ke arah fulus (uang, red). Kalau kenyataannya sudah demikian, tidak mungkin akan bisa membuat akhlak akan menjadi lebih baik.

 

Selain pengaruh itu, adakah faktor lain yang mempengaruhi berubahnya paradigma penguasa, ulama dan pengelola pendidikan kita ?

Mungkin juga, karena pengaruh globalisasi, katakanlah pengaruh luar yang sudah mulai masuk ke Indonesia dan pesantren secara khusus, terutama pengaruh Barat. Apalagi ketika perdagangan bebas sudah masuk, maka tanpa ada filter yang baik dan tanpa ada upaya melakukan perubahan dari generasi yang akan datang, hal itu malah akan semakin tambah memprihatinkan.

 

Solusinya kira-kira bagaimana?

Masalah itu dipecahkan dengan cara, harus ada revolusi moral, antara lain dengan menerbitkan majalah dan jurnal, walaupun memang agak sulit, karena minat baca masyarakat kita masih rendah.

 

Pendidikan budi pekerti dengan demikian tetap sangat penting. Bagaimana kira-kira implementasi di lapangan?

Di pesantren saja seperti yang telah saya katakan tadi, budi pekerti sudah mulai habis. Menurut saya harus ada kebijakan, mungkin kalau di sini disebut dengan muatan lokal untuk pendidikan moral, bahkan bukan hanya di sekolah saja, tetapi juga yang bisa mendidik moral (guru, red). Selain itu, yang harus tetap digalakkan adalah minat baca, walaupun di Indonesia sendiri minat baca memang sangat lemah. Oleh karena itu, penerbitan majalah harus tetap digalakkan dan diupayakan.

 

Terkait dengan moral guru, pengelola pendidikan dan kiayi, hal itu telah menjadi mental. Bagaimana cara untuk melakukan perubahan?

Antara lain menurut saya, bagaimana majalah bisa dapat mereka akses dan mereka baca. Sebab, kadang-kadang mereka hanya berorientasi untuk mencari uang, tidak ada kemauan untuk membaca. Jadi, minat baca, terutama bagi mereka harus terus digalakkan. Dengan membaca akan memperoleh banyak pengetahuan-pengetahuan. Sebab, hanya dari pengetahuan mereka bisa berubah.

 

Akhlak sudah barang tentu menjadi sesuatu yang signifikan untuk diberikan. Apakah akan ada jaminan bahwa materi budi pekerti yang diberikan kepada anak didik, akan menghasilkan sesuatu yang sudah pasti bisa diharapkan?

Tidak mesti, tapi paling tidak, akan bisa memperbaiki.

 

Mungkin ada langkah yang lain?

Pertama, pelajaran budi pekerti harus terus diupayakan dengan maksimal. Kedua, dengan cara mendongkrak minat baca. Kemudian yang ketiga, bagaimana guru-guru memang bermoral tinggi

 

Dengan kondisi yang sudah kehilangan elan moral semacam ini, apakah mungkin memang ada yang salah dengan pendidikan kita?

Ya, seperti yang telah saya katakan tadi, bahwa tiga hal itu tidak pernah dilakukan. Bahkan pengaruh-pengaruh dari luar telah memberikan pengaruh yang luar biasa, seperti komputer dan HP. Apalagi bangsa kita hanya sebatas menjadi pembeli, sementara yang memproduk berasal dari bangsa-bangsa Barat, dan dibuat dengan tujuan bagaimana moral bangsa kita bisa hancur, sehingga mereka akan lebih mudah menguasai.

 

Problem ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, ulama dan masyarakat. Bagaimana kiyai melihat peran-peran mereka selama ini ?

Seperti yang telah saya katakan, ditengarai bahwa “ulama” atau kiyai-kiyai, sekali lagi ditengarai telah mengalami degradasi moral, bila dibandingkan dengan masa-masa yang lampau. Walaupun menurut saya, faktor pertama memang terletak pada perubahan sikap itu sendiri, pola hidup, dan kiyai-kiyai yang telah banyak berubah.

 

Kiyai sangat kecewa dengan kondisi ini, dimana ulama dan kiyai telah mulai mengalami degradasi moral?

Betul, saya sangat kecewa

 

Hancurnya moralitas bangsa yang menggurita. Ada banyak yang bilang, hanya pesantren yang bisa dianggap sebagai benteng terakhir. Bagaimana menurut kiyai?

 Benar sekali. Tapi, pesantren yang seperti itu, apabila : pertama, kiyai dan “ulama’” nya bisa berubah. Kemudian yang kedua, pesantren jangan terus mengikuti sepenuhnya pengaruh pendidikan formal dan pemerintah (gagasan yang dikeluarkan oleh pemerintah, red).

 

Terkait dengan kondisi pendidikan Sumenep sendiri?

Saya kira sama juga dengan yang lain, terutama dalam masalah moralitas.

 

Apa masih ada harapan untuk dilakukan perubahan ke arah kondisi pendidikan yang lebih bermoral?

Selama beberapa hal yang telah saya katakan tadi bisa dirubah, saya kira masih akan bisa berubah dan menjadi lebih baik. Saya yakin, itu bisa dilakukan, karena Tuhan tidak akan selamanya membuat keadaan seperti ini.

 

Back To Daftar Isi

 

 ARTIKEL LEPAS  

REVITALISASI PEMBERDAYAAN MADRASAH

Fathol Haliq, M.Si

 

Tulisan ini didedikasikan kepada pengelola & guru madrasah yang hidup asketis

***

Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Amin Abdullah. Abdullah (1995), mempertanyakan sekaligus menggugat eksistensi pendidikan Islam. Pertanyaan yang muncul dari Abdullah yaitu mungkinkah pesantren, madrasah dan perguruan tinggi dapat mencetak dan melahirkan para pengamat dan pemikir agama? Pertanyaan sekaligus tuntutan di masa depan ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

Secara historis, madrasah merupakan “battonna” (sokoguru) pendidikan Indonesia. Masa Belanda merupakan orde sulit dalam perjalanan pendidikan Indonesia. Perbedaan perlakuan kolonial dengan lebih mendahulukan masyarakat elit serta kalangan priyayi (pegawai negeri, puteri/putera kerajaan dan lain sebagainya), membuat rakyat jelata (oreng kenek) kreatif dan tidak putus asa. Para masyarakat dan kalangan agamawan (tepatnya ulama’ dan kiai) merintis pendidikan yang lebih humanis dengan segenap sumberdaya yang terbatas di muhola/langgar atau masjid. Dunia pendidikan yang kelak menjadi bagian dari perlawanan terhadap “pendidikan Kolonial” ini hidup dalam alam asketisme. Asketisme yang tidak hanya berakaitan dengan fasilitas yang terbatas, sarana prasarana bahkan guru –tepatnya kiai kampung—rela “dibayar” dengan hasil bumi yang berasal dari tanaman masyarakat sekitar. Keikhlasan dan pengabdian tinggi untuk memajukan bangsa dan masyarakat membuat kalangan ulama’/kiai/nyai/ustadz dan ustadzah menjadi “guru kelana” mencari lingkungan yang masih memerlukan sentuhan ajaran keagamaan dan spiritualitas. Mereka menjadi muhajirin dari berbagai pelosok negeri ini. Abdurrahman Mas’oed mencatat bahwa guru kelana ini menjadi arsitek dunia pesantren. Keikhlasan dan keteladanan guru kelana ini menjadi fondasi awal dalam membentuk perilaku dan pengetahuan serta aktivitas sosial keagamaan dalam masyarakat.

Oleh karena revitalisasi peran madrasah menjadi penting dikedepankan. Tidak hanya semakin tingginya dekadensi moralitas, pun memerlukan berbagai pemikir agama yang handal. Kita seringkali kebingungan dengan peran pendidikan, khususnya agama (Islam) yang semakin jauh memerankan dirinya di tengah masyarakat. Konflik yang berlatar belakang agama, kekerasan rumah tangga yang mengatasnamakan agama, multitafsir terhadap berbagai al-Qur’an yang mengalahkan substansi nilai-nilai firman Allah (humanisasi, spirituality, equality).

***

Tidak diragukan lagi madrasah memiliki peran penting dalam kerangka spiritualitas dan kebangsaan. Secara spiritual madrasah adalah bagian dari sistem transformasi yang masif dalam memberikan warna perilaku keagamaan dan kebangsaan. Tradisi keagamaan tidak hanya diperlukan dalam konteks manusia bertakwa dan berketuhanan ia juga dasar dari perilaku kebangsaan. Pada aras ini pendidikan madrasah mencoba mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan serta basis bagi benteng tangguh yang akan menjaga dan memperkukuh etika dan moral bangsa (Rahim, 2001).

Madrasah berbeda dengan sekolah. Dalam terminologi madrasah, agama Islam include sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam proses pembelajaran. Berkaitan dengan hal itu fungsi madrasah untuk pemelihara tradisi keagamaan (maintenance of Islamic tradition). Sebagai institusi pendidikan yang berciri khas keagamaan, madrasah memiliki peran yang berarti bagi tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan ini dapat diberikan dalam kurikulum, artinya ia menjadi bagian dari proses belajar mengajar, namun dapat pula ditransformasikan melalui praktek kehidupan sehari-hari. Sistem pendidikan yang dapat dilangsungkan dalam konsep belajar sepanjang hidup (long life education) menjadi bagian yang penting bagi pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Ada yang menjadikan sebagai bentuk sikap maupun prilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Peran yang tidak bisa dipisahkan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan. Madrasah memiliki peran sebagai benteng dalam moralitas berbangsa dan bernegara (nation charachter building). Sebagai bagian dari norma kehidupan bersama, agama menjadi perekat bagi hubungan kebangsaan dan kenegaraan. Mengandalkan berbagai doktrin maupun ideologi kebangsaan, negara (state) akan mengalami kesulitan, khususnya dalam memanage berbagai konflik kepentingan dalam kebangsaan. Agama menjadi obat dan perekat bagi segenap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Peran yang tidak kalah penting dari madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Modernitas dalam kehidupan tidak bisa ditolak. Ia sebagai bagian dari proses kebudayaan dan kemanusiaan yang kodrati. Sebagai lembaga pendidikan agama, madrasah menjadi bagian dari alternatif penting dalam berkebangsaan dan berkenegaraan. Berbagai lembaga pendidikan ditawarkan, madrasah memiliki ciri khas yang unik, mentransformasikan ajaran universal keagamaan sekaligus mampu memerankan dirinya sendiri bagian dari kemajuan dan kemodernan. Kurikulum yang mengadopsi sekolah-sekolah plus antara kurikulum nasional dan kepesantrenan menjadikan madrasah bagian dari lembaga pendidikan alternatif.

Dalam konteks ini pendidikan madrasah atau pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran murid dengan pengetahuan, tetapi memungkinkan meninggikan moralitas, melatih dan mempertinggi semangat kebangsaan, menghargai nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral serta menyiapkan para peserta didik untuk hidup sederhana dan bersih hati (Dhofier, 1982).

Peran yang besar dan kompleks bagi madrasah tersebut tidak hanya mengasah aspek-aspek kognitif, pun menyentuh aspek afektif serta memperhalus perilaku manusia (behavioral). Ranah kognitif memungkinkan peserta didik mengolah berbagai pengetahuan dan transformasi peradaban. Ia menjadi bagian dari proses untuk menjadikan manusia secara intelektual mampu mencerna berbagai pengetahuan dan peradaban serta mampu merubah kehidupan melalui penalaran. Sementara afektif memungkinkan seseorang dapat memperhalus cita rasa serta kemanusiaan dan perasaan-perasaan sehingga manusia mampu mengerti dan memahami sekaligus berempati dengan berbagai peristiwa kemanusiaan dan keagamaan di dunia ini. Sedangkan behavioral dimaksudkan manusia tidak cukup berpengatahuan dan berperasaan, ia merupakan bagian dari proses perilaku, yang ditunggu, sebagai aplikasi dari proses berpengetahuan dan berperasaan tersebut. Kehidupan tidak hanya mengetahui namun juga memiliki sifat dan perilaku sebagaimana yang diajarkan.

Kompleksitas madrasah dengan segenap aktivitas proses belajar mengajar, menjadikan ia sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang dibutuhkan oleh bangsa. Madrasah tidak hanya berperan dalam tataran pendidikan ansich namun ia mampu menciptkan rule of law dalam penciptaan karakter keulamaan. Karakterakteristik keulamaan ini sebenarnya merupakan bagian dari strata sosial yang diciptakan dalam ranah sosiologis manusia. Madrasah menjadi bagian dari peran menciptakan ahli-ahli tajdidi, yang dapat merumuskan dan menjawab problematika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan yang tidak hanya mampu dijawab dengan mentalitas taqlid (taqlid mentality) (Shiddiqi, 1975).

Menurut Shiddiqi (1975) perdebatan yang kompleks antara kaum ulama’ muda dan kaum ulama’ tua menciptakan dinamika ilmu pengetahuan, dimana bermanfaat dalam meretas kekeliruan kemandegan (error of jumud) atau diistilahkan oleh Shiddiqi (1975: 22) sebagai bagian dari stagnation dan taqlid. Diskursus yang mengalami dinamika yang kompleks dan kaya dalam mengayaan pengetahuan ini dalam koridor masyarakat yang berpengatahuan, yang “diciptakan” oleh madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan yang memungkinkan perdebatan dalam pengetahuan.

Idealisasi madrasah sebagaimana dikemukakan dalam wacana awal ini dapat memberikan gambaran bahwa madrasah di masa depan memungkinkan berbagai perdebatan terhadap konten keagamaan. Interpretasi terhadap struktur ajaran keagamaan memungkinkan masyarakat mempertanyakan dan menggugat setiap kehidupan dan ajaran keagamaan yang tidak memberikan ruang bagi kemanusiaan dan kemaslahatan masyarakat. Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menyeleraskan berbagai konten ajaran agama sebagai bagian dari universalitas keagamaan itu sendiri. Artinya madrasah hendaknya mengajarkan kehidupan universalitas bagi peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Kehidupan ini tidak cukup memberikan signifikansi terhadap peran-peran manusia, oleh karena itu agama hendaknya diajarkan tidak dalam rangka kemudharatan, fundamentalisme, perilaku agresivitas dan destruktivitas, ia menjadi bagian dari proses belajar mengajar yang santun, berperadaban, berpengetahuan, toleran, progresif serta memberdayakan masyarakat (empowering people).

Sayangnya, peran madrasah bagi sebagian pakar pendidikan Islam tidak cukup menjawab tantangan dunia global yang kompleks. Pertanyaan sekaligus gugatan Rektor UIN Sunan Kalijaga pada awal tulisan ini merupakan salah satu contoh. Dengan kapasitas pesantren, madrasah serta perguruan tinggi yang besar serta perangkat infrastruktur yang relatif masih mulai dari pendidikan tinggi sampai pendidikan dasar (madrasah) pertanyaan sekaligus keprihatinan tersebut akan mampu dapat dijawab dengan menghadirkan pendidikan yang berkualitas, tidak hanya pada titik kuantitasnya.

Pada aras ini, ke depan lembaga madrasah membutuhkan peran stake-holder yang lebih besar. Stakeholder bukan satu-satunya pengambil keputusan, pengelola madrasah serta masyarakat memiliki peran yang sama dalam memajukan madrasah.

***

STAKE HOLDER memiliki peran penting dalam dalam merevitalisasi peran madrasah. Kesadaran pengambil kebijakan (stake holder) tidak hanya mendesain, melaksanakan dan memonitoring program pemerintah, hal yang paling penting dan fundamental adalah memberdayakan segenap kompenen madrasah. Skema pendanaan yang “tidak membebani”, pelaksanaan yang melibatkan masyarakat setempat, serta monitoring yang lebih mengedepankan komponen madrasah seperti komite madrasah akan memberdayakan madrasah itu sendiri. Sebagai bagian dari program pemerintah, pemberdayaan dimaksudkan evaluasi terhadap program yang telah direncanakan bersama masyarakat. Di sini diperlukan adanya pendekatan stakeholder (stakeholder approach) sebagai bagian dari proses pemberdayaan madrasah.

“The stakeholder approach to evaluation involves bringing together representatives of all the different groups that have a stake in the evaluation process to make decisions about how the program is to be evaluated” (Weiss dalam Sadava & McCreary, 1997: 50).

Mengapa konsep pemberdayaan (empowerment) membutuhkan keterlibatan stakeholder? Karena Madrasah merupakan proses pembelajaran dalam sistem pendidikan yang memiliki empat fungsi dasar (Coleman & Cressey, 1987) penting bagi integrasi kebangsaan. Fungsi pertama berkaitan dengan pemeliharaan sistem kelas dalam masyarakat (social class system). Madrasah akan menolong anak menjadi pintar, serta menolong menjadi orang yang terbaik. Di sisi yang lain madrasah dapat menolak ketidak-adilan sosial (social inequality). Coleman & Cressey mencontohkan bagaimana madrasah menghalangi memperlakukan anak miskin dan etnis tertentu dalam talenta dan motivasi sebab banyak murid berasal orang yang berada (the haves). Fungsi kedua, madrasah dapat mengurangi pengangguran. Di sini madrasah menjadi lapangan kerja altenatif bagi masyarakat. Realitas berbicara bahwa beberapa madrasah mampu menampung para sarjana perguruan tinggi yang berasal dari beberapa kampus ternama seperti Jogjakarta, Malang, Surabaya serta Sumenep, bahkan menjadi alternatif dalam memberdayakan ekonomi keluarga dengan tidak menafikan pengabdian kepada agama maupun masyarakat. Madrasah dapat pula berfungsi sebagai agen kontrol sosial (social control), terutama berkenaan dengan regulasi dan kontrol terhadap perilaku peserta didik. Beberapa guru atau murid diarahkan untuk mematuhi dan tunduk terhadap otoritas tertentu (respect for authority). Otoritas inilah yang diharapkan menjadi bagian dari konseling berbagai persoalan sosial remaja terutama berkaitan dengan kenakalan. Sekolah dapat menyediakan masyarakat anak/siswa (students’ social) dan kebutuhan rekreasi. Sekolah menjadi ruang sosial bagi anak-anak agar memperoleh teman, serta dapat memiliki norma dan nilai sosial dalam pergaulan, itulah fungsi terakhir.

Alasan kedua berkenaan dengan kewajiban negara terhadap masyarakat yang telah membayar pajak. Stakeholder, dalam hal ini pemerintah, bertugas memberikan bimbingan dan penyuluhan sebagai bagian dari proses pemberdayaan terhadap madrasah.

Pendekatan ini menganalisis berbagai program kerja, tata-laksana, realisasi, serta proses pengambilan keputusan bagi sebuah program kerja (Sadava & McCreary, 1997), berupa kebijakan pemerintah daerah. Realitas berbicara bahwa program kerja merupakan proses pengambilan keputusan bagi segenap perbedaan baik antarinstitusi maupun antarindividu dalam sebuah organisasi. Keputusan yang baik diperoleh dari hasil perdebatan antarkelompok dan dinamisasi kelompok yang berbeda latar belakang sosial, pendidikan, bahkan kepentingan (Johnson & Johnson, 2000).

“Pemberdayaan” yang bernuansa elitis dipandang tidak lagi efektif dalam kondisi sosial politik yang terbuka. Pada titik ini masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama dalam memberdayakan madrasah. Artinya masyarakat sebagai “pemilik” pendidikan di masa depan memiliki tanggung jawab yang sama untuk senantiasa memberikan social-support untuk mendorong institusi pendidikan ke arah keterbukaan, transparan serta akuntabel dalam perencanaan, pengelolaan serta supersvisor. Di sini masyarakat menjadi patners penting dalam perencanaan, pengelolaan serta supervisor di madrasah. Keterbukaan untuk senantiasa mengelola madrasah menjadi pekerjaan rumah (home work) lembaga pendidikan sehingga mampu menjadi lembaga yang profesional. Dana, sumberdaya alam, serta sumberdaya manusia yang terbatas tidak lagi menjadi halangan untuk menjadikan madrasah menjadi profesional. Kekuatan madrasah adalah kemandirian pengelolaan dalam mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sekitar. Artinya masyarakat memiliki kebutuhan yang dapat dirumuskan dalam perencanaan, pelaksanaan serta supervisor. Di sini partisipasi menekankan pada pencerahan dan emansipasi individu (Herrick, 1995) dalam masyarakat sehingga timbul social-support bagi perkembangan dan pemberdayaan madrasah.

Alasan ketiga adalah program pemberdayaan madrasah tersebut berkaitan erat basis partisipasi masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat pemberdayaan akan menimbulkan ketergantungan. Pemberdayaan bukan berarti mengesampingkan pembangunan, justru pembangunan ini hendaknya menitik-beratkan partisipasi masyarakat (community based development) sekitar. Artinya ada basis yang lebih fundamental dari proses pemberdayaan tersebut, yakni menumbuhkan motivasi dan kemandirian warga bangsa dalam mengelola pendidikan. Program yang berbasis dan berdasarkan kebutuhan masyarakat menjadi prasyarat dari pranata sosial yang melingkupi madrasah. Kekuatan program pemberdayaan berdasarkan kebutuhan kebanyakan masyarakat (buttom up planning) (Halim & Hambali, 2005).

Pemberdayaan juga dimulai dari basis pranata sosial budaya. Dimana realitas ini menjadi background penting dalam merumuskan berbagai langkah pemberdayaan yang bersifat institusional. Madrasah yang berdaya merupakan kompleksitas dari kekuatan komunitas masyarakat. Artinya dari hal yang sederhana dan personal menjadi basis pada komunitas (community) (Suyanto, 2005).

Di sini partisipasi masyarakat sangat penting terutama berkenaan dengan pemberdayaan madrasah yang mengalami ketidakberdayaan (powerless) yang menjadi bagian dari problem sosial. Partisipasi ini berkaitan pula dengan revitalisasi kearifan lokal, seperti dicatat oleh Coleman & Cressey (1987: 268) sebagai berikut:

“The most effective way to change this situation is to encourage the elderly to participate in community life, putting their wealth of wisdom and experience to work for the good of others.”

Revitalisasi kearifan lokal dapat dijadikan spirit baru partisipasi masyarakat. Spirit inilah yang nanti akan menopang perencanaan dan program pemberdayaan madrasah yang dilakukan pemerintah. Pada titik ini diperlukan pendekatan pemerintahan yang partisipatif bagi pengembangan dan pemberdayaan. Dimana madrasah berkembang ke arah atau keadaan dan situasi (developing/new event or situation) dan memberdayakan masyarakat (empowering people) menjadi entitas yang memiliki akses informasi, ekonomi, sosial budaya agar dapat memberdayakan diri, lingkungan dan masyarakat.

Upaya memberdayakan (empowering procesess) merupakan aktualisasi institusional dan kebersamaan yang menyangkut kepentingan individualistik dan kolektivitas (Hidayati, 1998). Individualistik artinya madrasah sebagai lembaga yang banyak berkecimpung dalam pendidikan dasar dan menengah serta atas tersebut merupakan aset bagi kepentingan perguruan tinggi (PT) ke depan. Ada kekhawatiran tersendiri bahwa sumberdaya dasar dan menengah merupakan bagian yang integratif bagaimana kemampuan pengelolaan perguruan tinggi (PT) akan dapat memberikan out-put yang baik dan kompetitif. Semakin baik kemampuan calon mahasiswa (lulusan pendidikan atas), maka semakin baik pula output yang akan dihasilkan oleh perguruan tinggi (PT).

Alasan ketiga bahwa pemberdayaan mempunyai arti penting bagi madrasah itu sendiri. Dengan pemberdayaan madrasah dapat mandiri dan berpartisipasi secara aktif dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara. Meskipun diragukan, pemberdayaan diharapkan melibatkan anggota masyarakat, tidak hanya orang tua siswa, pun masyarakat umum lainnya sehingga tidak terjadi ketergantungan (interdependen) dengan pemerintah baik pusat maupun daerah. ( Evhal2001@yahoo.com)

 

Beberapa “santri kelana” dan menjadi ulama’ kharismatik dan berwibawa dapat dibaca dalam Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Jogjakarta: LKiS, 2004.

 

Daftar Rujukan  

Azizy, Qodri, 2002, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai dan Bermanfaat, Semarang: Aneka Ilmu;

Coleman, JW., & Donald R Cressey, 1987, Social Problem, New York: Harper & Row, Publishers;

Johnson, DW. & PJ. Johnson., 2000, Joining Together: Group Theory and Group Skills, Boston: Allyn and Bacon;

Halim, A. & Khambali, I., 2005, “Pemberdayaan Masyarakat Miskin Perkotaan: Model Pengentasan Kemiskinan Kota Surabaya dalam Pendekatan TRIDAYA” dalam Rr. Suhartini, dkk. (edt.), Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pesantren (LKiS);

Hidayati, T., 1998, Pemberdayaan Perempuan dalam Pendidikan Islam, Skripsi Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, tidak diterbitkan;

Kieefer, C., 1984, “Citiizen Empowerment: A Development Perspetive”, Human Sevice No 3;

Labonte, R., 1989, “Community Empowerment: The Need for Political Analysis”, Journal of Public Health No. 80;

Mas’ud, Abdurrahaman, 2004, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Jogjakarta: LKiS;

Mas’udy, Masdar F, 2005, Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat, Bandung: Mizan

Rapaport, J., 1987, “Terms of Empowerment: Toward a Theory for Community Psychology” American Journal of Community Psychology No. 15;

Pancer, SM., 1997, “Program Evaluation” dalam Sadava, SW., & Donald R McCreary, 1997, Applied Social Psychology, New Jersey: Prentive Hall;

Salim, Khoirus & Muhammad Ridwan, 1999, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural, Jogjakarta: LkiS

Shiddiqi, N., 1975, The Role of The ‘Ulama During The Japanese Occupation of Indonesia (1942-1945), Tesis McGill University, tidak diterbitkan;

Steenbrink, A. Karel, 1986, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Jakarta: LP3ES;

Suriasumantri, J., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor;

Suyanto, B., 2005, “Pemberdayaan Nelayan Tradisional” dalam Rr. Suhartini, dkk. (edt.), Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pesantren (LKiS);

Tilaar, HAR., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia;

Zahro, Ahmad, 2004, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, Yogyakarta: LKiS.

Zimmerman, M., 1990, “Taking Aim on Empowerment Research: On the Distinction Between Indiviudal and Psychological Concept”, American Journal of Community Psychology No. 18

 

Biodata

Fathol Haliq, M.Si , lahir di Sumenep dan Alumnus Pasca Sarjana UGM Yogjakarta. Selain menjadi dosen STAIN Pamekasan, ia juga aktif sebagai peneliti, community organizer dan penulis. Hasil penelitian yang pernah dilakukannya antara lain berjudul : “Kepercayaan dan Konflik Interpersonal pada Masyarakat Madura[Tesis UGM Yogjakarta]”, “Community Development (CD), Pelacuran dan Perubahan Sosial : Studi Kritis Komunitas Pelacuran di Parangkusumo Jogjakarta”, dan “Íslamic Village dan Perubahan Sosial Keagamaan Masyarakat Desa : Studi Pengembangan Islamic Village di Bantul Jogjakarta”

 

Back To Daftar Isi

GURU DI ANTARA TUNTUTAN PROFESIONALISME DAN REALITAS DUNIA PENDIDIKAN YANG BERAGAM

Oleh: Hidayat Raharja

(1)

Pembukaan

Profesi guru merupakan profesi yang amat mulia, karena ia menentukan masa depan anak didik, generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Di tangan guru, keberhasilan pencerdasan perserta didik dipertaruhkan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan kinerja guru yang professional, sesuai dengan keahlian dan kecakapan serta mampu mengorganisasi dan memanajemen perubahan secara progresif.

Dalam masyarakat tradisional, guru dipandang seseorang yang memberikan tauladan dan bisa segala hal. Guru benar-benar menjadi orang yang digugu dan ditiru. Seorang guru adalah seseorang yang berilmu dan memiliki akhlak dan budi pekerti yang patut diteladani. Kualitas akhlak lebih diutamakan daripada kecakapan keilmuan (Azra,2004:353)

Guru dalam pandangan masyarakat modern, dipandang sebagai sosok yang memiliki kecakapan keilmuan yang terlatih atau ahli dan dapat melakukan transfer keilmuan kepada orang lain. Guru tak ubahnya sebagai penjual jasa yang dibayar oleh negara atau satuan pendidikan tempat guru mengabdikan diri. Asumsi yang menempatkan guru sebagai tenaga pengajar, melakukan transfer keilmuan belaka. Suatu kondisi yang menempatkan relasi guru dengan murid sebagai penyedia dan pengguna jasa. Selesai transaksi, berkahir pula relasi di antara keduanya.

Perubahan-perubahan pola hubungan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perubahan di dalam masyarakat, berimplikasi terhadap hubungan guru dengan murid. Sosok guru dituntut untuk mampu menempat diri sebagai teman, sebagai orangtua, akan menciptakan hubungan terbuka yang memungkinkan berkembangnya potensi murid secara optimal. Tuntutan yang kadang melepaskan sendi-sendi hubungan etika antara yang tua dengan yang lebih muda..Sebagian keluhan dari mereka berpegang pada etika hubungan atau pergaulan antara sesama. Kerapkali kesalahan yang dilakukan oleh seorang siswa diangggap sebagai kegagalan guru dalam melakukan pendidikan. Pada hal bila dikalkulasi anak lebih banyak berada di rumah daripada di sekolah. Menandakan kesalahan anak merupakan tanggungjawab bersama antara orangtua dan sekolah, karenanya tanggungjawab keberhasilan anak bukan hanya tanggungjawab guru, tetapi utamanya menjadi tanggungjawab orangtua.

Terbukanya kran reformasi, mengalirnya issu demokratisasi, Hak Asasi Manusia, komponen yang turut memberikan pengaruh terhadap kinerja guru dan pola hubungan antara guru dengan murid (Sidi,2001). Reformasi telah memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan untuk kembali melakukan reorientasi terhadap tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan yang dibangun oleh negara. Perubahan yang berimplikasi terhadap perombakan terhadap profesi guru untuk kembali menempatkan guru sebagai profesi yang bernilai strategis untuk membangun peradaban bangsa seiring dengan bangsa-bangsa lain yang lebih maju dan beradab.

Namun di sisi lain perubahan dalam tatanan politik memberikan ekses negatif dalam dunia pendidikan, karena pada tataran tertentu reformasi dimaknai sebagai kebebasan berpendapat tanpa bisa menghargai hak-hak orang lain. Anak-anak kita belajar berdemonstrasi dari layar televisi dan berbagai media cetak yang bisa diakses dengan mudah. Guru-guru tidak tabu lagi untuk melakukan aksi mogok ataupun melakukan tuntutan perubahan terhadap sistem aturan yang mengungkungnya. Suatu realitas dalam kehidupan yang meminta semua pihak untuk berbenah, utamanya pada sistem pendidikan dan yang lebih sempit lagi dunia persekolahan untuk melakukan rekonstruksi terhadap apa yang telah dikerjakan. Rekonstruksi untuk memajukan pendidikan yang berimplikasi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia yang akan menentukan peradabannya. Tuntutan perubahan berimplikasi pula terhadap kinerja guru secara professional dalam menjalankan tugasnya sehingga apa yang telah dilakukan merupakan apa yang telah direncanakan. Hasil yang telah dilakukan dapat dievaluasi dan terbuka untuk melakukan revisi demi perbaikan kualitas produk (anak didik) dalam satuan pendidikan.

Permasalahan;

(1). Bagaimanakah tuntutan profesionalisme guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik?

(2) Bagaimanakah tuntutan sikap profesionalisme guru berhadapan dengan realitas pendidikan di sekolah yang kondisinya beragam? 

(2)

Profesionalisme Guru dan Paradigma baru Pembelajaran

2.1 Profesionalisme Guru

Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 revisi terhadap sistem pendidikan dilakukan sesuai dengan tuntutan perubahan reformasi dan bergulirnya demokratisasi serta menguatnya issu Hak Asai Manusia (HAM). Guru sebagai tenaga pendidikan mempunyai makna penting untuk berperan serta dalam mensukseskan tujuan pendidikan nasional yang bercita-cita terwujudnya manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Untuk mencapai pada cita-cita tujuan pendidikan nasional , maka dibutuhkan guru sebagai pendidik. Guru yang mampu membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, dan menjadi pengganti orangtua di sekolah. Guru sebagai pendidik dituntut memiliki kecakapan secara akademis dan juga secara mental mampu memberikan teladan yang baik bagi anak didiknya.

Guru sebagai pendidik secara kelembagaan memiliki beban tanggungjawab administratif yang harus dilakukan untuk melakukan tugasnya di satuan pendidikan, sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 39 UU No.20 Tahun2003:

 

2.2 Tugas Guru

Ada dua tugas yang disandang guru sebagai pendidik, yaitu tugas administratif, dan tugas professional yang saling melapisi.(Sidi,2001) Tugas administrasi untuk menopang kerja profesinya, mengelola subjek yang menjadi tanggungjawabnya dalam pendidikan, mengembangkan dan mengawasi perkembangan kemajuan subyek didik. Serta memberikan pelayanan demi tercapainya keberhasilan pembelajaran yang direncanakan secara progresif dan berkesinambungan. Sementara secara professional tugas guru ditekankan kepada tugas profesi seorang guru, menyiapkan pembelajaran, membuat program semester, program tahunan, silabus, alat evaluasi, serta melakukan penilaian terhadap anak didiknya untuk mengetahui tingkat ketuntasan pembelajarannya.

Kegagalan seorang anak didik membutuhkan guru untuk melakukan bimbingan. Kurang cakapnya anak menjadi salah satu tanggungjawab guru untuk melalukan pelatihan agar anak didik lebih terlatih dan terampil.

Tugas sebagai guru professional merupakan tugas mulia yang membutuhkan kecakapan dan keahlian tertentu disamping kepribadian yang menarik dan simpatik untuk bisa memainkan peran yang diamanatkan dalam Undang-Undang. No. 14 tahun 2005 bukan hanya sebagai pengajar, tetapi dituntut sikap profesionalitas sebagai bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip yang dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:

 

2.3 Quantum Teacher

Dalam teori Kuantum, guru sebagai “Quantum Teacher” mengubah potensi energi dalam diri murid menjadi cahaya bagi orang lain. Seorang guru yang bercirikan “Quantum Teacher”, antara lain:

Dalam tuntutan perkembangan pembelajaran mutakhir pembelajaran kontekstual menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pembelajaran yang menekankan pada kompetensi yang harus dikuasai siswa. Pemikiran mengenai pembelajaran kontekstual menekankan anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah.(Nurhadi,2003:3)

Ciri –ciri Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) antara lain:

1. anak didik terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan melalui perbuiatan

2 anak didik dapat menggunakan peralatan dan lingkungan sebagai sumber belajar menarik dan sebagai sumber belajar yang menarik dan menyenangkan

3 anak didik merasa aman dan nyaman berlama-lama tinggal di sekolah

4 anak didik lebih kooperatif dalam pembelajaran

2.4. Hak dan Kewajiban Guru

Menurut UU Sisdiknas no 20 tahun 2003,

(1) Hak Pendidik dan tenaga pendidik berhak memperoleh:

(2) Kewajiban tenaga pendidik, antara lain:

 

Peran guru sebagai fasilitator merupakan kemampuan mengorkestrasi belajar agar menjadi menggairahkan, menarik, menimbulkan minat, penuh dengan kewajiban dan penemuan. Sebagai fasilitator guru menjadikan dirinya sebagai pelayan siswa, menjadikan siswa sebagai subyek yang memiliki potensi yang bisa dikelola untuk mengmabngkan diri.

Guru memainkan peran pula sebagai motivator siswa, mempengaruhi perilaku melalui tindakan mendorong siswa untuk berterimakasih kepada mitra mereka dan menghargai atas orang lain bagi keberhasilan kerjasama mereka. Peran yang akan turut memberikan kontribusi keberhasilan dalam pembelajaran yang memiliki ketarandalan tercapainya tujuan pembelajaran , yaitu pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Suatu pola pembelajaran yang memberikan kesempatan dan peluang dan mengembangkan motivasi internal peserta didik untuk meningkatkan diri menjadi dirinya sendiri, juga kemampuan mengebangkan kemampuan kreatifitas, adaptasi, kooperatif, menggali dan menyerap serta memanfaatkan peluang-peluang baru.

Pola pembelajaran yang menghargai murid sebagai indivisu yang unik, serta adanya karakter pembelajaran yang aktif , kreatif, efektif dan menyenangkan secara implikatif merupakan penyelenggaraan school reform. Suatu ekhendak menjdikan sekolah sebagai lembaga mini society. Di antaranya memiliki karakteristik pembelajaran di kelas dengan suasan psikologis yang nyaman, pembelajaran menarik, motivasi belajar siswanya tingi, dan sebagainya (Dikdasmen,2002:29-30)

(3)

Profesionalisme Guru dan Realitas Dunia Pendidikan

3.1. Guru sebagai Pendidik

 Guru sebagai pendidik profesional tak dapat melepaskan diri dari tanggungjawab sebagai tenaga administratif yang harus memenuhi persyaratan administrasi.. Guru harus memiliki sertifikat keahlian dan secara profesional memiliki bakat dan kecintaan untuk mengembangkan dunia pendidikan. Tuntutan semacam ini merupakan tuntutan profesional untuk tercapainya kemajuan pendidikan secara progresif. Jika kualitas tenaga pendidik kualitasnya bagus, diharapkan produk dari satuan pendidikan hasilnya akan bagus.

Secara profesional guru dituntut untuk menyiapkan perangkat pembelajaran sebagai perencaaan untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan penilaian sehingga dapat mengukur target kompetensi yang diharapkan. Juga sebagai tenaga pendidik guru senantiasa mnengembangkan diri untuk menempatkan diri di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kemauan untuk mengembangkan diri bisa menjadi motivasi bagi peserta didik, sebagai tauladan yang mencerminkan kepribadian positif.

Dalam menjalankan tugas profesional, kecakapan guru menjadi kebutuhan utama, disamping kecakapan personal untuk menempatkan diri sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pendidik mampu mengarahkan dan mengembangkan kepribadian siswa bisa mengenal dirinya sendiri dan bisa menghargai keberadaan orang lain. Kecakapan atau keahlian akademis yang dimilikinya guru bisa melakukan transfer pengetahuan yang mengembangkan kemampuan kognitif. Maka, sebagai tenaga pengajar disyaratakan keahliaannya dalam bidang tertentu, dan sebagai pendidik harus mampu meberikan tauladan kepada peserta didik.

3.2. Profesionalisme Guru

Tidak berlebihan jika keberhasilan yang dilakukan guru dalam mengembangkan diri peserta didik sehingga mencapai kompetensi prestisius, perlu mendapatkan penghargaan yang sepadan. Penghargaan yang nyata dan bisa memotivasi kerja guru sehingga menjadi lebih baik lagi. Hal ini bukan hanya menyangkut penghargaan finansial, tetapi juga penghargaan berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau kenaikan pangkat sebagai motivasi untuk merangsang kerja guru supaya lebih berprestasi.

Semangat profesionalisme akan benar-benar bermakna jika tuntutan kerja professional benar- benar dapat difasilitasi di setiap satuan pendidikan atau Pemerintah Daerah. Guru yang bekerja baik seharusnya mendapatkan reward yang berbeda dengan guru yang kinerjanya kurang baik. Sikap profesionalisme harus diimbangi pengelola sekolah untuk bisa mensejahterakan guru. Artinya kebutuhan guru untuk bisa bekerja dengan baik bisa difasilitasi oleh satuan pendidikan, sehingga guru tidak perlu berpikir dari mana memperoleh bahan perlengkapan untuk memberikan pembelajaran yang terbaik bagi siswanya. Keterbatasan kerapkali menjadi sumber inspirasi untuk melahirkan inovasi, akan tetapi untuk meralisasikan inovasi membutuhkan sarana dan prasarana yang harus didukung oleh setiap satuan pendidikan.

 3.3. Guru sebagai Motivator

Guru sebagai motivator dan fasilitator dalam tugas profesionalisme mengemban implikasi terhadap peran guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber keilmuan, tetapi hanya menjadi salah satu sumber yang mampu memberikan dorongan terhadap siswa untuk menggali informasi. Paradigma semacam merupakan fenomena aktual beriring dengan kesadaran hidup berdemokrasi. Kesadaran yang memposisikan guru dan murid sebagai subyek yang berbeda dan bisa saling memberi dan menerima. Murid memiliki pengalaman yang berbeda dengan guru. Di antara siswa yang satu dengan yang lain tidak pernah sama, sehingga perlu diperlakukan secara individual untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Kekuatan memotivasi siswa akan mendorong peserta didik untuk menggali informasi dari pengalamannya, kemudian dikomunikasikan untuk menunjukkan kecakapan dan kompetensi yang dikuasainya.

Peran guru sebagai fasilitator menjadi penting untuk bisa mengarahkan anak menemukan jalan untuk bisa mengenal diri dan mengaktualisasikan diri. Sebuah peran guru yang membutuhkan pengorbanan guru untuk memahami keinginan siswa, sehinga siswa merasa nyaman dan aman dalam belajar. Hal ini akan tampak manakala guru melakukan pembelajaran di kelas, dalam mengelola kelas untuk mampu menjembatani antara kebutuhan siswa yang beragam.

3.4. Guru dan Realitas Dunia Persekolahan

Diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi, memberikan peluang baru dan perubahan paradigma pendidikan. Pembelajaran tidak hanya menyangkut kepada kecakapan kognitif, tetapi juga harus mampu mengembangkan kecakapan afektif dan psikomotorik. Kecerdasan anak bukan hanya kognitif tetapi ada multiple intelegensi yang harus dipahami sehingga pembelajaran bisa mengelola kecerdasan peserta didik yang beragam. Tidak ada diskriminasi dalam memperlakukan anak. Setiap peserta didik adalah unik, dan memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Pembelajaran yang humanis merupakan kebutuhan dalam pendidikan yang memandang keragaman peserta didik.

Upaya untuk mencapai pengembangan potensi dan tercapainya kompetensi yang ditargetkan membutuhkan program perencanaan secara progresif dan pelaksanaan sesuai dengan yang telah direncanakan. Serta hasil kegiatan bisa dievaluasi atau terukur dengan baik.

Pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan merupakan tuntutan kebutuhan yang memberikan peluang bagi peserta didik untuk mengembangkan diri, menggali informasi secara aktif. Perlakuan yang bisa mendorong kreatifitas, yaitu kemampuan untuk mengatasi persoalan atau permasalahan tanpa pernah merasa putus asa. Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang mungkin bisa dilakukan. Sehingga pembelajaran bisa berlangsung efektif dalam pencapaian kompetensi dan keberhasilan peserta didik mengembangkan diri. Juga terciptanya rasa nyaman dalam belajar dan menyenangkan. mendorong bangkitnya kebutuhan peserta didik terhadap pelajaran yang diikuti.

Dalam Quantum Teaching, pembelajaran diharapkan mampu mengembangkan potensi diri dalam setiap diri peserta didik untuk bisa menjadi cahaya dan pencerahan bagi orang lain. Pengembangan potensi energi dalam peserta didik dapat berlangsung dengan memberikan pengalaman sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran yang mampu mengembangkan kecakapan logic-matematik, kecakapan musical dan bahasa, kinestetik kecakapan alamiah sehingga anak bisa mengekspresikan diri tanpa rasa takut dan malu, dan percaya diri akan kemampuan atau potensi yang dimiliki.

3.5 Menuju Profesionalisme Guru

Memfasilitasi kebutuhan belajar dengan ragam potensi yang ada dalam diri siswa bukan merupakan hal yang mudah. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi memberikan peluang untuk mengembangkan aneka pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Serta upaya pengembangan potensi peserta didik secara personal, sampai kini terus-menerus mencari format yang paling tepat.Upaya untuk memberikan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat setempat, sebuah pemberdayaan lokal untuk bisa mencapai kompetensi yang telah ditetapkan secara nasional. Kendala untuk dapat terciptanya profesionalisme guru dan hubungannya dengan perubahan kurikulum yang berupaya untuk melakukan diversifikasi pembelajaran dan memberikan otonomi dan peluang kreatifitas bagi guru untuk mengoptimalkan kerjanya secara professional.Penyebabnya, antara lain:,pertama Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian disempurnakan dengan kurikulum 2006 menimbulkan banyak tafsir di tiap satuan pendidikan. Penyusunan visi dan misi sekolah kadang dirasakan kurang realistik, tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Serta tidak dilibatkannya tokoh masyarakat dan komite sekolah dalam penentuan tujuan dan arah nkebijakan sekolah yang relevan. Peluang penyusunan silabus sesuai dengan kondisi setempat di tiap satuan pendidikan, masih menjadi beban administrative dan terjebak kepada formalitas tanpa ada upaya inovatif secara konstruktif

Kedua,Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) belum mampu memberikan fasilitas yang memadai terhadap kebutuhan satuan pendidikan. Sekolah dan Dinas Pendidikan belum mengoptimalkan peran komite sekolah dan keberadaan dewan pendidikan di setiap daerah. Sehingga orangtua belum terlibat secara optimal untuk turut serta memajukan sekolah Perubahan paradigma pembelajaran sulit dilakukan guru karena tidak didukung oleh kondisi lingkungan, serta keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah.

Ketiga , Perubahan paradigma pembelajaran masih sebatas wacana dan membutuhkan dukungan dan keberanoian dari tiap satuan pendiidkan untuk melaksnakannya secara progresif. Dibutuhkan kemauan keras guru untuk selalu melakukan perubahan, bagaimana memberikan hal terbaik bagi siswanya. Perubahan yang membuat anak betah belajar di sekolah dan termotivasi untuk menggali informasi tanpa merasa lelah atau putus asa. Kekmauan semacam ini akan sangat bermakna jika dilandasi dengan penuh keikhlasan dan kejujuran.

(4)

Penutup

Guru sebagai profesi menuntut adanya kerja secara professional yang menuntut adanya kemampuan administratif , merencanakan, melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana, serta mengevaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan.

Guru sebagai Pendidik dituntut untuk mampu memberikan ilmu sesuai dengan keahliannya serta mampu memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan peserta didik untuk bisa mengembangkan potensi diri, mengenal diri dan melakukan aktualisasi kepribadiannya, serta sebagai pendidik guru mampu memberikan tauladan yang baik

Tuntutan terhadap sikap profesionalisme membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dalam satuan pendidikan tempat guru mengabdikan diri. Serta perlu pemberian penghargaan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan) atas prestasi yang dicapai guru dalam kerja profesionalnya. Penghargaan baik secara finansial ataupun struktural sehingga memberikan motivasi kerja guru untuk terus-menerus mengembangkan diri dan berprestasi.

Hadirnya Forum Ilmiah Pendidik, merupakan ruang yang dapat menjadi mediasi persoalan pendidikan di tingkat paraksis kepada pembuat kebijakan di tingkat local (pemerintahan Daerah) regional (Pemerintahan Provinsi) maupun nasional (Pemerintah Pusat). Ruang forum ilmiah pendidik untuk kemudian direspon secara positif dan progresif untuk mencapai tuntutan kerja guru secara professional serta tercapainya tujuan pendidikan nasional di antara keragaman sekolah yang ada.

 

Sumber Bacaan:

Azzra, Azzyumardi .2004. Birokrasi, Fobi Sekolah dan Citra Guru. Dalam Horison Esai Sastra Indonesia Kitab 2- Taufiq Ismail (editor), Jakarta: Horison dan Ford Foundation.

De Porter, Bobby, dkk.2001. Quantum Teaching, Bandung: Kaifa

Hermawati,Tati . 2006. Lesson Study” http://www.pikiranrakyat.com/cetak//042006/18/99forumguru.htm

Madjid, Nurcholis,2001. Pengantar langkah Strategis Mempersiapkan SDM Berkualitas. Dalam Pengantar Menuju Masyarakat Belajar – Indradjati Sidi, Jakarta : Paramadina – LOGOS

Sidi, Indradjati, 2001, Citra Baru Guru di Era Reformasi dalam buku Menuju Masyarakatbelajar, Jakarta: Paramadina – LOGOS.

----------,2003. Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 20 tahun 2003Tentang Sistem Pendiidkan Nasional , Jakarta: Depdikmnas RI.

--------,2006. Undang-Undang No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, diperbanyak oleh Dewan Pendidikan Sumenep

---------, 2002, Penyelenggaraan School Reaform dalam konteksMPMBS di SMU, Jakarta: Depdiknas – Dirjen Dikdasmen – Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

 

Biodata: biodata: hidayat raharja, lahir di sampang, 14 juli 1966. Beberapa puisi terangkum dalam antologi bersama yang terbit di Surabaya, malang, Yogya, Makassar, Solo, dan Jakarta antara lain: Negeri Bayang-Bayang (Surabaya Art Festival, 1996), Antologi Puisi Indoensia 1997 (KSI – Angkasa Bandung, 1997), Antologi Penyair Jatim ( Surabaya Art Festival, 2004), Kampung Indonesia Pasca Kerusuhan (LESBUMI – Pustaka Pelajar Jogja, 2000). Selain menulis puisi, juga menulis esei di Surabaya Post, Bernas, Suara Merdeka, Kuntum, Singgalang, Pikiran Rakyat, Analisa, Suara Karya, Suara Pembaruan, Pelita, Horison dan lainnya. Alamat Rumah: perumahan bumi sumekar asri jalan dewi sartika IX no.12 kolor – sumenep 69417. Handphone: 081703634979

 

 

Back To Daftar Isi

PERTENTANGAN DIAMETRAL :

PENGALAMAN PEMBELAJARAN VS REALITAS

SYAIFUL RAHMAN DASUKI, S.Pd

Penulis lahir di Sumenep, 11 Maret 1972. Alumnus IKIP Malang (1993). Selain aktif mengajar di SMPN 6 Sumenep, SMU NU Sumenep, dan PGMI An-Nuqayah Guluk-Guluk Kampus Sumenep, ia juga aktif di sejumlah organisasi : Anggota PC. LP Ma’arif Sumenep, aktifis Forum Ahlussunah wal Jama’ah Sumenep, dan Forum Amar Ma’ruf Nahi Munkar Sumenp.

 

Adalah sebuah keniscayaan bila pendidikan yang baik menjamin tumbuhnya negara yang baik. Karena hakikat manusia terletak pada pendidikan. Menjadi kejanggalan apabila kita ingin membangun negara ini sonder pendidikan.

Tentu bukan sekedar pendidikan asal-asalan, apalagi pendidikan hipokrit. Namun pendidikan yang menyentuh segenap aspek hidup manusia. Aspek hidup yang kompleks dan sarat makna karena memang manusia adalah makhluk yang kompleks dan paripurna. Menjadi pincang apabila kita hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lain.

Bangunan pendidikan yang kokoh haruslah dimulai dari dasar yang kokoh. Terpancang tiang-tiang moral yang menjulang namun mengakar. Berdinding budaya, berpintu pengetahuan, berjendela toleransi dan beratap kearifan.

Bangunan pendidikan yang dimaksud disesuaikan dengan tanggung jawab yang kita emban. Mungkin bangunan pendidikan tersebut berupa negara dan birokrasinya, sekolah/pesantren, kursus dan lembaga informal lainnya, atau bahkan rumah tangga kita dan individu pribadi kita. Seberapaun besar atau kecilnya tanggung jawab kita, bukanlah ukuran kemuliaan. Namun seberapa kokoh dan baik bangunan tersebut yang menjadi tolok ukur.

Kadang kita terjebak pada nilai pragmatis, materialis hedonis dan budaya instan. Sehingga terkesan pendidikan hanya sebuah ritual rutin dengan tujuan lembar ijazah atau serentetan gelar. Maka jangan heran bila pendidikan yang sebagai ujung tombak mencerdaskan bangsa terasa kehilangan greget.

Sehingga tidak salah bila Emha Ainun Nadjib (1997: 300) menyatakan :

"Dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang inheren dari mekanisme politik, birokrasi, dan mobilisasi. Bersekolah bukanlah mencari ilmu (sekedar menghapalkan pengetahuan tertentu), bukanlah mengolah kreativitas (bahkan guru acapkali merupakan agen dekreativitas), dan bukan pula menggali dan mengembangkan kepribadian (bersekolah ialah penyeragaman atau penghapusan unikum manusia)".

Mungkin diantara kita tidak seratus persen setuju terhadap pernyataan budayawan di atas namun juga tidak bisa menafikan bahwa dunia pendidikan kita berada pada kondisi yang membingungkan. Coba kita cermati pula uraian Umar Kayam (1992:30) berikut ini:

"Tetapi, sekolah bagi kami anak desa merupakan kandang-kandang yang tersekat-sekat dengan penggembala yang galak yang disebut guru. Kebanyakan dari kami tidak tahan dan tidak krasan di sekolah. Kami merindukan sawah, lapangan permainan kami, kerbau dan sapi kami, pohon-pohon mangga yang kami lempari dengan batu, burung-burung yang kami plintengi, kami ketapel, kemudian ramai-ramai kami kroyok, kami bakar dalam onggokan daun-daun kering. Lagi pula orang tua kami kebanyakan juga tidak tahan kehilangan kami lama-lama di sekolah. Mereka membutuhkan kehadiran kami di rumah dan di sawah untuk membantu mereka. Agaknya orang tua saya adalah satu perkecualian. Mereka ingin betul saya tetap sekolah. Setiap kali saya menyatakan keinginan saya untuk keluar sekolah karena tidak krasan, karena kangen main di sawah, Bapak akan tidak segan-segan mengambil cemeti, memukuli saya."

Paparan Umar Kayam terasa lebih menukik pada ujung tombak pendidikan yakni sekolah. Memang pada tataran inilah realita pendidikan terbentuk dalam wujud nyata. Terlihat bagaimana umar kayam mengkritisi sekolah dengan gaya khasnya sebagai budayawan. Pemaparan yang lugas dengan realita yang tersusun dalam untaian kalimat akrab namun indah menyiratkan bagaimana seoarang tercerabut dari kehidupannya ketika ia disekolahkan.

Tercerabut dalam arti seorang anak mengalami suasana yang benar-benar beda dengan lingkungan kehidupan rumahnya atau bahkan ia kebingungan menyerap materi pelajaran yang terasa aneh ditelinga. Terasa dibenaknya sekolah bagaikan dinding penjara yang mengungkungnya dengan dalih jaminan masa depan. Ini terlihat bagaimana siswa girang-gemirang saat bel pulang tiba. Sementara di sisi lain pelajaran yang ia terima lewat begitu saja ditelinga karena pembelajaran yang menjemukan alias verbalistik semata.

Mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya seperti yang dinyatakan United Nations (dalam Borton E. Swanson, 1984: 17) Sehubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan pemuda di pedesaan, mengemukakan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut: (1) pada usia muda mereka sudah menjadi tenaga kerja keluarga atau bekerja pada orang lain; (2) waktu musim tanam atau panen, mereka bekerja melebihi jam kerja normal; (3) umumnya mereka menganggur pada pasca panen; (4) untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka wajib kerja mencari upah; (5) mereka berkeluarga/kawin pada usia muda; (6) mereka tidak ingin berbaur dengan teman sebaya yang melek huruf, meskipun usia mereka sama; (7) merasa takut terhadap situasi belajar mengajar yang sifatnya formal; (8) mereka meninggalkan desa untuk menghindari lapangan kerja pertanian dan (9) mereka dihadapkan dengan lahan pertanian sempit yang mereka anggap akan membuat mereka tetap miskin.

Memang permasalahan pendidikan adalah permasalahan universal yang mempunyai kemiripan atar suatu daerah dengan daerah lainnya. Tentunya ada perbedan disana-sini yang merupakan kekhususan permasalahan regional. Yang jelas permasalahan kesenangan, yang bahkan bersifat pertentangan diametral ini, merupakan fenomena yang harus disikapi secara sungguh-sungguh.

Pertentangan diametral antara pengalaman pembelajaran yang diterima siswa di sekolah dengan realitas sosial yang dialami siswa di lingkungannya dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yakni: (1) pertentangan filosofis vs pragmatis, dan (2) pertentangan materi pelajaran vs realitasnya.

Selanjutnya akan kami paparkan ketiga pertentangan diametral diatas secara lebih terperinci. Pemaparan ini bukan bermaksud untuk menilai kinerja pendidikan dan lembaga pendidikan di negeri ini atau bahkan ingin menghakimi, mendiskreditkan dan melecehkan. Rasanya niat pemaparan tulisan ini jauh dari hal yang sedemikian. Hal ini hanya dimaksudkan sebagai masukan bahwa ada hal-hal yang bertentangan secara diametral dalam penerapan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kalaupun ada yang pahit, marilah kita rasakan yang pahit itu. Karena kita akan semakin tahu rasanya manis dengan adanya rasa pahit. Ringkasnya, dengan masukan-masukan ini diharapkan ada perbaikan-perbaikan sehingga tercapai tujuan pendidikan nasional kita.

A. Pertentangan Filosofis Vs Pragmatis

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional terdapat pada pasal 3 yang berbunyi:

“Pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaska kehidupan bangsa,, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

Fungsi dan tujuan luhur yang tertulis tersebut menjadi lampu menara mercusuar dari perahu lembaga-lembaga pendidikan yang bermuatan awak perahu (baca: pemerintah, orang tua dan masyarakat) dan penumpangnya (baca: siswa) dengan beragam karakter dan latar belakangnya, lampu menara mercusuar tersebut haruslah benar-benar diperhatikan oleh awak perahu agar arah dan tujuan berlayarnya perahu tidak menyimpang yang mungkin menyebabkan tertabraknya pada batu karang drop out atau bahkan salah asuhan.

Secara filosofis sebagaimana tertera di atas, pendidikan mempunyai multi dimensi luhur dari segenap apek hidup manusia. Hal ini wajar karena memang pendidikan harus memanusiakan manusia sehingga tidak ter-kooptasi kemanusiaannya.

Dari sisi realitas, lembaga-lembaga pendidikan banyak yang terjebak pada komersialisasi pendidikan. Dalih bahwa tingginya mutu sebanding dengan tingginya biaya pendidikan menjadi alasan pengelola pendidikan tertentu untuk membenarkan perilaku bisnis di dunia pendidikan. Naif sekali ketika kita mencermati perilaku sebagian pengelola pendidikan yang menawarkan harga tertentu untuk masuk ke suatu lembaga pendidikan. Bahkan fenomena ini bisa kita lihat di Perguruan Tinggi baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tanpa segan-segan mereka menetapkan sejumlah harga rupiah tertentu sebagai syarat mengikuti seleksi atau sebagai konsekuensi bila diterima. Dalihnya memang beragam semisal peningkatan mutu pendidikan, perbaikan sarana-prasarana, dan alasan-alasan lainnya.

Mempermasalahkan biaya pendidikan, rasanya kita patut iri pada sebuah negeri kecil yang berada di ujung selatan bumi, yakni Selandia Baru. Konon di sana biaya pendidikan gratis bagi anak negeri yang ingin memperdalam ilmunya. Akankah negeri ini, yang berjargon “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” dengan sumber daya alam yang sangat melimpah sehingga lautannyapun semacam “kolam susu” dan kesuburannyapun tak tertandingi sehingga “tongkat kayu ditancap jadi tanaman”, Tidakkah bisa memberikan peluang seluas-luasnya (baca: tanpa takut tidak bisa bayar) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat manapun. Memang ironi bila kita akan mengalami nasib kelaparan dilumbung padi, hanya karena pintu lumbungnya terkunci yang hanya bisa dibuka bila kita bayar.

Ada sebuah cerita dari seorang guru setengah baya yang mempunyai putera sekolah di SMA kelas XI. Dalam sebuah kesempatan dia mengatakan secara panjang lebar yang ringkasnya seperti ini:

“Bisakah anak saya menjadi dokter, ya? Soalnya anak saya sangat bercita-cita jadi dokter. Sementara ini pelajaran di sekolahnya bagus. Namun yang saya kuatirkan adalah saya. Bisakah saya membiayai mencapai cita-citanya. Dengar-dengar biaya awal masuknya saja sekitar delapan puluh juta atau bahkan bisa lebih. Padahal saya hanyalah seorang guru tanpa penghasilan lainnya. Rasanya saya tak mampu menyediakan uang sebesar itu”

Terasa sekali kegalauan mendalam dari seorang praktisi pendidikan terhadap pendidikan anaknya sendiri. Tidakkah ini pertentangan diametral? Bagaimana seorang praktisi pendidikan yang berjuang mendidik tunas bangsa, tanpa daya memikirkan pendidikan anaknya sendiri. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi perbedaan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih mencolok antara si kaya dan si miskin. Bukankah ini pertentangan diametral dengan amanah Undang-Undang Dasar kita bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan?

Namun kita tidak serta merta menafikan kinerja seluruh lembaga pendidikan di Republik ini. Alhamdulillah masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mempunyai hati nurani yang memberi kesempatan yang sama pada setiap calon peserta didiknya. Ambil contoh pondok pesantren. Lembaga yang satu ini, meski dalam beberapa dekade terabaikan oleh pemerintah dari segi bantuan dana maupun manajerialnya karena dianmggap sebagai lembaga pendidikan non formal, ternyata menampilkan kemandirian yang luar biasa. Pada beberapa dekade yang lalu (tepatnya semasa Orde Baru) terasa sekali pondok pesantren “dibiarkan” menjalankan aktifitasnya dengan kemampuan sendiri. Ternyata keadaan ini justru menjadikan pondok pesantren lebih eksis dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi situasi yang paling sulit semisal saat krisis moneter melanda Negara kita.

Hal lain yang merupakan angin segar dalam dunia pendidikan adalah digulirkannya dana BOS (Bantuuan Operasional Sekolah). Sungguh hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat (terutama dari strata ekonomi lemah) sebagai kebijakan pemerintah yang sangat mengurangi beban hidupnya. Walaupun program BOS ini hanya menjangkau pada pendidikan dasar (setingkat SD dan SMP) hal ini sudah cukup membantu, walau mungkin di tahun-tahun mendatang program dana BOS diharapkan bisa juga diterapkan di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

B. Pertentangan Materi Pelajaran Vs Realitasnya

Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa pertentangan diametral yang terdapat pada beberapa materi pelajaran dengan realitas lingkungan sehari-hari yang dialami oleh siswa. Berikut ini contoh pertentangan diametral tersebut:

Namun realitasnya, merokok sudah merupakan hal yang lumrah di masyarakat bahkan sudah menjadi budaya. Cermati saja fenomena ini. Bagaimana bisa berhasil secara memuaskan seorang guru IPA atau Penjaskes yang menerangkan bahaya merokok sementara di lingkungan sehari-hari siswa terpampang lebar poster, panduk atau apapun yang merupakan media promosi rokok. Dunia pertelevisian memang sudah memberlakuan iklan pariwara rokok hanya disiarkan jam 22.00 ke atas, tapi di lingkuangan sehari-hari berbicara lain. Berbagai media promosi bertebaran di hadapan siswa mulai berupa spanduk, poster baik kecil maupun besar dengan kalimat bombastisnya, penyelenggaraan even-even hiburan yang disponsori produsen rokok hingga budaya merokok yang sangat kental di lingkungan orang dewasa.

Tidakkah ini pertentangan diametral? Satu sisi siswa dipaksa menerima teori bahwa merokok merugikan kesehatan tapi pada sisi yang lain lingkungan justru “sangat menganjurkan” merokok.

Dengan kondisi secam ini, kita tidak bisa menyalahkan seratus persen pada seorang siswa yang kedapatan merokok. Hal ini adalah dampak lingkungan seperti yang dipaparkan di atas. Dalam benak seorang anak akan timbul tanda tanya besar bila terjadi perbedaan antara apa yang ia terima di sekolah dengan di lingkungan. Keadaan ini mendorong anak untuk mencoba yang nadirnya merokok mempunyai efek kecanduan (walaupun tidak separah NARKOBA) sehingga menyebabkan kesulitan untuk berhenti merokok.

Pertentangan ini sungguh sangat jelas, lebih-lebih bila kita baca tulisan di bagian belakang bungkus rokok: “Peringatan Pemerintah: merokok dapat menyebabkan gangguan jantung …..”. dilain pihak terdapat pita cukai yang menandakan bahwa sebagian keuntungan rokok masuk ke kas Negara. Inilah kebijakan setengah-setengah, ambivalen. Satu sisi ingin rakyatnya sehat namun sisi lain pemerintah tetap menginginkan keuntungan dari rokok.

Contoh pertama mengenai Sholat. Kita pasti sepakat bahwa kita semua tahu bahwa sholat adalah wajib hukumnya bagi seluruh muslim yang akil baligh. Tidak ada satu ulamapun yang menghukumi sholat tidak wajib. Semua secara aklamasi setuju mengenai kewajiban sholat lima waktu. Kitapun telah menerima dari guru-guru kita mengenai keutamaan, manfaat dan pahala sholat yang luar biasa sementara kita juga tahu betapa besar ancaman Allah jika kita meninggalkan sholat lima waktu dengan sengaja.

Tapi ironisnya bagi siswa ialah bila dilaksanakan kegiatan yang memakan waktu sholat. Betapa entengnya satu “kompi” siswa yang mungkin plus guru pembinanya ramai-ramai tidak sholat. Contoh kegiatan semacam ini yang terjadi di tataran lokal Sumenep antara lain seperti Prosesi Arya Wiraraja pada saat peringatan hari jadi kota Sumenep, lomba hias sepeda, pawai budaya dan bahkan kegiatan penyambutan pejabat saat MTQ Jawa Timur dilaksanakan di Sumenep.

Dalam kegiatan-kegiatan yang disebut di atas, hampir bisa dipastikan sebagian besar siswa yang terlibat tidak dapat melaksanakan sholat asar atau bahkan ada yang tidak sholat dhuhur. Secara jadwal memang panitia mengatur waktunya memungkinkan untuk sholat yakni dimulai sekitar jam 14.00 dan diperkirakan selesai sebelum magrib. Dengan asumsi ini panitia pasti akan mengatakan masih ada waktu untuk sholat. Kenyataan di lapangan lain. Pada kegiatan-kegiatan semacam ini sangat mungkin terjadi waktu molor. Sehingga pada kegiatan ini bisa-bisa pada waktu magrib siswa masih belum selesai berbenah. Lalu sholat Asarnya? Wallahu a’lam.

Betapa masygulnya hati seorang guru agama Islam bila mendapati kenyataan seperti ini. Materi tentang sholat yang telah diberikan ternyata dengan ringannya ditinggalkan siswanya demi kegiatan ini. Padahal sholat adalah tiang agama. Jika ini tidak disikapi, maukah kita menerima kenyataan generasi yang akan datang yang berasal dari siswa-siswa sekarang merupakan generasi yang meninggalkan sholat? Na’udzubillah.

Contoh kedua dalam masalah materi keagamaan ialah mengenai cara berpakaian. Islam mengajarkan bahwa aurat wanita yang harus ditutupi pakaian adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Islam, sebagai agama luhur yang mengedepankan akhlak, ingin menempatkan wanita sebagai makhluk terhormat yang patut dihormati. Namun yang terjadi di lingkungan masyarakat bukan hanya tidak menutupi aurat, tapi kadang bisa sampai mengundang syahwat. Semisal pakaian yang super minim, super ketat atau transparan. Tentu dengan alasan mode terkini, biar tampak cantik, tidak kuper dan semacamnya.

Tentu hal ini ada penyebabnya. Salah satunya ialah pengidolaan yang salah terhadap artis yang notabene cara berpakaiannya “sembarangan”. Asal sama dengan artis pujaannya, seorang anak kadang tidak mempedulikan lagi nilai-nilai agamanya. Hal ini diperparah dengan tayangan-tayangan televisi yang banyak menampilkan hiburan/infotainment yang mengeksploitasi artis dan kehidupannya.

Diantara kita mungkin menyikapi masalah ini dengan pernyataan bahwa masalah ini adalah urusan pribadi, kalaupun tergolong dosa, ya … mungkin termasuk dosa kecil. Terhadap pernyataan semacam ini, kita perlu mengingatkan bahwa masalah pakaian adalah masalah sosial karena dari sana kita dapat melihat kepribadian seseorang dan statusnya dalam masyarakat. Mengenai masalah dosa, perlu dicamkan fatwa ulama bahwa tidak ada dosa kecil di hadapan Allah bila dilakukan secara terus-menerus dan berbangga ria dan tidak ada dosa besar dihadapan Allah jika kita mau melakukan Taubatan Nashuha.

Masih banyak lagi sebenarnya permasalahan-permasalahan praktis materi pelajaran keagamaan yang bertentangan dengan realita kehidupan sehari-hari semisal pola pergaulan muda-mudi sekarang dengan berbagai pernak-perniknya.

Permasalahan muncul ketika kita bertanya apakah manusia juga berasal dari makhluk pertama tersebut? Jika benar, maka Nabi Adam (manusia pertama menurut agama Islam) tidak diciptakan secara langsung oleh Allah melainkan merupakan hasil evolusi dari organisme nenek moyang?

Disinilah letak pertentangannya. Bisakah kita menerima dalil-dalil Qath’i dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan Nabi Adam Sebagai manusia dan Nabi pertama tanpa keraguan sedikitpun. Pilar-pilar keimanan kita dan anak didik kita dipertaruhkan. Nabi Adam dalam Islam bukan hanya sekedar pertama, tapi juga sekaligus Nabiullah pertama. Dengan demikian masuk ke dalam ruang lingkup pokok-pokok keimanan yakni rukun iman yang ke-empat.

Marilah kita berpikir dengan jernih disertai dengan mata hati yang bening. Telaah permasalahan ini baik-baik. Hal ini merupakan pertentangan besar yang bisa mengelincirkan kita atau siswa kita. Sekali lagi, hal ini merupakan ujian aqidah keberagamaan kita.

C. PENUTUP

Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang bersifat pertentangan diametral meski derajatnya tidak se-urgen yang dipaparkan di atas. Permasalahan-permasalahan ini haruslah benar-benar disikapi secara bijak oleh segenap pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan baik di sekolah maupun lembaga-lembaga birokrasinya. Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada usaha penanganan yang kongkrit dan terencana, kita kuatir akan semakin “membingungkan” siswa-siswa kita yang pada gilirannya akan melahirkan generasi bermental ambigu, hipokrit atau mungkin spilit personality. Naudzubillah!

 

REFERENSI

Adhim, Mohammad Fauzil. 1997.“Mengajar Anak Anda Mengenal Allah Melalui Membaca” Bandung : Al- Bayan.

Agustian, Ari Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Wijaya Persada

Coles, Robert. 2003. Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gray, John. 2000. Children are from Heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Temprint.

Nadjib, Emha Ainun. 1997. Surat Kepada Kanjeng Nabi, Bandung: Mizan

Syahatah, Husein. 2004. Kiat Islami Meraih Prestasi. Jakarta: Gema Insani Press.

 

 

Back To Daftar Isi

Orkestra Prinsip Internal Siswa :

Upaya Revitalisasi dan Pembaharuan Kurikulum Pendidikan

Oleh. Halida Nurmayanti, S.Pd

I. Pendahuluan

Kurikulum Versus Pembelajar

Sejumlah pembaharuan telah dikeluarkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Fokus pembaharuan diletakkan pada tingkat sekolah yang diyakini sebagai garda terdepan dalam peningkatan mutu pendidikan, sebab sekolah adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk keberlangsungan proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar. Dalam hal ini, input yang diolah adalah siswa dan input pengolah meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, tenaga pendidikan, dana, sarana dan prasarana, dan lain-lain.

Namun yang menggelitik ketika pembaharuan besar-besaran yang dilakukan terhadap input pengolah dihadapkan oleh kondisi input yang diolah, yaitu siswa, semua terlihat menjadi seperti macan ompong. Bahkan, perubahan kurikulum tersebut seperti KBK sering diplesetkan (Kurikulum Berbasis Kebingungan) atau KTSP (Kurikulum Tidak Siap Pakai). Semuanya seolah seperti berjalan di tempat. Kurikulum memberikan visi dan misi, sementara pembelajar sendiri terkadang belum tahu apa yang menjadi visi dan misi dalam diri mereka. Kurangnya landasan prinsip internal dalam hal kesadaran nurani dan paradigma belajar yang salah dalam diri siswa menjadi sebuah kendala serius yang dihadapi oleh para tenaga pendidik. Sementara persaingan lingkungan sekolah dan lingkungan di luar sekolah semakin ketat, saling beradu pengaruh pada prinsip internal yang mereka miliki sehingga siswa cenderung tidak memiliki kemauan, rasa tanggung jawab dan sama sekali tidak mengerti akan manfaat perolehan belajar.

Siswa juga sering mengeluh dan beranggapan bahwa tidak ada satupun hal yang mereka pelajari di sekolah akan berguna di dunia nyata. Bahkan siswa SMU pun kadang-kadang mengalami kesulitan dalam mengaitkan sebab-akibat tersebut. Karena itu, tenaga pendidik diharapkan mampu membantu mereka secara terperinci untuk dapat menciptakan visi ke dalam diri mereka. Meski demikian, untuk membangun landasan yang kukuh tersebut juga memerlukan waktu, usaha dan tenaga. Hal ini merupakan proses yang terus berlangsung dan perhatian yang konsisten akan menjaga agar apa yang kita bangun tetap kuat dan sehat.

II. Bagian-Bagian Prinsip Internal

Apa yang dimaksud prinsip internal sebenarnya mengacu pada pengajaran akhlak. Yang akan menghasilkan sebuah kecerdasan emosi dalam diri seseorang. Pada masa keemasan Yunani, warganya menganggap perkembangan akhlak sebagai salah satu bagian terpenting dalam pendidikan anak, etika mengacu pada akhlak adalah cara kita bersikap dan berinteraksi dengan orang lain. Prinsip-prinsip ini yang akan menuntun perilaku dan membantu tumbuhnya lingkungan yang saling mempercayai dan mendukung.

Saya pernah mengalami pengalaman yang unik semasa menjadi seseorang mahasiswa dulu, ketika saya harus menyelesaikan tuhas simulasi untuk PPL I. Saya mempelajari banyak hal dan berusaha menyelesaikan tugas-tugas itu sendiri dengan baik. Anehnya, hasil penilaian dosen yang diberikan kepada saya sangat tidak sesuai dengan harapan. Namun hal ini tidak berarti saya harus menganggapnya sebagai sebuah kegagalan yang serius dan harus menyalahkan orang lain, sebab saya meyakini bahwa menyadari perolehan manfaat sebuah ilmu bagi diri sendiri lebih penting dari pada memikirkan hasil penilaian yang diberikan orang lain terhadap diri kita. Mungkin ini yang dimaksud bagian dari prinsip internal tersebut, yaitu memahami apa yang menjadi tolok ukur dalam sebuah proses pembelajaran. Selain itu, untuk membangun tujuan dan rasa percaya diri tidak harus selalu dipengaruhi oleh penilaian dari faktor eksternal seperti yang diberikan orang lain terhadap kita. Akan tetapi, sejauh mana kita mengerti tentang pemanfaatan pengalaman dan proses belajar terhadap diri kita sendiri. Bayangkan jika setiap siswa atau pembelajar hanya memikirkan hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran, maka mereka hanya mampu memburu nilai prestasi dengan cara apapun bahkan dengan jalan pintas. Seperti yang dihadirkan dari permasalahan yang klasik, yaitu budaya mencontek, jual beli skripsi atau suap – menyuap guru. Lalu pengaruh besar apa yang dapat kita ambil dari pembaharuan-pembaharuan kurikulum adalah standar eksternal yang salah dan pada akhirnya meruntuhkan nilai-nilai dan prinsip internal mereka sebagai pembelajar.

Keterkaitan antara iklim pendidikan dan hasil pendidikan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah paradigma atau dalam skala lebih luas membentuk sebuah budaya dalam sebuah lingkungan. Jika kita lihat lagi ke belakang dari apa yang dihasilkan pendidikan selama ini bisa kita ukur dari rendahnya kesadaran diri dalam setiap individu di negara ini, misalnya kita bisa lihat mulai dari hal yang kecil, seperti budaya antri versus budaya serobot, budaya menta’ati peraturan tanpa pengawasan versus pelanggaran dan budaya jujur versus budaya membohongi diri sendiri. Untuk yang terakhir, di negara ini sudah menjadi budaya yang meresap ke segala bidang, mulai dari bidang yang paling elit sampai ke bidang yang paling amatir. Ini merupakan refleksi dari produk pendidikan utamanya dalam implimentasi pendidikan moral dan agama yang kurang. Untuk itu, langkah yang paling vital dalam mengolah sebuah produk pendidikan adalah mengorkestrasikan prinsip internal ke dalam setiap individu pembelajar terlebih dahulu sebelum menyoal kepada perubahan-perubahan sistem pendidikan. Maka untuk memulainya, guru wajib mengenali apa yang dimaksud dengan prinsip internal dan apa manfaat bagi siswa dan guru untuk berkooperatif dalam sebuah proses belajar.

Berikut 4 (empat) konsep dari prinsip internal yang dimaksud :

  1. Citra diri positif
  2. Mempunyai motivasi dan semangat
  3. Pandai menyikapi kesalahan dan kegagalan
  4. Memiliki kesadaran hati nurani yang tinggi

Empat konsep tersebut nantinya yang akan memberikan solusi pada setiap proses-proses penting dalam pembelajaran seperti berkomunikasi, berkooperatif atau dalam menghadapi sekian permasalahan dalam hidup.

Mengingat pentingnya empat konsep tersebut, hal ini tidak hanya menjadi sebuah tanggung jawab bagi mata pelajaran agama, pendidikan moral atau bimbingan konseling semata, tapi hendaknya menjadi tanggung jawab bagi setiap guru dan orang tua sebagai pedidik yang paling dekat dengan yang dididik.

1. Citra Diri Positif Vs Citra Diri Negatif

Barangkali yang membuat pembelajaran tumbuh subur adalah keyakinan bahwa tidak harus menjadi yang terbaik, tetapi cukup kita berusaha sebaik-baiknya. Mungkin keharusan menjadi yang terbaik atau menjadi nomor satu sebenarnya melemahkan pembelajaran dan perkembangan. Siapa bilang kita harus hidup dengan sistem pengukuran orang lain? Tidak bisakah kita memutuskan cara menghitung nilai sendiri? Tidak bisakah kita memutuskan untuk melihat diri kita sebagai sosok yang sukses bukan yang gagal?

Kita dapat membunuh kemampuan belajar kita sendiri, jika kita selalu membanding-banding diri kita dengan orang lain, kita tidak akan merasa pernah cukup baik. Sepertinya tidak ada gunanya mencoba, karena sudah ada orang lain yang lebih baik, sehingga hilanglah motivasi untuk mencoba dalam belajar. Untuk itu, hal penting yang mempengaruhi citra diri kita adalah menjalani setiap momen dengan mengetahui bahwa kita melakukan yang terbaik, walau mungkin tidak memenangkan setiap tantangan, sebab yang perlu disadari adalah semua orang harus belajar sesuai dengan kemampuannya dan kemampuan bukan semata-mata kapan kita siap belajar, namun juga berapa lama kita mau mencoba mempelajarinya (Vannoy, 152 : 2000).

2. Semangat dan Motivasi Versus Skeptis

Prestasi tidak berkaitan sama sekali dengan kemampuan dan berkaitan erat dengan cahaya batin dan hasrat, prestasi berkaitan dengan semangat. Memupuk kemauan yang kuat merupakan dasar untuk menciptakan kepercayaan diri, sikap kooperatif dan mengerti perasaan orang lain pada diri siswa. Pendidikan gaya lama hanya berusaha menciptakan siswa-siswa yang baik dan patuh. Sedangkan sekarang, saatnya, tanpa paksaan, tapi secara spontan bertindak dan membuat keputusan dari hati yang terbuka.

Selama ini, banyak para pendidik yang meredam kemampuan siswanya untuk belajar dari kesalahan dengan memaksa anak-anak melakukan sesuatu dengan benar atau tidak sama sekali, sehingga siswa cenderung bekerjasama untuk mendapat nilai, bukan mendapatkan jawaban.

Jika seorang guru memberikan standar benar—salah semacam itu dengan paksaan, celaan atau pesan mempermalukan, maka siswa akan merasa jelas, tidak pantas atau bahwa ada yang tidak beres pada diri mereka, mereka merasa kalah dan kehilangan kepercayaan diri dan motivasi alamiah mereka dalam belajar.

Bukankah lebih baik belajar mengambil resiko dari pada berhenti berusaha. Menilai orang lain dari niatnya bukan hasilnya, seterusnya berusaha 100% meski ketika keberhasilannya kurang meyakinkan.

3. Pandai Menyikapi Kesalahan/Kegagalan

Seperti yang saya ingat dari kata-kata Vannoy bahwa Tuhan hidup bukanlah menemukan kebenaran abadi, melainkan merangkul kearifan setiap saat.

Kita dapat terus berusaha, bahkan kita sering belajar paling baik lewat kesalahan yang telah kita lakukan. Namun apabila seorang guru mengharap siswa tidak membuar kesalahan sama dengan memberi mereka pesan yang keras dan menetapkan suatu standar yang tidak mungkin mereka penuhi. Sebab, setiap orang membuat kesalahan, tidak hanya siswa bahkan bisa kita sendiri dan hal itu merupakan sesuatu yang manusiawi. Akan tetapi, hal yang sangat penting ialah sebaiknya kita sering katakan bahwa kita boleh salah asal kita tahu cara memperbaiki. Kita boleh jatuh asal kita tahu bagaimana cara kita untuk bangun dan untuk menjadi tahu, maka kita perlu belajar sebab hal yang paling buruk adalah saat kita bersalah, tetapi kita tidak tahu cara memperbaiki, bahkan kita tidak mau tahu cara untuk memperbaikinya. Sedangkan hidup adalah proses belajar dan berkembang, bertanya, mencari dan tumbuh secara berkesinambungan.

4. Kesadaran Hati Nurani Versus Lepas Tanggung Jawab

Ketika dunia berubah, generasipun berubah. Ketika kesadaran hati nurani masyarakat bergeser, dunia batin kita menjadi bertambah penting sifat-sifat baik seperti cinta, mengerti perasaan orang lain, sikap kooperatif dan tanggung jawab tidak lagi merupakan konsep luhur bagi filsafat dan pemimpin rohani, tapi hanya pengalaman sehari-hari. Perilaku dan kebiasaan orang berkuasa yang dulu dianggap wajar, sekarang dianggap penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, selagi hati nurani kolektif masyarakat berubah, maka hati nurani kita mengalami evolusi. Demikian juga kecerdasan otak kita. Jika seorang siswa tidak mampu mengerti dengan apa yang benar dan apa yang salah, mereka memerlukan banyak aturan yang kemudian harus dilakukan secara paksa dengan ancaman hukuman. Namun jika seseorang mampu mengembangkan kesadaran hati nuraninya, perntingnya ancaman model hukuman sudah ketinggalan zaman. Dari itu, melakukan koreksi terhadap prinsip internal tidak memusatkan perhatian untuk mengajarkan apa yang benar dan apa yang salah kepada anak. Melainkan membangkitkan dan mengembangkan kemampuan bawaan anak untuk mengetahui dalam diri mereka apa yang benar dan apa yang salah, sebab mempunyai kesadaran hati nurani adalah kemampuan untuk mengetahui dalam diri sendiri apa yang benar dan apa yang salah (Gray, 37 : 2004). Bila siswa dihubungkan dengan kesadaran hati nurani dalam dirinya, mereka akan berprilaku dengan kesadaran hati nurani dalam dirinya, mereka akan berperilaku baik, tetapi tidak patuh secara membuta. Mereka menghormati orang lain, bukan karena takut mereka merasa baik, mereka tidak akan lagi menganggap bahwa belajar sebuah kewajiban yang membosankan melainkan mereka akan menganggap belajar adalah kebutuhan yang harus mereka penuhi sehingga mereka akan lebih bisa bertanggung jawab atas diri mereka sendiri.

III. Langkah-Langkah Orkestrasi Prinsip Internal

Quantum teaching memberikan satu set prinsip 8 kunci keunggulan yang dapat kita ajarkan pada siswa, yaitu :

  1. Integritas (kejujuran)
  2. Kegagalan awal kesuksesan
  3. Bicaralah dengan niat baik
  4. Hidup di saat ini
  5. Komitmen
  6. Tanggung jawab
  7. Sikap luwes
  8. Keseimbangan

Delapan kunci tersebut merupakan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi pelajar untuk menyelaraskan perilaku mereka. Prinsip-prinsip ini menjadi cara berfikir dan bertindak yang dapat diterima baik dalam proses belajar maupun dalam kehidupan. Sebab, salah satu penyebab keberhasilan adalah jika mereka mengintegrasikan kunci-kunci ini, mereka akan terfokus pada perilaku yang pantas (Quantum Teaching, 48 :1999).

a. Memberikan Keyakinan akan Kemampuan

Psikolog dari universitas Pensylvania, Martin Seligman menemukan bahwa sebagian orang bereaksi lebih sensitif terhadap prasangka. Sedikit mengutip pula dalam buku Education on The Edge of Possibility, Renate Nurmela Caine dan Cairne menyatakan :

Keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran internal yang diciptakan guru

Hal ini berarti bahwa diperlukan ketelatenan dalam menumbuhkan prinsip internal dalam diri seseorang, sebab prinsip internal seseorang seharusnya datang dari dalam dirinya sendiri. Namun reaksi sensitif terhadap prasangka yang diberikan orang lain sering membuyarkan segala bentuk keyakinan yang ada dalam diri seseorang. Untuk itu, seorang guru harus menjadi teladan terlebih dahulu sebelum mereka menuntut kondisi yang lebih baik dari siswa-siswanya.

Bagi sementara orang mempercayai diri sendiri itu sangat mudah, suara kecil di kepala yang mungkin terus berisik ; aku tidak sepandai itu, ini tidak akan berhasil dan sebagainya. Bagi banyak siswa yang berprestasi rendah, rasa rendah diri adalah akar permasalahan. Biasanya pengalaman negatif telah meruntuhkan rasa percaya diri dan kecintaan alamiah mereka pada belajar. Mereka memiliki mantra : saya tidak mampu belajar, saya tidak bisa mengeja, saya benci matematika dan bahasa Ingris itu konyol, buat apa saya berusaha? Sehingga yang terbiasa muncul dalam prinsip internal mereka adalah “sebuah kegagalan telah menunggu”.

Jika hal itu yang terjadi pada siswa, mulailah mengajar dari sudut pandang bahwa kita adalah seorang guru luar biasa dengan murid-murid berbakat. Kadang-kadang bertindak seolah-olah dapat memperdayai pikiran bawah sadar kita, sehingga pikiran kita yakin bahwa kemampuan kita sebenarnya melebihi yang kita duga. Jika seorang guru sudah membawakan keyakinan positif dan afirmatif pada lingkungan, maka siswa-siswa di sekitarnya akan berpengaruh pula untuk terpacu dalam mencapai prestasi lebih. Ajarkan pada yang lain agar siswa tetap memiliki keyakinan dan tingkat minat yang tinggi dalam proses belajar, yaitu dengan memperlakukan siswa sebagai mitra dalam belajar dan memberikan gambaran masa depan agar membuat mereka penasaran tentang apa yang akan terjadi.

Penggambaran masa depan menumbuhkan antisipasi internal, AmBaK (Apa Manfaat BagiKu). Hal ini juga dapat menumbuhkan kegairahan yang menciptakan visi masa depan bagi mereka.

b. Menciptakan Strategi Berfikir

Ada sebuah saran bijak seorang penulis lagu “Berhentilah sejenak dan nikmati hidup” saran ini sering diberikan saat kewajiban hidup menyembunyikan manfaat hidup. Di kelas, rutinitas, jadwal dan tuntutan kurikulum sering membayangi banyaknya momen ysng tersedia untuk mempelajari pemahaman yang diajarkan oleh guru. Seorang guru tidak hanya dapat memaksimalkanm perhatian siswa, tapi juga kedalaman pengertian mereka. Dalam hal ini, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung berarti telah membuat mereka mendirikan pengertian konseptual yang lebih mendalam, membangun kaitan yang lebih kuat dan lebih banyak lagi menekankan pada proses berfikir. Bagaimana cara melaksanakan tugas kritis ini /

Dengan mengasah pikiran akan membuat siswa sadar akan banyaknya inter-asosiasi yang terjadi dalam benak (Caine dan Caire, 1997).

Pernahkah kita sadari mengapa kita bertanya kepada siswa? Jawaban paling klise adalah “untuk memperoleh jawaban “. Namun dua tujuan lain yang lebih bermanfaat adalah : untuk menghargai usaha siswa dan mengasah keterampilan berfikir dalam tingkatan yang lebih tinggi.

Pertama , melontarkan pertanyaan memberikan kesempatan kepada guru untuk menghargai dan mengakui partisipasi dan pengambilan resiko siswa. Ingatlah siswa selalau benar. Terlepas dari jawaban yang diberikan siswa, tugas guru adalah menemukan pertanyaan yang sesuai.

Kedua , bertanya memberikan kesempatan guru untuk mengasah dan membuka pikiran siswa. Gerakkan pikiran mereka sehingga memperoleh jawaban. Tujuannya adalah bekerja dengan siswa ke arah pengertian yang lebih mendalam tentang konsep yang sedang dipelajari dan tentang pikiran mereka sendiri di balik konsep tersebut.

Selain itu, guru juga seharusnya memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengundang renungan di sela-sela proses belajar. Tiga pertanyaan di bawah ini memberikan prasarana yang mantap untuk membuat pemahaman yang tidak terlihat menjadi terlihat :

Tujuan di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut agar guru dapat mengumpulkan informasi berharga mengenai persepsi siswa saat itu sementara siswa akan memperoleh pengertian lebih mendalam tentang mengapa mereka harus mempelajari sebuah materi. Mereka dapat membangun hubungan ke bidang minat lain dan menggali proses berfikir dan pembuatan makna belajar yang inheren ke dalam-prinsip mereka.

C. Menerapkan Keterampilan Hidup di Atas Garis

Sebagai landasan komunikasi dan interaksi pribadi, hidup di atas garis menekankan dan mempraktekkan salah satu dari kedelapan kunci, yakni tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Ajarkan keterampilan ini kepada siswa, terutama pada hari-hari pertama di kelas.

Hal ini akan berbeda jika seorang guru yang tidak mampu mengembalikan tugas siswa yang sudah dinilai menganut hidup di atas garis, maka ia akan berkata : “ Bapak belum selesai memeriksa tugas kalian. Bapak ingin minta maaf, tapi Bapak akan usahakan agar tugas yang akan datang dapat dikembalikan tepat waktu!”

Bagi siswa yang hidup di atas garis, pesan tersebut bisa berbunyi seperti ini : Jika guru meminta seseorang siswa untuk berhenti mengobrol di kelas, dia akan berkata : “ Baik”, dan berhenti mengobrol.

Definisinya bahwa hidup di atas garis adalah berkemampuan untuk menanggapi. Dengan kemampuan ini muncullah pilihan dan kebebasan. Hidup di atas garis berarti bertanggung jawab atas tindakan dan mau memperbaiki jika perlu. Hal ini juga berarti melihat pilihan yang ada, menentukan solusi dan menemukan cara untuk menjadi lebih efektif. Siswa bisa menggunakan pengalaman untuk menggerakkan diri mereka menjadi sukses. Jika para siswa berada di atas garis, mereka mengerti tentang tanggung jawab atas hidup mereka. Mereka lebih bisa memegang kendali karena mereka akan berhenti menyalahkan hal-hal di luar mereka atas kondisi mereka sendiri. Inilah yang disebut dengan prinsip internal, mereka akan dapat mengambli tanggung jawab atas pendidikan, hubungan atau bidang-bidang lain dari kehidupan mereka. Mengambil tanggung jawab juga berarti tidak menyalahkan orang lain untuk apa yang terjadi dalam diri siswa, sebab menyalahkan orang tua, status sosial atau keadaan hanya akan membawa mereka pada sebuah jalan buntu.

IV. Penutup

Dari persoalan dan langkah yang harus ditempuh, sebagai pendidik kita dihadapkan pada tanggung jawab yang sangat besar bahwa masa depan siswa benar-benar berada di tangan kita. Bukan saja perubahan sistem, namun bagaimana cara kita mendidik juga sangat memperngaruhi kemampuan mereka untuk mewujudkan sepenuhnya potensi mereka.

Akan tetapi, hal ini telah memberikan satu kata kunci bahwa betapa pentingnya memberikan teladan kejelasan dalam berkomunikasi dengan siswa, terutama dalam situasi yang bermuatan emosi. Membantu siswa atau anak mengembangkan keterampilan hidup untuk membangun prinsip internal ke dalam pola pikir mereka akan memberikan efek yang luar biasa bagi mereka, yaitu dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri, mempunyai hubungan yang lebih baik dan dapat memperbaiki citra diri mereka. Selain itu, guru dan siswa dapat belajar memiliki daya tangggap, yaitu mampu menanggapi apa yang terjadi dalam diri, dan bukan hanya menerima atau menyalahkan. Mungkin hal ini akan menjadi PR yang sangat berat bagi tenaga didik. Namun dengan niat yang kuat, tidak ada yang tidak bisa dirubah. Hal ini akan menjadi penyeimbang dalam upaya melakukan pembaharuan dalam dunia pendidikan, kaitannya antara input pengolah dan input yang diolah. Sehingga pembaharuan sistem tersebut dapat diimplimentasikan secara jelas.

 

 

Back To Daftar Isi

Revitalisasi Potensi Lembaga Pendidikan Islam :

MENUJU PESANTREN MASA DEPAN

Oleh. Mohammad Suhaidi RB

Kalimat ini saya kutip dari tulisan Aminoto Sa'doellah "Pendidikan Cap Sarung : Wacana Keilmuan Pesantren, Nalar Kritis, dan Kepekaan Sosial Santri", dalam GERBANG, Jurnal Pemikiran Agama Dan Demokrasi, vol.. 06. No. 03. Pebruari-April 2000. hlm. 67

Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan 'kiyai". Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta, LP3ES, 1982) hlm. 44

Kata santri - menurut Abdul Munir Mulkhan - dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna. Pertama, menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok dan yang kedua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos politik Santri (Yogjakarta, SIRPRESS, 1992) hlm. 1

Jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731. Lihat dalam pengantar Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII

 

"Pondok pesantren adalah ' kotak ajaib' yang selalu menyimpan dan menghasilkan banyak pertanyaan. Ajaib karena kotak ini tetap bertahan dengan karakter tradisionalnya di tengah derasnya modernisasi. Sementara dengan tetap mendekam dalam tempurungnya, justeru sebagian pengamat melihat pesantren sebagai pemilik langkah-langkah positif dan progresif melakukan transformasi sosial pada tingkat dasar"

(Zamakhsyari Dhofier-Abdurrahman Wahid, 1978 : 30-1)

Posisi pondok pesantren dan santri dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dengan nuansa lokalitasnya merupakan khazanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tidak heran kalau pada gilirannya ada yang menyebut pesantren sebagai lembaga unik yang dimiliki oleh bangsa ini dan telah banyak berkiprah dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari potensi lokal yang tidak lepas dari akar budaya bangsa, pesantren secara langsung ataupun tidak, telah merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa yang notabene tersebar di seluruh penjuru nusantara, termasuk pesantren yang ada di Madura. Akibat pesantren yang menjamur, membuat pulau yang dikenal dengan tradisi carok dan merantau ini disebut sebagai pulau seribu pesantren, karena ternyata, bagi orang-orang Madura, pesantren masih tetap dianggap sebagai lembaga yang terpercaya dan menjadi pilihan utama rata-rata masyarakat Madura.

Asumsi indigenous yang dilekatkan pada lembaga pendidikan pesantren memandang bahwa pesantren merupakan lembaga yang memadukan antara dua ciri utama, pada satu sisi ia membawa nilai-nilai lokal budaya Indonesia, sementara pada sisi yang lain ia tetap identik dengan tradisi Islam. Dengan demikian, pada dua ciri inilah yang sebenarnya menjadi identitas unik dari pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Maka, perbincangan pesantren dengan ciri-ciri tersebut yang membuat pesantren dinilai sebagai lembaga yang sangat unik, ditambah lagi dengan banyak hal yang dijalankan dalam kehidupan pesantren, yang semakin menegaskan tentang citra unik pesantren itu sendiri.

Pesantren telah terbaca bukan hanya sebagai bagian dari potensi budaya lokal, tetapi dalam setiap perkembangannya pesantren telah dianggap sebagai bagian strategis dalam setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, sejarah telah membuktikan bahwa pesantren bukan hanya menggerakkan dirinya pada satu domain gerakan dalam konteks pengembangan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga telah dijadikan sebagai media yang sangat luas, yaitu pesantren menjadi agen gerakan perubahan dan perlawanan yang secara istiqomah dilakukan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Dengan posisi multi yang diperankan ini, semakin memperjelas bahwa pesantren tidak hanya pas dianggap sebagai sub kultur bangsa Indonesia atau institusi pendidikan, tetapi juga menjadi pialang gerakan perlawanan dalam melawan setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh para penjajah, serta aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang lain.

Dalam tulisan ini secara spesifik akan difokuskan pada satu sisi dari pesantren : ia sebagai lembaga pendidikan yang memiliki posisi strategis untuk menjadi lembaga paling absah dalam menggerakkan dunia pendidikan, setidaknya sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang melekat di dalamnya, dan diyakini dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif, pada saat lembaga-lembaga pendidikan yang lain mengalami goncangan memprihatinkan, akibat perilaku amoral dan free seks yang dipraktekkan oleh peserta didik. Kasus-kasus asusila dan amoral dalam dunia pendidikan yang berungkali terjadi, merupakan bukti sangat sederhana tentang hancurnya proses-proses pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa ini.

Karena pendidikan dengan demikian tidak dapat menjadi jembatan pembebasan dalam segala aspek, seperti yang memang menjadi tujuan substansial dari pendidikan. Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita melalui praktek-praktek amoral tersebut menjadi indikasi nyata tentang gagalnya pendidikan untuk mencapai target ideal, bahwa arah pendidikan pada hakikatnya bukan hanya diarahkan untuk melahirkan insan-insan berintelektual an sich, tetapi yang paling mendasar adalah pendidikan sejatinya harus dapat melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas moral yang dapat dipertanggung jawabkan. Kenyataan memprihatinkan hancurnya moralitas pendidikan tersebut, sudah tentu menjadi sesuatu yang sangat mengganggu dalam proses pendidikan yang dikembangkan.

Pada wilayah ini, pesantren menjadi rujukan yang sangat signifikan, karena jelas, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tetap dengan tegas menjadikan nilai-nilai keagamaan menyatu dan tidak dapat dipisahkan, merupakan potensi besar yang diharapkan dapat menjawab problematika moral pendidikan yang terjadi hari ini. Artinya, mencari jawaban atas problematika pendidikan yang demikian, pesantren tetap diharapkan menjadi alternatif dengan sekian nilai keagamaan yang menjadi ajaran utama di dalamnya.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah dapat menanamkan perannya yang tidak sedikit dengan segala potensi yang dimiliki, hanya saja persoalan yang kemudian dapat dimunculkan adalah bagaimana dapat menemukan format sangat ideal tentang pendidikan pesantren dalam kerangka membawa pesantren ke arah yang lebih menjanjikan. Lembaga pesantren yang notabene merupakan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang tidak hanya secara sempit memposisikan diri dalam menggerakkan dunia pendidikan guna memenuhi kebutuhan bangsa ini menghadapi era kesejagatan dengan kemajuan-kemajuannya yang luar biasa.

Hal ini muncul karena selama ini pesantren dipandang sebagai lembaga yang tidak pernah mampu menatap masa depannya dengan jernih. Pesantren masih tetap asyik dengan stigma tradisionalnya, sehingga tidak hanya melihat dengan sebelah mata : sebagai lembaga pendidikan yang sangat tradisonal dan tidak bisa dijadikan peta dalam melihat tantangan kehidupan yang sudah sangat jauh beranjak. Artinya, pesantren tidak bisa diharapkan dapat melahirkan out put yang dapat dipertanggung jawabkan atas nama kemajuan dengan sistem dan model pendidikan yang sangat klasik.

Akibatnya, pesantren dianggap sebagai lembaga sangat lokal yang selalu terbius dengan tradisi lokalnya, tanpa ada keinginan untuk sedikit maju, memoles sistem di dalamnya sehingga dapat memberikan sesuatu yang sangat berarti, terutama dalam konteks melahirkan hasil yang salihun li kulli zamanin wa makananin. Yakni, melahirkan generasi-generasi yang siap memposisikan diri dan diposisikan sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan era global. Karena tantangan globalisasi dengan segala implikasi sosialnya, tentunya membutuhkan jawaban yang nyata. Tugas besar pendidikan pada gilirannya adalah melahirkan out put yang mampu menjawab kebutuhan global dengan kualitas, skill dan kompetensi yang jelas, sehingga dunia pendidikan (pesantren) tidak hanya akan melahirkan generasi-generasi yang terkorbankan dan terjajah di bawah kemajuan kehidupan global, tetapi mampu memproduksi generasi-generasi masa depan yang memiliki kemampuan yang sejalan dengan kebutuhan era globalisasi.

Kenyataan inilah, yang menurut hemat penulis penting untuk dibaca dan dibuka kembali terkait dengan pesantren sebagai khazanah yang unik. Penulis melihat ke depan pesantren sudah harus mampu meletakkan dirinya secara agresif, sehingga dapat menjadi lembaga yang tidak hanya terbaca dengan sebelah mata, tetapi sudah waktunya dapat menunjukkan pada bangsa ini bahwa pesantren yang digali dengan potensi lokal dapat menjadi lembaga yang selalu haus akan kemajuan, terutama dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di dalamnya. Sudah bukan waktunya pesantren hanya bersikap statis dan rigid serta hanya menjadi pemberi dukungan terhadap segala proyek perubahan di masa ini, tanpa ada geliat untuk memainkan perubahan-perubahan tersebut dengan kreatif dan inovatif.

Dengan potensi yang dimiliki, pesantren semestinya lebih proaktif menjadi pemimpin dalam setiap perubahan melalui media kultural yang selama ini dilakukan. Apalagi bagi bangsa yang tengah mengalami degradasi moral dan kehancuran tatanan nilai moralitas dalam semua aspek, terutama dalam dunia pendidikan dan out put yang dilahirkan. Maka eksistensi pesantren dengan sistem yang ada, sekaligus dengan nilai-nilai khas pendidikan keagamaan yang dimiliki dapat memberikan harapan baru bagi bangunan pendidikan bangsa ini. Eksistensi pesantren bagaimanapun merupakan bagian yang –juga- sangat strategis dalam menopang pembangunan pendidikan nasional, yang harus dibangun dan dikembangkan., karena pendidikan pesantren sampai kini lebih dikenal sebagai lembaga yang independen dan mampu mengurus keberadaannya secara mandiri akan lebih leluasa dalam menentukan arah pendidikan yang diharapkan. Yakni, lembaga pendidikan yang tetap memperhatikan nilai-nilai lokal dan nilai-nilai agama serta tetap mampu menatap masa depannya dengan sangat baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian.

 Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan :

Mempertegas Tradisi yang Unik

Sebagai lembaga pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai keunikan, pesantren memiliki nilai tawar yang sangat strategis dalam mewarnai dunia pendidikan. Asumsi bahwa pesantren bukanlah merupakan sekolah, bukan suatu learning school, tapi lebih merupakan learning society, merupakan sisi unik yang dimiliki oleh pesantren, sebab disitu masyarakat bisa belajar dan menambah wawasan bersama. Hal Ini yang menurut hemat penulis yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan yang lain, karena pesantren tidak hanya sekedar menjadi lembaga pendidikan sebagaimana layaknya lembaga pendidikan, tetapi lebih jauh pesantren mampu menampilkan diri sebagai lembaga yang sangat terbuka dan terintegrasi dengan masyarakat.

Proses pembelajaran bersama dengan penuh kebersamaan, seperti yang ditegaskan di atas merupakan sisi menarik dari kekayaan yang dimiliki oleh pesantren. Nilai-nilai kebersamaan dengan nuansa keterbukaan pembelajaran, semakin memposisikan pesantren sebagai lembaga yang bergerak dalam asumsi dari, untuk dan demi masyarakat, karena di dalamnya masyarakat dapat belajar bersama dan berproses bersama hanya dengan satu keyakinan bahwa pesantren merupakan lembaga lokal yang memiliki ikatan kebersamaan, itulah yang sampai kini menjadi kekuatan pesantren dalam sepanjang sejarah perjalanannya. Masyarakat dan pesantren bagaikan setali tiga uang yang tetap menyatu dan berkelindan, sehingga perubahan apapun yang terjadi, di tengah banyak lembaga lain tenggelam, pesantren tetap eksis dan survev.

Hal ini, semakin menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga dimana proses pendidikan masyarakat dengan tanpa ada diskriminasi dan distorsi menjadi potret tentang lembaga pendidikan yang menjadikan keterbukaan dan kesamaan sebagai kunci utama pengembangan di dalamnya. Artinya, pesantren secara langsung ataupun tidak lebih merepresentasikan sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam segala lintasan sosial, karena dapat belajar dan berproses di dalamnya dengan posisi dan derajat yang sama.

Dalam kerangka ini, pesantren secara otomatis telah masuk ke dalam salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran-peran strategis dalam mengawal terciptanya masyarakat yang terdidik dan masyarakat yang berpengetahuan sesuai dengan cita-cita UUD 1945 untuk membentuk manusia seutuhnya, terutama di tengah tantangan kemajuan bangsa-bangsa lain yang semakin dinamis dan cepat.

Bahkan seperti yang disinggung di awal tulisan ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan dinamika hidup yang terus bergulir, bagi pesantren telah menjadi tantangan tersendiri untuk segera berbenah dan membenahi segala kelemahan yang dimiliki, sehingga pesantren akan benar-benar terus dipercaya, bukan hanya oleh komunitas pesantren sendiri, tetapi juga dapat diperhatikan oleh komunitas di luar pesantren yang selama ini mengambil sikap apatis terhadap posisi pesantren. Dengan kata lain, sebagai lembaga pendidikan dengan identitas keagamaan yang sangat mengental, pesantren sudah waktunya mulai menghilangkan asumsi hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tidak berkembang seperti lembaga-lembaga yang lain, akan tetapi pesantren sudah harus menampilkan diri sebagai lembaga pendidikan yang utuh : lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama, sehingga menjadi lembaga pendidikan yang sangat utuh dan bisa mengawal perubahan dengan maksimal.

Dalam keterkaitan ini, asumsi unik tersebut sudah harus dikembangkan ke arah yang lebih unik lagi, kalau pesantren selama ini hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang tradisional dengan pemaknaan yang kaku, ke depan pesantren harus mampu mendongkrak asumsi baru, selain tetap menjaga tradisi dan sistem yang ada, pesantren harus mampu menyesuaikan dengan sistem baru yang searah dengan jarum-jarum perubahan. Sistem lokal yang menjadi identitas pesantren harus tetap dipertahankan dengan tidak menutup mata terhadap hal-hal baru yang dianggap akan mampu memperlebar kiprah pesantren dalam melahirkan out put yang menjanjikan. Karena apapun yang dimiliki dan dikembangkan oleh pesantren pada hakikatnya merupakan kekayaan lokal dan tidak boleh menghilang dari kehidupan bangsa ini.

Akan tetapi, bukan berarti pesantren harus menutup mata dan menolak adanya sistem baru yang notabene datang dari luar pesantren dengan alasan yang sangat klasik hanya karena bukan asli sistem pesantren. Asumsi tersebut, yang setidaknya merupakan penerjemahan dari adagium lokal pesantren al-mukhafadzotu ala qodimis salih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara tradisi lama yang sudah berkembang sejak awal pesantren ada, dengan tetap secara kreatif dan kritis terhadap perkembangan baru yang bernilai baik). Dengan paradigma yang demikian, pesantren akan tetap menjadi lembaga unik yang tetap istiqomah menjaga nilai-nilai lokal yang dimiliki sebagai kekayaan luhur, namun di sisi yang lain, pesantren tidak pernah menutup mata atas setiap hal-hal baru yang secara faktual akan dapat menjadi nilai tambah bagi kemajuan pesantren dalam berdialektika dengan setiap perubahan yang terjadi. Sebab, dalam hal memelihara tradisi, pesantren sangat konsen dan istiqomah.

Kenyataan ini yang tercermin dalam pandangan Gusdur, seperti dikutip Abdurrahman Mas'ud M.A, Ph.D :

Ide "pelestarian budaya" terefleksi dalam tradisi intelektual pesantren. Pelajaran yang ditawarkan dalam lembaga pesantren berupa literatur universal yang dipelihara dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, dan langsung berkaitan dengan konsep unik kepemimpinan kiyai. Isi ajarannya, berupa kitab-kitab kuno (dilihat dari perspektif modern) jelas menjanjikan kesinambungan the right tradition atau al-qadimi ash-shalih, dan memelihara ilmu-ilmu agama yang telah diijazahkan secara luas kepada masyarakat Islam oleh para ulama' besar pada masa lalu.

Dalam konteks ini, posisi pesantren sebagai lembaga yang sangat unik akan tetap menemukan relevansinya. Pesantren akan tetap terbaca sebagai lembaga yang selalu sejalan dan kukuh dalam menjaga identitas dirinya dalam setiap perubahan yang terjadi. Hal ini, juga dipertegas oleh satu asumsi : Pesantren memang unik dan eksklusif. Dalam perspektifnya pondok pesantren selalu menampakkan wajah ambi dixtorus, cakap menggunakan dwi arti untuk kondisi-kondisi tertentu dengan sama baiknya. Setiap orang mengenal bahwa pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan klasik yang mungkin paling tradisional di negeri ini. Akan tetapi, melalui kebanggaan tradisionalitasnya, tidak dipungkiri, pondok pesantren justeru semakin survev, bahkan kadang dianggap sebagai alternatif di dalam glomouritas dan hegemoni modernisme yang dalam waktu bersamaan mengagendakan tradisi sebagai masalah.

Maka nilai-nilai tradisionalitas yang menjadi bagian penting dalam kehidupan pesantren merupakan kekayaan tersendiri yang menjadi landasan bergerak pesantren dalam setiap perjalanannya, karena dengan tradisionalitas itulah, pesantren mampu bertahan menjadi lembaga yang sangat fenomenal dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Pesantren tidak hanya akan dibaca sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga acapkali menjadi pemain dalam setiap perubahan yang akan terjadi.

Dalam konteks ini, Gusdur juga memberikan apresiasi yang cukup panjang. Menurutnya :

Struktur pengajaran yang unik yang dimiliki pesantren, tentu juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Diantara pandangan hidup yang akan dihasilkannya adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama dalam pandangan sudut material, asalkan pandangan ukhrowi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan. Walaupun kedengarannya cukup aneh dan penuh gema sikap fatalistis, pandangan hidup semacam ini memiliki segi positifnya sendiri : kemampuan menciptakan penerimaan perubahan-perubahan status dalam kehidupan dengan mudah, serta fleksibelitas para santri untuk menempuh karir masing-masing kelak. Sebab itu, ukuran santri dalam studi kepesantrenan tidak semata diukur dari kecakapan atau kemampuannya dalam memahami dan menguasai kitab kuning dan pengetahuan lainnya. Lebih dari itu terletak pada relasi yang dijalin oleh santri dengan kiyai, sesama santri dan lingkungannya. Akibat dari konstruk tata nilai pesantren seperti ini, tidak heran manakala muncul pemimpin non-formal berkaliber nasional dari kalangan pesantren yang tidak jarang mampu mengungguli dan lebih berpengaruh daripada pemimpin formal yang memang tidak dicetak dalam lingkungan pesantren.

Hal itu menunjukkan akan kiprah besar pesantren yang signifikan. Peran-peran besar yang dilahirkan oleh pesantren dalam tataran nasional, pesantren tetap memiliki peluang yang sangat besar. Walaupun, dengan tetap menjaga nilai-nilai dan identitas yang dimiliki, salah satunya bahwa pesantren sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki oleh pesantren harus tetap diperhatikan, karena itulah sejak awal pesantren terbentuk yang menjadi ciri khas pesantren. Kekayaan potensi yang dimiliki pesantren secara faktual menjadi modal dasar bagi pesantren untuk meneguhkan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang lebih siap memberikan yang terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia.

Pesantren tidak hanya sebagai pelengkap lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, tetapi lebih jauh dari hanya sekedar itu bahwa pesantren memiliki posisi yang sangat fundamental dan strategis dalam menopang kebutuhan pendidikan bangsa dengan out put yang bisa diharapkan mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, karena seperti yang ditulis Gusdur di atas dengan konstruk tata nilai yang dimiliki, pesantren kadangkala mampu menjadi lembaga pendidikan yang dapat mengalahkan lembaga pendidikan lain dengan out put yang bisa memainkan peran-peran strategis baik lokal, regional, nasional maupun internasional.

Pesantren Sebagai Khazanah Potensial : Mengembangkan Potensi

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang otonom atau lembaga yang qiyamuhu bianfishi ; berdiri sendiri, yang artinya segala sesuatu diurus oleh pondok, dan tidak diorganisasi sebegitu rupa. Akan tetapi lebih banyak sebagai living organism, organisasi yang hidup dan tidak memerlukan biaya besar. Tidak bisa dipungkiri dengan kenyataan yang demikian, pesantren tetap memiliki beberapa kelemahan, antara lain pada sistem pendidikan, baik pada kurikulum, metode, sarana maupun prasaranya. Walaupun hal itu, sejak beberapa tahun terakhir telah mulai diperhatikan oleh kalangan pesantren untuk diperbaiki.

Kesadaran tuntuk terus mengembangkan potensi pesantren tersebut, dalam kerangka memenuhi kebutuhan riil masyarakat di sekitar pesantren akibat pengaruh majunya kehidupan yang menuntut pesantren harus menata ulang strategi pengembangan pendidikannya, sehingga pesantren akan terus dinamis dan dialektis, dengan tetap tidak menafikan nilai-nilai lama yang menjadi identitas pesantren sendiri.

Pesantren yang notabene sangat akrab dengan masyarakat dan menjadi dambaan mereka akan dapat dipertanggung jawabkan. Artinya pesantren, bukan hanya menjadi lembaga penampungan dengan sistem pembelajaran yang statis dan apatis terhadap perkembangan, tetapi juga mampu menatap kemajuan dengan kritis, sehingga pola-pola pembelajaran yang dikembangkan senantiasa salihun dengan kebutuhan bersama secara global. Pesantren bukan hanya menyediakan satu menu bagi para santrinya, tetapi harus mampu merubah dirinya menjadi toserba yang menyediakan banyak kebutuhan bagi para santri.

Dari sinilah, sistem pendidikan juga harus dirujukkan, sehingga pesantren akan senantiasa senafas dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat global ; dimana nilai-nilai moral keagamaan yang menjadi identitas pesantren tetap utuh, sementara skill dan wawasan umum para santri juga menjadi pertimbangan pesantren. Sebab, memasuki abad XXI, yang diiringi oleh ketidak pastian global (Global Uncertainty) dengan ditandai perubahan paradigma ilmu dan teknologi disertai kompetisi di segala bidang, tuntutan kompetisi inilah yang harus menjadi pijakan pesantren dalam meningkatkan daya saing agar tetap eksis dan mampu melahirkan kader-kader yang marketable.

Bahkan lebih jauh lagi, pesantren diharapkan dapat berperan sedemikian rupa dalam memberikan dukungan sosial bagi pembangunan yang bersifat indigenous, asli, sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan tersebut semakin besar. Sulit kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan telah mengakar sangat kuat. Pesantren adalah potensi dan kekayaan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga kelestariannya. Karena penghargaan terhadap tradisi pada hakikatnya merupakan bentuk komitmen cinta terhadap budaya bangsa yang ada.

Lembaga pesantren yang otonom, besar dan bergerak karena faktor masyarakat bawah, harus tetap dijaga identitasnya dan secara terus menerus untuk dikembangkan, sehingga mampu menjadi lembaga yang betul-betul memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kehidupan bangsa dan negara. Karena dengan cara yang demikian, target untuk melahirkan generasi-generasi yang Ber-IMTAK dan Ber-IPTEK, akan dengan mudah dilahirkan – khususnya- oleh lembaga pendidikan bernama pesantren.

Revitalisasi Potensi Pesantren : Menatap Masa Depan

Seperti yang sudah penulis jelaskan di awal-awal tulisan ini bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan bagian dari komunitas yang sudah jelas menyimpan banyak potensi yang harus dikembangkan dan diberdayakan sesuai dengan tuntutan kehidupan. Pesantren sebagai lembaga alternatif dan sangat dekat dengan kehidupan mayarakat, terutama masyarakat bawah harus dijadikan perhatian dan pertimbangan bersama, bagaimana ia dapat dikelola dengan proses pengelolaan yang dinamis dan modern, dan pada akhirnya dapat memberikan kepuasan bagi masyarakatnya.

Sebab bagaimanapun, sistem dan strategi pengembangan yang dilakukan akan tetap memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pesantren, terutama dalam hal melahirkan generasi-generasi yang berbobot dalam semua hal, bukan hanya bobot intelektual, skill tetapi juga bobot moral yang notabene menjadi kebutuhan sangat vital bagi bangsa Indonesia. Dan pesantren memiliki itu semua, tergantung sejauh mana potensi yang ada dapat difungsikan secara maksimal.

Perkembangan dunia telah melahirkan kemajuan zaman yang luar biasa (modern). Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial kultural seringkali membentur pada aneka kemapanan. Dan berakibat pada keharusan untuk mengadakan usaha konstektualisasi bangunan-bangunan sosio kultural dengan dinamika modernisasi, tidak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren, karena itu, maka sistem pendidikan pesantren harus melakukan rekonstruksi pemahaman terhadap ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survev. Dengan kata lain, sudah waktunya pesantren untuk mengerahkan segala potensi yang dimiliki dan membuka ruang yang lebar terhadap sistem-sistem baru yang sejalur dengan nafas pesantren. Pesantren harus mampu melihat setiap perubahan yang terjadi di luar dirinya, sehingga pesantren akan selalu mampu membaca dan merespon setiap geliat perubahan yang dilahirkan oleh perkembangan zaman dengan cepat.

Dalam keterkaitan ini, kesadaran yang sangat kreatif tersebut, pada gilirannya meniscayakan pola kerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi yang dianggap mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan nuansa transformatoris. Pola kerja sama ini dapat memberdayakan diri dalam usaha pengembangan sumberdaya pesantren agar dapat memberdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang tampak semakin kompleks. Pola kerjasama meniscayakan minimalisasi, asumsi-asumsi negatif yang diletakkan pada pesantren ; terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderung mempertahankan status quo.

Pesantren akan selalu menjadi pusat gerak dan pusat pertahanan dari serbuan hegemoni globalisasi kehidupan yang mengajarkan tentang imperialisasi dan kolonialisasi dalam berbagai aspek, terutama dalam aspek budaya dan pendidikan. Maka sistem pendidikan yang berkembang dan dikembangkan oleh pesantren, dengan ciri keagamaannya ke depan dapat memberikan jawaban yang sangat konkret bagi kebutuhan era global. Maka, revitalisasi potensi dan sistem pendidikan, secara substansial menjadi keniscayaan yang pasti. Yang dibutuhkan dalam hal revitalisasi adalah kesediaan pesantren untuk tetap secara kritis membaca kebutuhan masa depan dengan logika-logika yang taktis dengan melahirkan out put-out put yang selalu siap melawan arus kemajuan. Artinya, sistem pesantren harus diletakkan dengan paradigma baru sebagai media untuk melahirkan generasi-generasi berkualitas total yang siap menerjemahkan dirinya dengan segala tantangan yang terjadi.

Sebab, kegagalan pengembangan SDM masyarakat tentunya juga akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pesantren mampu menjadikan dirinya sebagai pusat pendidikan yang memiliki arah dan tujuan yang jelas ; bahwa pesantren bukan hanya sebagai lembaga penggemblengan moral kader, tetapi juga merupakan sarana pembentukan wawasan, skil dan profesionalisme kader yang siap menyongsong perubahan dan kemajuan. Pesantren jangan sampai terjebak pada paradigma kaku menciptakan kader-kader sarungan berkelas lokal, akan tetapi pesantren harus mampu melihat dengan mata terbuka pada wilayah luas yang notabene lebih menantang, karena pola pemahaman yang demikian sama halnya dengan telah membiarkan pesantren terjebak dengan paradigma sebagai pabrik kader yang tidak siap melawan kemajuan dan secara tidak langsung telah menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Pesantren pada gilirannya akan tetap mabni dengan predikat klasik sebagai lembaga archaik yang tidak mampu menatap masa depannya dengan dialektif. Sangat mungkin generasi-generasi yang dididik dalam pesantren akan menjadi korban dari kemajuan dan keangkuhan peradaban modern. Akibat arah dan gerak pendidikan pesantren tidak lagi digerakkan dalam lingkungan ortodoktif.

Pesantren sudah waktunya berbenah dan menyadari hal ini, sehingga pesantren tidak akan lagi dikerangkakan sebagai lembaga pendidikan yang wujuduhu kaadami. Pesantren yang tidak mampu berdialektika dengan perubahan dan menjawab tantangan global. Pesantren jangan lagi dipahami sebagai artefak budaya yang rigid, tetapi sudah harus dipahami sebagai mobilisator perubahan yang siap mengantarkan santri-santrinya menjadi agen perubahan (agen of change) sejati, yang bukan hanya siap mentransformasi nilai, tetapi juga siap menjadi bagian aktif dari nilai itu sendiri. Dengan begitu, pesantren akan tetap menjadi pesantren yang tetap setia dengan garis perjuangan yang genuine sebagai lembaga pendidikan yang kreatif dan produktif yang pada gilirannya mampu memaknai konsep li yundziru qoumahum dengan sangat transformatif.

Untuk mewujudkan hal itu meminjam kerangka Dr. Ahmad Qodri A. Azizy, para pengelola pesantren dituntut untuk mampu mengantisipasi dan menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan sekaligus mengetahui arah dan sasaran kehidupan masyarakat. Adalah tidak mustahil bahwa sebagian masyarakat sudah mengalami perubahan pandangan terhadap keberadaan pesantren model kuno. Maka, jawabannya adalah bagaimana agar pesantren tidak ditinggalkan masyarakat, baik menyangkut sistem dan kelembagaan, pendidikan, maupun fasilitas-fasilitas pendidikan lainnya. Pesantren harus mampu menata dirinya secara produktif dan kreatif dengan menyediakan banyak hal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pesantren harus mampu menatap masa depan dengan paradigma globalitas dimana setiap kemajuan yang dikembangkan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tradisi dan sistem murni pesantren tetap harus dipertahankan, tetapi pada sisi yang lain pesantren juga harus kritis dan taktis dalam memposisikan diri di tengah arus kemajuan yang sangat cepat melaju.

Dengan kesadaran dan persoalan yang serba kompleks tersebut, pesantren tidak cukup hanya mengandalkan sistem dan cara pandang klasik pesantren dengan menafikan sistem dan cara pandang yang agresif. Sebagai bagian dari sekian lembaga pendidikan yang ada dalam bangsa ini, pesantren juga sangat bertanggung jawab atas masa depan dan arah yang jelas bagi generasi yang dididik di dalamnya. Oleh karena itu, pesantren sudah waktunya menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia merupakan driving force (tenaga penggerak) untuk dan demi kemajuan bangsa Indonesia. Kemajuan zaman dengan segala tantangan yang dibawanya, bagi pesantren merupakan agenda tersendiri yang secara kritis harus dibaca dan dipikirkan. Dengan kata lain, pesantren tidak boleh hanya memandang masa lalu, tetapi harus peka dalam menatap masa depan dengan jernih.

Catatan Penutup : Bentuk Santri Baru

Mimpi besar di atas akan menjadi kenyataan apabila pesantren siap dan mampu melakukan banyak perubahan mendasar dalam diri pesantren. Sebab akar keterlambatan pengembangan out put pesantren selama ini ialah karena pesantren, masih tetap terlena dengan keyakinan egois bahwa pesantren adalah pesantren yang hanya memfokus gerakkan pada pengembangan moral dan ritual, bukan pada kerangka umum pesantren sebagai lembaga pendidikan yang harus menghasilkan sang perubah dan kader baru yang siap tampil dalam segala lini kehidupan, sehingga tidak heran kalau pada gilirannya pesantren tetap terasumsi sebagai lembaga yang sangat tradisional alias terbelakang dari kemajuan hidup yang sangat cepat.

Usaha-usaha itu akan tercapai apabila pesantren siap melakukan beberapa hal, disamping harus tetap mempertahankan tradisi-tradisi khas pesantren yang bernilai aslah. Pertama, mengubah paradigma konsepsi ke transformasi-liberasi. Artinya, pesantren harus melakukan perubahan mainstream berfikir dari hanya memperbincangkan konsep iman individual menjadi iman sosial yang mengidealkan terciptanya karakter kader yang liberatif. Maka pola pengembangan dan pembelajaran harus diarahkan untuk membentuk kader-kader militan yang mampu melihat persoalan sosial sebagai sesuatu yang harus diselesaikan dengan pendekatan yang rasional dan solutif, tidak membentuk kader-kader kaku yang hanya pandai mengembalikan persoalan-persoalan sosial pada pradigma yang sangat kaku dan tidak kritis.

Kedua, pesantren perlu menyadari tentang pentingnya pengembangan wawasan kreatif dan skill profesional santri secara konkret sekaligus dengan sangat kritis menyadari tantangan global yang sangat keras. Maka yang harus dilakukan ialah pesantren bukan hanya harus menyediakan pola pengembangan keilmuan santri terbatas pada pengajian kitab kuning an sich, tetapi perlu adanya pola pengembangan baru yang lebih konkret dan langsung menyentuh pada skiil mendasar santri yang arahnya pada profesionalisme santri. Pelatihan-pelatihan konkret yang sekiranya akan menjadi kebutuhan riil santri di pentas kehidupan global harus dijadikan sebagai sesuatu yang juga sangat afdhol, sehingga nantinya akan mampu melahirkan “santri baru” yang siap berposisi dan diposisikan dalam wilayah apapun, bukan santri “bingung” yang kehilangan keseimbangan dalam mencari posisi, dengan tetap tidak menghilangkan jati diri dengan identitas kesantriannya.

Ketiga, memberikan kebebasan berfikir yang kaffah. Sebab, kebebasan berfikir merupakan substansi dari semua pengembangan. Kebebasan berfikir berarti membuka ruang baru tentang masa depan dan kreatifitas santri untuk menjadi lebih baik dan berkembang. Pesantren tidak harus mencurigai setiap geliat kreatifitas berfikir santri yang dihasilkan melalui proses pembacaan. Apalagi sampai menutup akses pembacaan terhadap buku-buku yang sangat kritis. Dengan kata lain, pesantren harus mampu memberikan rangsangan yang jelas terhadap santrinya untuk kritis, melalui keberagaman bahan bacaan yang dihasilkan melalui berbagai pendekatan, dan pada gilirannya akan melahirkan kader-kader kreatif-kritis yang kaya dengan wawasan dan pengalaman.

Dengan modal-modal tersebut, pesantren akan dapat menjadikan dirinya sebagai pesantren yang dialektif dan mampu mengikuti perubahan dengan baik. Pesantren dengan demikian, tidak akan lagi termangu melihat kemajuan dengan ribuan santri yang dikorbankan, tetapi pesantren yang telah dengan gagah mampu menampakkan kader-kader kreatifnya untuk maju bersama dengan bekal yang jelas menggapai posisi strategis dalam kehidupan apapun dan dimanapun. Sehingga peran dan fungsi kehadirannya akan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pesantren dengan misi ideal yang demikian akan dibaca dan terbaca dengan serius dalam sepanjang zaman. Itulah pesantren yang sebenarnya. Pesantren yang tetap memelihara tradisi yang ada, namun juga tidak gagab dalam mengikuti perubahan. Pesantren yang tetap terpesantrenkan.

Akhirnya, tulisan ini hanya tawaran sederhana terhadap pesantren untuk dipertimbangkan. Penulis hanya ingin mengatakan satu hal bahwa pesantren harus mampu mencetak kader-kader yang serba bisa bukan hanya kader yang pintar dalam satu bidang an sich, tetapi santri yang memiliki kemampuan di bidang-bidang yang lain. Itulah tipologi santri masa depan yang harus berhasil diproduk oleh pesantren. Wallahu A'lam bis Showab.

 

Kalimat ini saya kutip dari tulisan Aminoto Sa'doellah "Pendidikan Cap Sarung : Wacana Keilmuan Pesantren, Nalar Kritis, dan Kepekaan Sosial Santri", dalam GERBANG, Jurnal Pemikiran Agama Dan Demokrasi, vol.. 06. No. 03. Pebruari-April 2000. hlm. 67

Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan 'kiyai". Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta, LP3ES, 1982) hlm. 44

Kata santri - menurut Abdul Munir Mulkhan - dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam mempunyai dua makna. Pertama, menunjuk sekelompok peserta sebuah pendidikan pesantren atau pondok dan yang kedua menunjuk akar budaya sekelompok pemeluk Islam. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos politik Santri (Yogjakarta, SIRPRESS, 1992) hlm. 1

Jumlah pesantren dan madrasah yang ada di Madura berjumlah 2.271, lebih banyak dibandigkan dengan jumlah sekolah umum yang hanya 731. Lihat dalam pengantar Bisri Effendi, An-Nuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990), hlm. VIII

Pesantren yang didirikan bukan saja sebagai pusat untuk mempelajari ajaran agama (Islam), namun sekaligus sebagai pusat latihan dan pusat penggemblengan mental untuk melawan penjajah. Belanda bukanlah sekedar musuh kemerdekaan dan perampas tanah mereka, namun sekaligus juga musuh agama dan martabat (dignity) mereka Lihat. Dr. Ahmad Qodari A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial : Mencari Jalan Keluar (Yogjakarta, LKiS, 2000) hlm. 96

Aksi sosial semacam ini lebih ditekankan pada upaya-upaya pengembangan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh pesantren di tengah-tengah masyarakat. Walaupun memang tidak semua pesantren mampu melakukannya, setidaknya dalam konteks pesantren Pondok Pesantren Annuqayah merupakan salah satu pesantren yang secara aktif terjun dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk lebih jelasnya lihat Bisri Effendy, Annuqayah : Gerak Transformasi Sosial di Madura (Jakarta, P3M, 1990)

Kasus-kasus semacam ini, salah satu satunya pernah dilakukan oleh oknum mahasiswa dua Perguruan Tinggi terkenal di Bandung, yang membuat sebuah VCD adegan intim di sebuah hotel di Bali, kemudian menjadi heboh, tidak hanya di Bandung, tetapi juga di seluruh tanah air. Lihat. Paulus Mujiran, Pernik-Pernik Pendidikan Menefestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 107

Lihat. Mohammad Suhaidi RB. " GURU DAN OTONOMI PEMBELAJARAN : Meretas Pendidikan Bervisi Global", dalam Majalah RETORIKA,,Edisi 1/TH. I/2005, hlm. 25

Idealisme untuk tersebut menjadi keniscayaan dilakukan oleh pesantren dalam rangka agar pesantren tetap terbaca dan tidak selalu dianggap sebagai lembaga pendidikan yang kaku dan tidak bisa berbuat apa-apa di tengah kemajuan zaman. Mencari sistem baru yang mampu memberikan jawaban atas problem pendidikan tidak harus meninggalkan nilai-nilai lokal pesantren akibat adopsi sistem baru tersebut. Akan tetapi, meminjam kerangka Moh. Shofan bahwa modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan Belanda, melainkan dengan memodernisasikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam indigenous. Lihat Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Yogjakarta, IRCiSoD, 2004), hlm. 95

Lihat Abdurrahman Mas'ud, M.A., Ph.D, Intelektual Pesantren : Perhelatan Agama dan Tradisi (Ypgjakarta, LKiS, 2004), hlm. 11

Lihat. Marzuki Wahied, dkk (penyunting), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 145-146

Lihat. dalam Ahmad Fahruddin. Op. cit. hlm. 42

Seperti yang disebutkan oleh Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph. D. bahwa kelemahan dan sekaligus kelebihan pesantren ini adalah bahwa nasibnya sepenuhnya tergantung pada superioritas dan kekurangan seorang tokoh ini. Perencanaan dan strategi lembaga pendidikan ini secara tidak tertulis telah terumuskan dalam diri seorang kiyai. Lihat. Prof. H. Abdurrahman Mas’ ud, Ph. D, Antologi Studi Agama dan Pendidikan (Semarang. CV. Aneka Ilmu, 2004), hlm. 30

Lihat. Imron Arifin, "Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Pemikiran Wacana dalam Desentralisasi Pendidikan", dalam Jurnal Empirisma, Edisi I. No. 8 Tahun 2002, hlm. 24

Lihat Nurcholis Majid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta, Paramadina, 1997), hlm.

Lihat Marzuki Wahied (peny.) ibid, hlm. 216

Lihat. Marzuki Wahied. Ibid. hlm. 214-215

Lihat. Dr. Ahmad Qodri A. Azizy. Lop. Cit. hlm. 99-100

 

Biodata

MOHAMMAD SUHAIDI RB , lahir di desa Kaduara Timur Sumenep, pada 27 Juni 1982. Pendidikan dasarnya di tempuh di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum Kertagena Laok Kadur Pamekasan. Sementara pendidikan MTs dan Madrasah Aliyahnya ditempuh di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk. Saat ini masih tengah berjihad menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Tafsir Hadist di Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA) Guluk-Guluk. Aktif menulis di sejumlah media antara lain Majalah SALAM Denpasar Bali, Majalah AULA Jawa timur, Radar Madura, Mega Post, Tabloid INFO Sumenep, Tabloid PARLEMENTARIA Sumenep, Majalah KRITIS, majalah FAJAR STIKA, Jurnal EDUKASI, dll. Dua kali terpilih sebagai juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa se-Kabupaten Sumenep, masing-masing dengan judul tulisan : GURU DAN OTONOMI PEMBELAJARAN : Meretas Pendidikan Bervisi Global (Mei 2005) dan Mengefektifkan Peran Strategis Perpustakaan dalam Mewujudkan Masyarakat Membaca (Agustus 2005), dan finalis Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa PTAI se-Idonesia dengan judul makalah “REKONSTRUKSI TAFSIR POLIGAMI AL-QUR’AN : Dari Poligami ke Monogami “ (Nopember 2006).

 

 

Back To Daftar Isi

KOLOM

BAHASA PEKERTI

Oleh M. Faizi

 

Hampir setiap saat, melalui ceramah, dialog, ataupun obrolan santai dengan kawan sebaya, kita mendengar keluhan orang tua tentang merosotnya akhlak (budi pekerti) anak-anak didik mereka. Dengan kiasan mukabalah “dulu-kini”, akhlak anak-anak diperbandingkan: generasi dulu sopan, generasi sekarang binal. Generasi dulu takzim, generasi sekarang degil. Jika ditanya, apa sebabnya, ragamlah jawabnya. Salah satunya adalah televisi dan media massa lainnya.

* * *

Lalu, muncul sebuah usul: benarkah televisi penyebab itu semua? Atau, jangan-jangan, penyebabnya adalah karena faktor kurang adanya perhatian dalam tata cara berbahasa?

Selama ini, penelitian bahasa cenderung ditekankan hanya pada faktor kaimat, yakni jumlah pemakai yang diandaikan pada harapan di masa depan. Saya kira, banyak yang lupa, atau tidak tahu, bahwa perbedaan asasi lainnya, antara generasi dulu dan generasi sekarang juga terletak pada hal kecakapan berbahasa: berbahasa yang bukan sekadar berbahasa, melainkan dalam keterampilan mengunakan bahasa untuk ragam tingkatan dan lawan bicara.

Saya melihat, semacam reka andaian, bahwa generasi dahulu, yang konon lebih baik akhlaknya daripada generasi sekarang, dapat dipastikan juga lebih baik dalam hal penguasaan dan kecakapan berbahasa. Konfusius (552-479 SM), seorang pendidik dan filosof Cina, pernah memperkenalkan konsep “pembenahan bahasa” sebagai asas mahia bagi “perbaikan negara”. Kita juga mengenal peribahasa “bahasa menunjukkan bangsa”. Lalu, kita bertanya: seberapa pentingkah bahasa dan bagaiamana hubungannya dengan merosotnya budi pekerti anak didik kita dewasa ini?

Bahasa adalah karya kebudayaan manusia. Darinya, manusia menciptakan citra kebudayannya masing-masing. Dengan begitu, sikap, nilai, dan harkat kebudayan suatu kelompok masyarakat dapat dinilai melalui penghargaan mereka terhadap bahasanya. Nah, jika pada saat ini masyarakat (Madura) merasa resah oleh tindak-tanduk anak didik kita (sebagai sebuah sikap yang mencerminkan nilai budi pekerti), dan jika kita bermungkin bahwa “kesenjangan berbahasa” juga merupakan faktor penyebabnya, selayaknya kita juga bisa menilik ulang dan bertanya. Selama ini, sejauh mana keberhasilan pembelajaran bahasa daerah (Bahasa Madura) di sekolah dan di lingkungan rumah tangga kita?

Sesungguhnya, bagi masyarakat pemakai bahasa daerah yang mengenal dan mempraktekkan sistem starta kebahasaan, seperti Bahasa Madura, sikap berbahasa dapat dijadikan tolok ukur untuk uji coba sekaligus sebagai model pembelajaran budi pekerti.

Di dalam Bahasa Madura, dikenal strata kebahasaan rendah (iya-enja’), menengah (enggi-enten), dan tinggi (enggi bunten). Orang dahulu mengajarkan hal itu kepada anak-anaknya dengan tujuan untuk mendidik mereka agar mampu bersopan santun dan dapat menakar strata kebahasaan dengan lawan bicara. Praktek strata kebahasaan ini lebih bersifat penerapan unsur afektif dan psikomotorik anak daripada sekadar mempertahankan jati diri ke-Madura-an. Bagi mereka, pada saat berlangsungnya komunikasi itulah proses transformasi nilai-nilai budi pekerti terjadi.

Di satu sisi, strata kebahasaan (yang dimiliki oleh hampir semua bahasa daerah) ditengarai sebagai salah satu bentuk penghambat berlangsungnya kesamarataan harkat-derajat di dalam keluarga/masyarakat. Ia dianggap sebuah bentuk sikap yang tidak egaliter.

Pada masyarakat terdidik di Madura, kini semakin jarang masyarakat yang mau menggunakan bahasa ibu (Bahasa Madura) sebagai bahasa pengantar di dalam keluarga. Mereka lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia karena dianggap lebih demokratis. Bahkan, sering kita temukan masyarakat yang menggunakan Bahasa Madura strata rendah (iya-enja’) sebagai bahasa pengantar di dalam keluarga dengan alasan lebih demokratis. Cara seperti ini tentu bisa kita pahami mengingat cara-cara pendidikan yang disepakati dalam keluarga tidak selalu sama. Misalnya, ada yang menerapakan bahasa pengantar strata rendah (iya-enja’) di dalam keluarga, tetapi mengharuskan anak mampu berbicara dengan bahasa strata tinggi dengan lawan bicara yang lain.

Akan tetapi, jika target dan acuan kita adalah bentuk pembelajaran dan sosialisasi budi pekerti melalui pemakaian dan pembelajaran sopan santun dan sikap berbahasa, bukankah cara seperti ini juga merupakan pilihan (atau bahkan sebuah keharusan)?

Kalau saja kita beranggapan; “semakin baik kemampuan anak didik dalam menguasai dan mempraktekkan strata kebahasaan, semakin baik pula budi pekertinya”, maka penerapan bahasa daerah (Madura) dalam lingkungan terbatas menjadi salah satu bentuk pembelajaran dan penuangan nilai-nilai budi pekerti luhur yang niscaya. Dan kalau kita sepakat, maka langkah pertama adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penggunaan kembali (revitalisasi) Bahasa Madura, terutama strata tinggi (Bhasa Alos) di lingkungan pendidikan dan keluarga. Dengannya kita bisa berharap, budi pekerti dapat ditularkan dengan komitmen sikap berbahasa yang tidak saja “baik dan benar”, tetapi juga “santun dan sopan”.

 

 

Back To Daftar Isi

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI Vs TELEVISI

Oleh: Mohammad Sholeh Shobary*

 

Mewujudkan mimpi suksesnya pendidikan budi pekerti bukan hal yang mudah, karena pendidikan tersebut tidak seperti pendidikan yang lain yang hanya banyak melibatkan kecerdasan akal umpamanya matematika, bahasa Inggris, Kimia, Fisika dan lain-lain. Tapi membutuhkan beberapa hal yang harus mendukung suksesnya pendidikan budi pekerti, yaitu perlunya keterlibatan seluruh elemen yang ada di sekitar anak didik, seperti keluarga, sekolah, masyarakat bahkan negara. Elemen-elemen tersebut mempunyai peran penting di dalam pembentukan sikap seseorang.

Sulit rasanya membentuk anak yang baik dan berbudi pekerti yang luhur dari keluarga yang broken home, sekolah yang broken school, apalagi negara yang broken state. Mengapa demikian?, karena keteladanan di sini sangatlah penting. Tanpa metode keteladanan, mustahil pendidikan budi pekerti akan berhasil dilaksanakan.

Untuk saat ini masyarakat Indonesia sudah krisis figur untuk diteladani budi pekertinya, sehingga banyak orang mencari figur-figur yang sesuai dengan kemauan atau keinginan mereka masing-masing. Pencarian figur-figur itu mereka dapatkan pada media-media yang sudah ada baik media cetak maupun media elektronik. Yang paling berpengaruh kepada masyarakat yaitu media audio visual atau disebut televisi. Televisi yang awalnya dijadikan sebagai media informasi dan pendidikan, kini telah digunakan sebagai media bisnis atau komersial, apapun sajiannya yang terpenting mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya meskipun dampaknya kepada masyarakat tidak baik. Terutama dalam hal moral dan budi pekerti masyarakat. Inilah salah satu kendala dalam keberhasilan pendidikan budi pekerti.

Apalagi tayangan “smack down” atau gulat bebas yang pernah ditayangkan oleh salah satu televisi swasta di negara kita. Tayangan yang mengumbar kesombongan, cercaan dan kekerasan tersebut sangat menyimpang dari kepribadian bangsa kita apalagi cara berpakaian mereka sungguh tidak patut untuk ditiru. Namun tayangan ini sangat digemari oleh bangsa kita mulai dari anak-anak sampai dewasa. sehingga tidak sedikit korban dari dampak tayangan gulat bebas tersebut yang dilakukan anak-anak sekolah, bahkan di salah satu media cetak memberitakan seorang guru pernah meng”smack down” anak didiknya. Sungguh merupakan hal yang tidak wajar.

Masih banyak lagi hal-hal yang perlu diwaspadai oleh para pendidik (orang tua, guru, bahkan pemeritah) dari tayangan-tayangan televisi yang dapat menguras habis moral atau budi pekerti anak. Seperti misalnya film kartun Sinchan (meskipun selama ini belum ada kritik dari manapun) yang menokohkan sosok bocah yang kurang beradab terhadap ibunya, meskipun dikemas sebagai lelucon, mungkin itu kurang mendidik bagi anak-anak, bahkan dapat menyebabkan kekurangajaran anak terhadap orang tuanya. Dan masih banyak tayangan-tayangan yang lainnya yang dapat mengikis budi pekerti anak seperti film-film maupun iklan-iklan.

Ada pula yang tak kalah menarik ditonton oleh masyarakat Indonesia, yaitu infotainment yang berisikan gosip-gosip selebriti dan mengekspos dari A sampai Z tentang selebriti, misalnya kumpul kebo, perselingkuhan, bahkan video syur yang melibatkan salah satu anggota DPR RI. Tayangan tersebut ternyata semakin subur dengan beragam cara penyajian, walaupun salah satu ormas agama dengan tegas melarang tayangan ini.

Belum lagi membahas tentang bagaimana meluruskan tayangan-tayangan yang tak sesuai lainnya. Masih banyak film-film di televisi Indonesia yang belum tersensor secara baik, yang sekiranya tidak memerosotkan moral dan budi pekerti penonton seperti perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang kurang beradab. Lalu bagaimana langkah selanjutnya?

Penulis memberikan acungan jempol kepada pemerintah yang telah melarang penayangan smack down di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia, walaupun masih sempat ada tarik ulur tentang waktu penayangannya. Namun finalnya, dengan tegas pemerintah melalui kepolisian melakukan penyitaan terhadap hal-hal yang berbau smack down, seperti VCD smack down, poster smack down dan lain-lain. Bagaimana dengan tayangan-tayangan yang lainnya?

Barangkali kita akan serba salah, ketika dunia pertelevisian khususnya, diatur seketat mungkin dengan UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (direvisi). Maka pastinya akan banyak protes dari kalangan media. Terlalu mengekang kreatifitas lah, apa lah, dan ribuan cibiran-cibiran yang kecut lainnya. Dan selanjutnya kita akan berpikir bagaimana baiknya?

Langkah yang paling ampuh, mungkin kita perlu mewaspadai hal-hal yang dapat merusak budi pekerti kita dan generasi kita dengan menfilter kebudayaan-kebudayaan yang tak sesuai dengan kepribadian bangsa kita, dengan melakukan bimbingan-bimbingan dan pengawasan-pengawasan secara intensif sehingga pendidikan budi pekerti akan terlaksana dengan hasil yang memuaskan.

*Alumni STAIN Pamekasan

Pengurus PC GP Ansor Sumenep

 

 

Back To Daftar Isi

RESENSI

MENGGAGAS PENDIDIKAN BERBASIS SPIRITUAL

Judul buku : SQ NABI: Aplikasi &Model Kecerdasan Spiritual Rasulullah

di Masa Kini

Penulis :Abdul Wahid Hasan

Penerbit : IRCiSoD, Desember 2006

Tebal : 256 halaman

 

Krisis dunia saat ini nampak dalam semua sektor kehidupan. Dan bukanlah merupakan kesimpulan yang simplistis jika dikatakan bahwa semua itu berakar pada krisis dalam diri manusia sendiri. Fenomena krisis ini tidak bisa hanya didekati sebagai bagian dari krisis intelektual dan moral saja. Lebih jauh dari itu adalah bahwa krisis global yang sudah sedemikian kompleks dan multi-dimensi ini, sebenarnya berawal dari krisis spritual (spiritual crisis) yang bercokol dalam diri manusia itu sendiri. Carl Gustav menyebut krisis spiritual ini sebagai penyakit eksistensial (existential illness), sementara pakar yang lain menyebutnya sebagai keterasingan spiritual (spiritual alienation), bahkan Micahael Kearney menyebutnya sebagai penyakit jiwa (soul pain).

Semua problem psikologis-eksistensial-spiritual di atas jelas-jelas menggambarkan adanya keterkoyakan yang sudah begitu parah dalam ruang spiritual (spiritual space) pada diri manusia; suatu ruang dimana manusia terfragmentasi secara psikologis-spiritual, khususnya dari pusat diri (self-centre). Selain itu, hal tersebut juga menggambarkan telah terjadi “keterputusan diri” manusia, baik dari diri sendiri (cut of from my self), dari orang lain (from others around me) dan bahkan dari Tuhannya (from God).

Buku yang ditulis oleh Abdul Wahid Hasan, seorang santri yang memiliki pengalaman pendidikan akademik, menawarkan sebuah terapi spiritual untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti digambarkan di atas. Dengan menggunakan sudut pandang spiritualitas Islam dan pendekatan psikologi transpersonal, Wahid menekankan pentingnya kita untuk melihat kembali praktik pedagogik yang pernah diterapkan oleh Nabi saw. dalam upaya mencerdaskan murid-muridnya, yang terbukti memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Menurut Wahid, Nabi saw. ternyata mampu melihat sisi fundamental yang selama ini terabaikan dalam diri manusia. Dalam psikologi transpersonal dikenal bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi spiritual yang akan melahirkan kecerdasan manusia pada tingkat yang lebih fundamental; Sebuah kecerdasan yang berkaitan erat dengan persoalan kehidupan yang paling mendasar yang bisa menentukan sejauh mana manusia memahami diri, makna, dan tujuan hidup.

Strategi yang ditempuh Nabi saw. dalam rangka menajamkan kecerdasan murid-muridnya tersebut, menurut Wahid, adalah dengan menampilkan diri beliau sebagai sosok yang betul-betul memiliki kredibilitas, integritas, dan reputasi yang luar biasa dalam aspek moral-spiritual. Prilaku kongkrit ini kemudian begitu mudah menular dan merembes ke dalam jiwa para muridnya, yang memang selama ini merindukan seorang figur spiritual sebagai tempat menenangkan gejolak diri yang tak berkesudahan. Keteladanan dari seorang pendidik seperti inilah yang oleh Wahid dikritik sebagai sesuatu yang sudah “amat langka”. Guru lebih berfungsi sebagai “penyalur” ajaran daripada “pengamal” ajaran tersebut. Padahal efektivitas peningkatan ketajaman spiritual sangat bertumpu kepada contoh kongkrit yang ditampilkan dalam praktik hidup sehari-hari oleh para pembimbing spiritual.

Maka buku ini mencoba memasukkan bobot-bobot dan nilai-nilai spiritualitas dalam pendidikan Islam melalui praktik pedagogik yang pernah dicontohkan oleh Nabi; spritualitas yang bukan hanya sekadar lawan atau negasi dari materialias dan rasionalitas, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu spiritulaitas yang mampu membangun, mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi kritis siswa sebagai pertanda keberadaan dan aktualitas hidupnya. Dengan daya kritis itulah, siswa akan mampu menerobos dan melampai batas-batas eksistensi dirinya. Inilah sebenarnya yang menjadi batas antara materialitas dan rasionalitas dengan spritualitas yang segera akan mencair ketika seseorang memasuki dimensi kritis dari dirinya sendiri.

Kehadiran buku ini menjadi penting karena dapat menciptakan pergeseran paradigma pendidikan yang selama ini kokoh tertanam di kalangan para ahli. Paradigma lama yang telah melahirkan kesalahan persepsi tantang manusia sehingga para peserta didik sulit memahami diri dan tidak mampu menangkap makna hidup. Kondisi ini semakin parah dengan begitu cepatnya perkembangan sains dan teknologi yang mengantar pada pergeseran nilai. Etika sangat tertinggal dan tidak mampu berbicara banyak. Orang tidak lagi merasa penting dengan dengan nilail-nilai etis. Hidup lebih dimaknai secara material. Karena itu, orang harus benar-benar cerdas untuk bisa hidup berarti bagi kemanusiaan pada saat pergulatan kehidupan demikian keras dan tajam.

Dalam hal inilah, buku ini banyak berbicara untuk membimbing kita semua pada kesadaran baru tentang diri, pendidikan, dan pencerahan hidup. Dan pilihan Wahid untuk menjadikan Nabi saw. sebagai rujukan utama penulisan bukunya, amat tepat dan patut mendapatkan apresiasi yang memadai.

 

Muhamamd al-Awvâ

Alumnus Stika Guluk-guluk.

 

 

Back To Daftar Isi